SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Selasa, 27 Juli 2010

Presentasi Oleh Bpk. Yan Rianto
















Baca selengkapnya...

Senin, 26 Juli 2010

Rabu, 21 Juli 2010

KRITISME AND SENSE OF HOMOR ALA BUDAYAWAN (SUDJIWO TEJO), PERI UMAR FAROUK (IT), Gatot S Dewabrata (Kominfo) Tanggal 8 Juli Hotel Putri Gunung Lembang

 Sudjiwo Tejo:
Tanggapan atas judul “pornografi Dalam Dunia Maya” Sebagai Narasumber.
1. Persoalan paling sentral di Indonesia bukan masalah Pornografi tapi:
• Korupsi, sebab merugikan banyak orang.
• Orang miskin, ada sekitar 40 juta orang.
2. Dewasa ini banyak orang menganggap agama sebagai pajangan saja.
3. Sujud tertinggi adalah membahagiakan orang lain.

4. Apa beda agama dengan Narkoba, pak Sudjiwo banyak berikan ilustrasi.
5. Naik haji untuk senang-senang sendiri.
6. Video Porno jauh lebih rendah dari korupsi.
7. Perlu sekali kampanye, filosofinya banyak orang hidup tapi mati. Oleh sebab itu program kominfo adalah mengkampanyekan komputer lebih jahat daripada teroris dan video porno.
8. FPK: Front Pembela Kebetulan.
9. Nggak mungkin ada malaikat didunia, udah korup nggak punya harga diri lagi.
10. Sekarang orang sangat tergantung dari media massa.
11. PRINSIP: cari cara tentang
• Hati-hati dengan karma.
• Dusta.
• Arogan.
• Munafik.
12. Seks adalah sakral, kebertuhanan adalah pada saat argansme yang benar.
13. Al-quran : Tertulis.
Alam Raya : Tidak tertulis dan lebih banyak.
14. Makna Lambang Cinta: Mau memilih jadi apa kita silahkan saja, setan saja bisa hidup. Makanya untuk melakukan apa saja, jangan pernah membenci sebagai dasarnya.
15. PENDIDIKAN yang paling penting BENTUK ANAK-ANAK kita ini masyarakat data bukan masyarakat informasi, oleh sebab itu perlu bangunan pikiran oleh dunia pendidikan.
16. Informasi adalah sejumlah data yang bisa menghasilkan informasi.
17. Kita bukan masyarakat informasi tapi masyarakat data, kita ditipu oleh menteri.
18. FALCUM CLEANER: TELKOM dan INDOSAT merekatelah menguras uang kita, coba diteliti apa ada hubungannya dengan kenaikan ekonomi?
19. Pendapatan Telkom besar, namun apa mafaatnya bagi rakyat.
20. Pornografi itu masalah kecil-kecil saja. Video porno Aril saya senang, persoalan homo makin banyak. Kalo nggak jadi banci, susah cari kerja di jakarta; banyak orang nggak jadi banci (bencong) tapi melambai.
 PERI UMAR FAROUK (IT)
1. Literasi madia 3 C : Cost, control and content di USA. Perlu konten-konten terbaik.
Contoh: wikipedia.
2. Sex bebas jadi falsafat hidup anak muda, perlu kampanye gerakan keluar dari kotak biru.
• Ilusi keamanan berteknologi.
• Tuhan menghapus dosa, tapi internet tidak.
• Ilusi tentang privaci.
3. Warnet: hotel termurah di dunia, bisa melakukan apa saja.
• Contoh: making love di jogjakarta.
4. APULT: Kata halus untuk pornografi.
GEBETAN: Orang yang ditaksir manjadi pacar.
CUT TARI: Tidak dikenal dalam google.
5. Yang sudah nonton video porno mirip artis, tapi tidak ngaku dosanya dua kali.
6. WWW.googletrends.com Jabar No. 7, Bandung No. 8 harap bertobat, mudah-mudahan tahun depan keluar dari TOP TEN.
7. Ingat tidak dulu MYZ atau Maria Yahya Zaini.

 GATOT S DEWA BROTO (KOMINFO)
1. Prostitusi sejak lahir sudah ada, jangan salahkan pornografi.
2. Blog pribadi : akses Kominfo; mungkin diluar kominfo masih dapat dilihat konten negatifnya.
3. Facebook banyak manfaatnya, ada 20 juta pengguna facebook di Indonesia.
4. RIM: Produsen Black Berry.

Baca selengkapnya...

Senin, 19 Juli 2010

WORKSHOP PENGELOLAAN KEARSIPAN DOKUMEN NEGARA DI LINGKUNGAN KOMINFO Sabtu, 10 juli 2010, Ardjuna Hotel Bandung By. Ramon Kaban

LANDASAN FILOSOFIS UU KIP, antara lain:

1. Mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan dan tata pemerintahan yang baik.
2. Memotivasi badan publik untuk memberikan pelayanan kepada publik untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat sebaik-baiknya serta bebas dari KKN.
3. Mengantisipasi perkembangan tenologi komunikasi yang semakin pesat sehingga meningkatkan mobilitas masyarakat untuk memperoleh informasi dengan mudah dan cepat.

HARAPANNYA:

1. Dengan diberlakukannya UU KIP informasi yang terkandung dalam arsip dan dokumen negara akan menjadi sumber informasi yang harus diketahui oleh masyarakat. yang pada akhirnya pengelolaan dan penyimpanan arsip yang baik dengan mengikuti standar yang berlaku menjadi syarat mutlak untuk mewujudkan pelayanan maksimal baik internal maupun eksternal Kementerian Kominfo khususnya.
2. Oleh karena itu perlu diberikan pembekalan pengetahuan dan pemahaman sebagai salah satu bentuk desiminasi informasi dan dokumen negara yang tepat sesuai ketentuan yang berlaku.

Baca selengkapnya...

Senin, 12 Juli 2010

Pornografi Dunia Maya dan Kemunafikan Kita Pokok-pokok pikiran pada Chief Editor Meeting Kemkominfo 8 Juli 2010 oleh Sujiwo Tejo

1.Pornografi di dunia maya atau dunia manapun seyogyanya kita hadapi dengan lapang dada. Dengan jembar dan legowo sebaiknya kita ingat landasan hidup tak tertulis namun paling dasar. Yaitu, tidak mungkin sisi gelap termasuk ponografi musnah sama sekali dari mayapada.

Cina sebagai salah satu tonggak kebudayaan besar dunia mengajarkan Yin dan Yang. Dunia listrik juga mengajarkan keniscayaan sisi positif dan negatif. India sebagai ikon kebudayaan besar lainnya juga mengajar bahwa Rahwana, lambang sisi gelap, tak pernah mati. Hanoman yang membantu titisan Wisnu yaitu Prabu Rama hanya mampu membuat Rahwana terjepit dua gunung. Dipercaya, sisi gelap Rahwana yang tak mati-mati itu sampai sekarang akan merasuki siapapun manusia yang sedang berada dalam situasi kurang waspada.

2.Keniscayaan adanya sisi terang yang sekaligus diliputi sisi gelap atau sebaliknya itu juga banyak terkandung dalam telaah antropologis berbagai suku maupun agama. Intinya, bahwa manusia bukanlah malaikat yang tak ada kotor-kotornya. Maka, seyogyanya, kita memang perlu lebih rileks menghadapi pornografi dunia maya atau dunia manapun.

Lihatlah hari-hari suci keagamaan, atau hari-hari suci kesukuan seperti bersih desa, tolak bala dan lain-lain, selalu dibarengi dengan sisi-sisi gelap lainnya. Di tengah takbir dan lebaran, ada pesta makanan yang berlebihan disertai maraknya konsumerisme di pusat-pusat perbelanjaan (sama dengan Natalan dan Tahun baru), kadang petasan, dan kadang kebut-kebutan di jalan raya. Pada saat pementasan wayang kulit yang sakral menyambut bersih desa, di sekitar situ biasanya ada judi remang-remang dan penjajaan seks. Berapa pula judi dan industri seks yang tumbuh berkat Piala Dunia di Afrika Selatan?

3.Butir 1 dan butir 2 perlu saya kemukakan lebih dahulu antara lain agar kita juga tidak munafik dalam menghadapi pornografi dunia maya atau dunia manapun. Faktanya, tidak sedikit pasangan suami istri yang mungkin sudah jenuh, maka untuk pemanasan hubungan suami-istri mereka memerlukan tontonan video seks terlebih dahulu.

Jadi, sesungguhnya, pasar video seks memang ada dan untuk tujuan mulia, yaitu penggairahan pasangan suami-istri. Pertanyaan selanjutnya, mungkinkah secara teknologis dan regulatif video-video tersebut hanya bisa sampai ke pasangan suami-istri yang membutuhkan pemanasan? Kelihatannya susah.

Cara yang saya usulkan adalah, para pasangan suami-istri yang betul-betul membutuhkan tayangan video porno untuk keharmonisan rumah-tangga jangan bersifat munafik. Kalau mereka merasa bisa menonton orang lain melakukan adegan sex, jangan pernah melarang anak atau cucunya kelak menjadi pemain video porno. Sangat kurang beradab, pasangan suami-istri tega membiarkan orang lain bermain video porno demi keharmonisan pasangan suami-istri tersebut, tapi pasangan tersebut tidak rela keturunannya sendiri bermain dalam video seperti itu.

4.Selalu menyadari adanya keniscayaan Yin dan Yang, termasuk keabadian kehidupan sisi buruk Rahwana, berarti tak pernah bermimpi bahwa angkara murka akan sirna di atas bumi. Jika kita akan mengganyang pornografi, bukan pertama-tama karena kita yakin sanggup menghapus pornografi dari muka bumi. Kita mengganyang pornografi oleh karena dalam hidup ini kita harus memilih sikap dan kita telap memilih sikap untuk mengganyang pornografi. Bahwa pornografi akhirnya akan tetap ada, ya itulah rahasia Tuhan.

Ini tidak sulit dilakukan dalam kerja kebudayaan kalau kita ingat pada kegiatan mandi. Semua kita tetap akan mandi meskipun tahu bahwa sehabis itu akan kotor kembali.

Yang penting suatu sikap telah kita pilih, ibarat polisi memilih bersikap memberantas Narkoba tanpa pernah bermimpi di siang bolong bahwa Narkoba kelak akan sirna dari muka bumi. Lagi-lagi, soal sirna atau tidaknya Narkoba, itu sudah menjadi wilayah rahasia Tuhan.

5.Ada untungnya juga berpikir bahwa pornografi mustahil dihapuskan. Tugas mahkluk kebudayaan adalah bagaimana potensi pornografi itu tidak sepenuhnya keluar menjadi sisi negatif. Lahirnya tarian-tarian yang mengeksplorasi seks secara indah, adalah salah satu contohnya. Begitu juga dengan fashion. Seni rupa. Teater maupun musik. Hasrat khalayak untuk menyaksikan karya-karya pornografi bisa dialihkan kepada pentas-pentas seperti itu. Jadi kuncinya adalah pada cara penyaluran. Ibarat Narkoba disalurkan pada kepentingan medis.

6.Kesadaran bahwa sisi positif dan negatif senantiasa muncul bersamaan secara manusiawi juga membuat kita tak terlalu silau pada satu soal pornografi sebagai masalah. Di antara pilihan yang sama-sama buruk, mungkin saya lebih senang masyarakat menonton video porno daripada menonton tayangan kekerasan dan perang. Di antara pilihan yang sama-sama buruk, lebih baik masyarakat dan anak-anak masih berkesempatan melihat bahwa manusia bisa saling berkasih-kasihan, daripada mereka melihat bahwa manusia itu saling membenci di dalam kekerasan dan perang.

Pada titik ini, dalam menanggapi sisik buruk kehidupan yang tak cuma pornografi, para pengambil kebijakan terlalu sibuk pada urusan pornografi tetapi terkesan longgar terhadap tayangan kekerasan.

Baca selengkapnya...

PORNOGRAFI: 5 KATEGORI & TANTANGAN Esei Peri Umar Farouk*

Sebulan persis setelah disahkan DPR-RI tanggal 30 Oktober 2008, RUU Pornografi
berlaku efektif, setelah pemerintah mengesahkannya sebagai Undang-undang Nomor 44
Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya disingkat UUP). Namun sejauh pengamatan
penulis, meski dikesankan bahwa segala tindak pornografi adalah kejahatan, sehingga
mempunyai resiko pidana, sampai saat ini belum ada yang memetakan secara sistematis
pornografi sebagaimana dianut UUP, beserta pengaturan terhadap kategori-kategori hasil
pemetaannya. Kurang lebih tulisan ini bermaksud memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga
menjadi terang dalam pemahaman setiap orang bahwa ternyata ada beberapa jenis
pornografi dalam UUP, yang sudah tentu membawa konsekuensi yuridis berbeda bagi
masing-masingnya. Pembahasan akan ditambah dengan pengaturan pidananya, serta
tantangan ke depan yang masih menjadi pekerjaan rumah penegakan hukum dalam rangka
UUP.
Peta Pornografi & Konsekuensi Yuridisnya
Memperhatikan secara utuh, isi serta penjelasan UUP, kita akan mendapatkan lima
kategori pornografi sebagai berikut:
Kategori pertama adalah pornografi dalam arti luas. Pengertiannya bisa kita
dapatkan di Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa:
Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar
bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka
umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma
kesusilaan dalam masyarakat.
Di sini kata kuncinya adalah: (i) adanya materi atau pesan; (ii) yang diekspos
melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan; (iii) yang memuat kecabulan atau
eksploitasi seksual; (iv) yang melanggar norma kesusilaan.
Pidana berkenaan dengan pornografi dalam arti luas, secara letterlijk terbatas hanya
diancamkan pada dua macam perbuatan. Yakni dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Ps. 8); dan
menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Ps.
9). Penting diperhatikan dalam hal ini adanya Penjelasan bagi Pasal 8 yang membebaskan
* Peri Umar Farouk. Aktivis Gerakan “Jangan Bugil Depan Kamera!”. Bisa dihubungi melalui situs:
www.jbdk.org dengan email: info@jbdk.org.

tuntutan pidana bagi seseorang yang menjadi objek atau model pornografi, bilamana ia
berada dipaksa dengan ancaman atau dibawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk
atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain.
Kedua, pornografi eksplisit (hardporn) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4
ayat (1). Yang termasuk kategori ini adalah pornografi yang secara eksplisit memuat:
1. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, antara lain
persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal
seks, lesbian, dan homoseksual;
2. Kekerasan seksual, antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan
kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan;
3. Masturbasi atau onani;
4. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Mengingat frasa
‘mengesankan ketelanjangan’ bisa ditafsir bebas, Penjelasan UUP menegaskan
maksudnya sebagai suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi
masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
5. Alat kelamin; atau
6. Pornografi anak, yakni segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang
menampilkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.
Pidana berkenaan dengan hardporn mendominasi ketentuan UUP. Dilihat dari kata
kerja yang menandakan tindak pidananya saja terdapat 22 jenis perbuatan. Yakni:
memproduksi; membuat; memperbanyak; menggandakan; menyebarluaskan; menyiarkan;
mengimpor; mengekspor; menawarkan; memperjualbelikan; menyewakan; menyediakan;
meminjamkan; mengunduh; memperdengarkan; mempertontonkan; memanfaatkan;
memiliki; menyimpan produk; mendanai; memfasilitasi; atau mempertontonkan diri atau
orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum.
Kekecualian diberikan berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6.
Membuat, memiliki atau menyimpan materi hardporn untuk dirinya sendiri dan kepentingan
sendiri, terbebas dari jeratan pidana.
Ketiga, pornografi samar (softporn), atau yang sering disebut sebagian pihak
sebagai pornografi abu-abu. Pengertian ini menyempil di Pasal 13 ayat (1) dengan
bersembunyi pada frasa pornografi yang memuat “selain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1)”. Di penjelasannya kita akan menemukan contoh, misalnya majalah yang
memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang
digunakan sesuai dengan konteksnya.
Terhadap pornografi samar, Undang-undang tentang Pornografi sama sekali tidak
mengancamkan pidana. Yang ada hanya masalah pembatasan bagi pembuatan,
penyebarluasan dan penggunaannya, yakni wajib mendasarkan pada peraturan perundangundangan.
Kemudian terdapat syarat harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus,
yang hanya dijelaskan sebagai penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau
pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.  

Dengan demikian secara yuridis, materi serta media mendapatkan legitimasi untuk
secara bebas mengekspos pornografi samar, asal patuh kepada peraturan pemerintah yang
akan diberlakukan nantinya. Pengaturan meliputi masalah antara lain: memproduksi,
membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh,
mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan,
menyediakan, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau
menyimpan materi/media softporn.
Keempat, jasa pornografi, yang secara umum diartikan sebagai segala jenis
layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui
pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan
komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Ancaman pidana diberikan terbatas kepada penyedia jasa pornografi. Ini pun
terbatas pada penyediaan jasa pornografi dalam bentuk:
1. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
2. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
3. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;
4. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan
seksual.
Terakhir, pornografi anak. Pengertian umumnya bisa dibaca di Penjelasan Pasal 4
ayat (1) huruf f, yang menetapkan bahwa: “Pornografi anak adalah segala bentuk
pornografi yang melibatkan anak atau yang menampilkan orang dewasa yang berperan
atau bersikap seperti anak.” Yang dimaksud sebagai anak adalah seseorang yang belum
berusia 18 tahun.
Tindak pidana pornografi anak menyangkut seluruh bentuk tindakan yang
berkenaan dengan pornografi secara umum, hardporn, softporn maupun jasa pornografi
yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau menjadi objeknya. Ancaman terhadap
tindak pidana pornografi anak, sebagaimana disebutkan Pasal 37 UUP diperberat 1/3
(sepertiga) dari maksimum ancaman pidana masing-masing pasal pidana yang
bersangkutan. Delik pornografi anak juga dikenakan pada perbuatan mengajak, membujuk,
memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam
menggunakan produk atau jasa pornografi.
Sebagaimana diuraikan di atas, dari bagian tulisan ini, dapat ditarik kesimpulan
bahwa: UUP menganut adanya 5 kategori pornografi; sebagian di antaranya merupakan
kejahatan, sebagian lainnya bukan kejahatan. Yang dikecualikan sebagai kejahatan adalah:
• Tindakan menjadi objek atau model pornografi, yang berada di bawah paksaan dengan
ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau
ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain;
• Tindakan membuat, memiliki atau menyimpan materi hardporn untuk dirinya sendiri
dan kepentingan sendiri;  

• Tindakan pornografi samar.
Pengaturan Pidana Korporasi
Berdasarkan pelakunya, tindak pidana pornografi bisa dilakukan perseorangan atau
korporasi baik yang berbadan hukum maupun tidak. Yang dimaksud tindak pidana
pornografi dengan pelaku korporasi adalah jika tindak pidananya dilakukan oleh orangorang,
baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak
dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama
Berkenaan dengan pelaku korporasi, UUP mengancamkan pidana yang relatif keras.
Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurus korporasi, pidana denda 3 kali lipat
maksimum pidana denda sebagaimana ditentukan masing-masing pasal yang bersangkutan,
diancamkan juga terhadap korporasinya sendiri. Selain itu, korporasi juga dapat dikenakan
pidana tambahan berupa: (a) pembekuan izin usaha; (b) pencabutan izin usaha); (c)
perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan (d) pencabutan status badan hukum.
Tantangan Ke Depan
Gerakan “Jangan Bugil Depan Kamera!” (JBDK) berkesimpulan, beberapa
kecenderungan perilaku masyarakat Indonesia di internet serta berkenaan dengan teknologi
informasi, dapat mencerminkan seriusnya gejala pornografi di Indonesia. Survey awal
(JBDK) di pertengahan tahun 2007 yang menghasilkan jumlah 500+ mini video porno
Indonesia, di tahun 2008 bertambah jumlahnya sebesar 20%. Penyebarannya pun semakin
terang-terangan, mengingat terbitnya beberapa situs koleksi khusus mini video porno
Indonesia, yang bisa diunduh setiap orang hanya dengan membayar access-fee tidak lebih
dari Rp 350.000,-.
Peringkat akses Indonesia dengan kata kunci sex, xxx, serta porno, dan kata kunci
beberapa idola sex dunia, menurut tool statistik google.com yang dikenal sebagai
googletrends, meningkat terus setiap tahunnya. Dengan kata kunci ‘sex’, Indonesia
menduduki peringkat ke-5 sedunia di tahun 2006. Tahun 2007 meningkat ke peringkat 4.
Dan terakhir, tahun 2008 bertengger di nomor 3. Dengan kata kunci ‘Pamela Anderson’,
bintang porno Hollywood, Indonesia menclok di peringkat 1 dunia. Bahkan dengan kata
kunci idola sex Jepang, ‘Maria Ozawa’ alias ‘Miyabi’, 4 tahun berturut-turut sampai tahun
ini, Indonesia memegang rekor bertahan sebagai juara 1.
Lebih memprihatinkan lagi bila dilihat lebih lanjut, berdasarkan data google.com
tersebut, daerah-daerah pengaksesnya adalah kota-kota di mana konsentrasi pelajar dan
mahasiswa berada. Di peringkat pertama akan terlihat kota Yogyakarta, Semarang,
kemudian diikuti Palembang, Jakarta, Bandung, dan lain-lain. Disamping menggambarkan
adanya perilaku serta pergaulan pelajar dan mahasiswa yang problematik, serta pola
pengasuhan dan pendidikan yang kurang menanamkan wawasan dan tanggung jawab, hal
ini dapat diterjemahkan pula sebagai salah tujuan yang bersifat ekonomi. Akses berkonotasi
porno, atau sekurang-kurangnya berkonotasi seksual menghabiskan akses-akses publik
yang bersifat murah atau bersubsidi, bahkan gratis yang seharusnya dipakai untuk akses- 

akses yang lebih bermanfaat, seperti: hotspot di berbagai tempat publik, tempat
perbelanjaan, tempat jajan, hotel, alun-alun, sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan, dan
lain-lain. Angka akses yang tertera di youtube.com, situs populer penyedia video di
internet, untuk mini video skandal anggota DPR-RI dengan penyanyi dangdut YZ-ME,
dalam 1 bulan akses di tahun 2006, mencapai 1,96 juta. Sehingga dengan perhitungan
disederhanakan dengan biaya akses Rp 1000,- saja, total menghasilkan angka Rp 1,96
milyar. Angka yang bisa mencapai ratusan kali lipat bila mengalikannya dengan biaya
semua kecenderungan pornografis masyarakat Indonesia di Internet selama ini.
Gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah maraknya eksibisionisme
remaja Indonesia di internet, terutama di situs-situs jejaring sosial. Bahkan untuk jejaring
sosial yang umum saja, bukan berkategori kencan (dating) atau berkonotasi seksual,
perkembangan jumlah materi Indonesia bertagline ‘private’ atau ‘adult’ content, tumbuh
sampai 100% setiap bulannya. Secara global, situs jejaring sosial merupakan trend masa
depan yang sangat menggiurkan. Angka pendapatan iklan di situs jejaring sosial di tahun
2008 mencapai US$ 1,1 bilyun. Perkiraan di tahun 2013 akan mencapai US$ 7,3 bilyun.
Bill Tancer dari internet tracking company Hitwise, dalam buku “Click: What Million of
People Are Doing Online & Why It Matters”, menyatakan hasil risetnya bahwa seiring 50%
menurunnya kunjungan ke situs resmi porno, kunjungan ke situs jejaring sosial meningkat
tajam, dengan mayoritas pengunjung berusia 18-24 tahun.
Menghadapkan kecenderung-kecenderungan di atas dengan aturan UUP, terutama
berkenaan dengan pengecualiannya, memunculkan berbagai tantangan. Dibebaskannya
membuat, memiliki, atau menyimpan materi pornografi, bahkan yang hardporn sekalipun,
akan memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah orang mendokumentasi kecabulannya
bersama pasangan, pacar atau prostitut merupakan tindakan membuat untuk dirinya sendiri
dan kepentingan sendiri? Hal ini penting, mengingat membuktikan adanya paksaan yang
bersifat fisik dalam kasus-kasus perkosaan saja tidaklah mudah. Apalagi bila sebenarnya
yang terjadi adalah paksaan mental atau psikis, terutama kepada pihak perempuan. Kasuskasus
eksploitasi yang mengiringi fenomena cabul depan kamera selama ini, berawal dari
dokumentasi yang tampaknya wajar dan sukarela.
Perbuatan memiliki dan menyimpan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri,
akan berkaitan dengan masalah konsumsi serta produksi pornografi. Dengan demikian
aturan ini tampak sebagai legalisasi belanja pornografi bagi warga negara Indonesia,
setidaknya melalui internet atau ke depannya tidak mustahil bisnis global pornografi
melalui teknologi mobile content.
Masalah selanjutnya adalah pengertian apa yang disebut sebagai ruang privat dan
ruang publik. Termasuk ruang privat atau ruang publikkah berbagai fasilitas atau fitur di
internet? Menggejalanya kecenderungan eksibisionisme remaja Indonesia di situs jejaring
sosial adalah salah satu pemasok besar materi pornografi yang selama ini beredar.
Berkenaan dengan penerapan bahwa ‘pornografi abu-abu bukanlah kejahatan yang
dapat dipidana’, maka peraturan perundang-undangan organik yang diamanatkan UUP
mesti dijaga jangan sampai menjadi regulasi yang melegitimasi penerbitan atau
mengudaranya media-media porno samar. Bayangkan bila media khusus swimsuit dan  

semacamnya merambah jadi industri televisi kabel, internet atau mobile content.
Harapannya di peraturan perundang-undangan organik ini, gairahnya lebih condong bahwa
industri pornografi sesamar apapun sebagai bidang yang masuk di daftar negatif investasi,
baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Di luar tantangan-tantangan tersebut, mari kita sambut UUP sebagai sebuah ikhtiar
kepedulian Indonesia terhadap kesehatan mental generasi bangsanya. Saat ini telah bergetar
satu syaraf kesadaran virtual baru, bahwa pornografi bukan hal remeh karena mempunyai
konsekuensi pidana yang berat. Ke depan mudah-mudahan tidak akan ada lagi korban
sebagaimana di jaman pasal kesusilaan KUHP, yang dengan rasa ketidakpuasan
menyatakan, “Sangat tidak adil! Perbuatan yang bisa membuat seseorang bahkan
keluarganya menderita seumur hidup, hanya diganjar dengan penjara yang berhitung
bulanan.”
***  
1
PORNOGRAFI SEXTING
Esei Peri Umar Farouk
Di sebuah talkshow bersama satu radio swasta Jakarta, saya sebagai narasumber mendapat
telepon dari pemirsa remaja putri berusia 15 tahun. Menurutnya saat itu dia senang sekali
berpose bugil dan memotretnya dengan kamera ponsel, kemudian membagikan foto-fotonya ke
nomor-nomor milik laki-laki kenalannya. Ketika dikonfirmasi, apakah tidak khawatir gambargambar
tidak senonohnya menyebar ke lain pihak, dengan lugu si putri menjawab, “Ya tidak
mungkinlah teman-teman saya menyebarkannya. Lagipula kalau saya mengirimnya ke kenalan
baru, saya tidak memfoto wajah saya!”
Sebelumnya, di awal-awal kampanye Gerakan “Jangan Bugil Depan Kamera!”, terutama yang
dilakukan di kalangan pelajar menengah atas, saya mendapatkan kesan merebaknya fenomena
pembuatan foto atau video bugil di kalangan remaja, dan penyebarannya di kalangan dekat
mereka sendiri, terutama teman satu geng atau pasangan berpacaran. Beberapa mengatakan
bahwa ini cara tertentu bersolidaritas antar teman dekat, dan saling menonjolkan diri siapa di
antara mereka yang paling berani. Di sisi lain menyatakan bahwa ini adalah salah satu tanda
ekspresi cinta, bentuk perhatian serta cara menaksir pasangan dengan lebih langsung dan gaul.
Belum ada penelitian khusus di Indonesia berkenaan kecenderungan di atas. Namun mungkin kita
bisa belajar dari yang terjadi di masyarakat lain, terutama problematik dan pengaruh dramatisnya
di kalangan remaja. Tulisan ini juga akan menambahkan wacana tentang tinjauan fenomena ini
dari perspektif hukum secara umum dan terakhir pengaturan pidananya di Indonesia berdasarkan
Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.
Sexting
Gejala mengambil foto atau video bugil dengan menggunakan kamera ponsel, kemudian
menyebarkannya, saat ini dikenal dengan istilah Sexting. Beberapa kalangan lebih luas lagi
mengartikan Sexting termasuk penyebarannya melalui teknologi internet, seperti melampirkan di
dalam email atau membubuhkannya sebagai profil atau di galeri dalam situs jejaring social (social
networking), misalnya situs-situs: Myspace, Facebook, Multiply, Friendster, Hi5, dan lain-lain.
Asal-usul kata ‘sexting’ sendiri berasal dari gabungan kata sex dan texting. Wikipedia.com
memberikan definisi sexting sebagai: “the act of sending sexually explicit messages or photos
electronically, primarily between cell phones.” Tindakan mengirimkan secara elektronik, pesan
atau foto yang secara eksplisit berkonotasi seksual, terutama melalui telepon selular.  
2
Sexting lebih luas lagi dibicarakan, dan dengan wacana yang lebih serius ketika terjadi kasus-kasus
di tahun 2008-2009 sebagai berikut:
Pertama, adanya tuntutan pidana pornografi anak di Pennsylvania terhadap 4 remaja putri usia
14-15 tahun, pelajar di Greensburg Salem High School dan 2 remaja putra berusia 16 dan 17
tahun, yang mengirim foto bugilnya ke rekan-rekannya. Kedua, dipecatnya seorang pemuda
Florida berusia 19 tahun dari sekolah, yang kemudian menghadapi sidang tuntutan 25 tahun
penjara sebagai penjahat seksual (sex offender), karena mengirim foto gadis yang merupakan
pacarnya ke remaja lain. Ketiga, yang tragis adalah kasus Jesse Logan, pelajar sekolah menengah
atas Cincinnati, berusia 18 tahun, yang tewas menggantung diri karena tidak tahan menghadapi
cemooh dan ejekan sebagai gadis nakal bahkan dimaki sebagai pelacur, sejak mantan pacarnya
menyebarkan foto-foto bugil Jesse ke pelajar putri lain satu sekolahnya.
Dalam angka-angka, gejala sexting di kalangan remaja juga memprihatinkan banyak pihak. Survei
yang dilakukan The National Campaign to Prevent Teen and Unplanned Pregnancy di bulan Januari
2009, terhadap 1280 remaja berusia di bawah 17 tahun menemukan bahwa 1 dari 5 remaja (atau
20%) melakukan sexting –sebagai pelaku pembuatan materi porno melalui kamera ponsel dan
menyebarkannya sendiri ke rekan-rekannya. Survei tersebut juga menggambarkan bahwa 39%
remaja mengirim atau membubuhkan materi berkonotasi seksual secara online. Kemudian 48%
mengaku pernah mendapatkan kiriman materi berkonotasi seksual –penerima materi porno hasil
sexting.
Sebagai tambahan data berkenaan dengan fenomena sexting, Parry Aftab, seorang ahli
pengamanan di internet dan aktivis yang memperjuangkan perlindungan remaja di ruang maya,
mengklaim bahwa: 44% pelajar putra pernah mendapatkan materi porno teman pelajar putri satu
sekolahnya. Dan 15% pelajar putra menyebarkan materi porno kekasihnya setelah hubungan
pacaran mereka putus.
Tentu angka di atas belum menggambarkan keutuhan faktanya. Saya percaya bahwa itu baru
memperlihatkan puncak dari gunung es yang belum memunculkan kompleksitas dan keluasan
tantangan fenomena sexting. Apalagi untuk situasi remaja Indonesia, meski harus khawatir dengan
membandingkan serta menghubungkannya dengan fenomena Bugil Depan Kamera, yang di tahun
2009 ini mendekati angka 700 mini video porno asli remaja Indonesia, dan ribuan gambar yang
telah beredar di ruang maya, yang di antaranya adalah hasil sexting yang sengaja tidak sengaja
bocor ke publik yang lebih luas melalui berbagai media elektronik. Sebagai gambaran terakhir
fenomenalnya gejala sexting di internet, penelusuran yang dilakukan penulis per tanggal 14 Juni
2009, terdapat 1.150.000 links untuk kata sexting di mesin pencari google.com dan terdapat 549
video yang berkata kunci sexting di situs youtube.com.

3
Respon Hukum
Dengan memperhatikan beberapa tuntutan kepada pihak yang dianggap pelaku berkenaan
penyebaran sexting, serta beberapa usulan kebijakan hukum terhadap fenomena sexting, maka
ruang polemik luas masih terbentang. Dalam kasus Pennsylvania, penuntut umum memperlakukan
kasus tersebut sebagai Pornografi Anak. Tuntutan demikian pun masih ditentang, karena dianggap
terlalu mengorbankan anak dimana pelakunya sendiri adalah enam pelajar berusia 17 tahun ke
bawah.
Wakil Kepala Sekolah di Virginia terbebas dari tuntutan Pornografi Anak, yang menyimpan dengan
alasan sebagai bukti, foto murid perempuannya yang memperlihatkan celana dalam dan tangan
menutupi bagian payudaranya. Secara hukum di Virginia, status telanjang saja tidak menjadi syarat
sebagai kasus Pornografi Anak, melainkan harus memenuhi kualifikasi ‘sexually explicit’ dan ‘lewd’
(secara eksplisit berkonotasi seksual dan menggambarkan kecabulan).
Di Fort Wayne, Indiana, terjadi dua penerapan berbeda terhadap pelaku sexting. Yang satu
dijatuhkan pidana berat kecabulan, sedangkan yang lain dijatuhi pidana Pornografi Anak. Di
Castalia, Ohio, pelajar putri di Margaretta High School hanya didisiplinkan sebagai anak nakal atau
bermasalah (unruly child). Di bagian lain Ohio juga terdapat pengenaan tindak pidana ringan
tingkat pertama bagi dua pelajar yang melakukan sexting.
The American Civil Liberties Union Pennsylvania mengajukan tuntutan kepada Kantor Kejaksaan
Wyoming di tanggal 25 Maret 2009, melawan tuntutan Penuntut Umum, George Skumanick Jr,
yang mengancamkan pidana Pornografi Anak kepada 6 pelajar Greensburg Salem High School
Pennsylvania. Tuntutan tersebut sanggup mengubah tuntutan menjadi pengenaan pidana terbatas
sampai dengan tingkat pidana percobaan.
Secara kebijakan ada beberapa yang menonjol. Para pembuat hukum di Vermont, berhasil
mengesahkan undang-undang di bulan April 2009, yang membebaskan tuntutan pidana bagi
pelaku sukarela sexting secara timbal balik antara dua orang berusia antara 13-18 tahun. Ancaman
melakukan kejahatan baru berlaku bila materi sexting disebarkan kepada pihak lain. Di Ohio
sedang diusulkan peraturan perundang-undangan, yang menurunkan derajat sexting dari tingkat
kejahatan berat (felony) menjadi tindak pidana ringan tingkat pertama (first degree misdemeanor).
Usulan yang sama juga sedang diajukan di Utah, untuk pelaku sexting di bawah usia 18 tahun.
Sexting Dalam Perspektif Undang-undang Pornografi Indonesia
Untuk masuk sebagai pembicaraan berkenaan pornografi di Indonesia, maka materi sexting harus
memenuhi syarat sebagai materi pornografi. Pasal 1 butir 1 Undang-undang Pornografi
mendefinisikan Pornografi sebagai:  
4
“Gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi
dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang
melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Lalu untuk bisa diterapkan dalam pengancaman pidana, definisi di atas dipersempit dengan syarat
bahwa secara eksplisit materi pornografinya memuat:
a. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang;
b. Kekerasan seksual;
c. Masturbasi atau onani;
d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
e. Alat kelamin; atau
f. Pornografi anak.
Berkenaan dengan jenis-jenis perbuatannya, bila kita mengurainya, ada beberapa perbuatan
langsung yang bisa masuk sebagai perilaku pornografi sexting. Yang paling relevan adalah:
• Membuat materi porno;
• Menyebarluaskan materi porno;
• Meminjamkan materi porno;
• Mempertontonkan materi porno;
• Memiliki materi porno;
• Menyimpan materi porno;
• Menjadikan diri menjadi objek porno;
Dari tujuh perbuatan itu, tiga di antaranya, yakni membuat, memiliki serta menyimpan materi
porno tidak bisa diancamkan mengingat bisa didalilkan untuk dirinya sendiri dan kepentingan
sendiri si pelaku. Pengecualian tersebut termuat dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) serta
Penjelasan Pasal 6 Undang-undang Pornografi, yang secara singkatnya menyatakan bahwa:
Larangan membuat, memiliki dan menyimpan tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan
kepentingan sendiri. Perbuatan menjadikan diri menjadi objek porno juga akan dibebaskan dari
ancaman pidana, bila terbukti bahwa pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di
bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang
lain.
Maka yang tersisa adalah jenis perbuatan menyebarluaskan, meminjamkan dan
mempertontonkan materi pornografi sexting. Kelihatannya jenis perbuatan yang sederhana,
namun bila kita memandangnya dari besarnya ancaman pidananya, perbuatan menyebarluaskan,
meminjamkan dan mempertontonkan pornografi sexting adalah soal serius. Tindakan
menyebarluaskan, menurut Pasal 29 diancam dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp 250.000.000,-  
5
(dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,- (enam milyar rupiah).
Tindakan meminjamkan, menurut Pasal 30 diancam dengan pidana penjara paling singkat 6
(enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp
250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,- (tiga milyar
rupiah). Sedangkan untuk tindakan mempertontonkan diancam pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah). Untuk
tindakan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek pornografi diancam pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima
milyar rupiah).
Dan harus secara serius diperhatikan, mengingat sexting merupakan kecenderungan yang
mewabah di kalangan remaja, maka potensial sebagai perilaku pornografi anak, seseorang yang
berada di bawah usia 18 tahun. Menurut Pasal 37 Undang-undang Pornografi, ancaman pidana
pornografi anak diperberat dengan menambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidana
perbuatan yang dituntutkan.
Penutup
Mungkin fenomena sexting masih tampak sederhana di kehidupan sehari-hari kita masyarakat
Indonesia. Penanganannya secara hukum pun bisa diharapkan dengan adanya pasal-pasal Undangundang
Pornografi yang bisa diterapkan. Namun kecenderungan sexting tentu tidak sesepele
prediksi kita. Sebagaimana yang terjadi di kasus Jesse Logan, masalah sexting adalah masalah
‘hidup atau mati’. Sekarang saatnya sebelum terlambat untuk menyadarkan kita, terutama para
remaja, untuk tidak terjerumus dalam fenomena sexting.
Cynthia Logan, ibu dari Jesse Logan, yang sejak menemukan anaknya tergantung di tengah
kamarnya mendedikasikan diri sebagai aktivis penyadaran berkenaan dengan sexting, menyatakan
di sebuah acara televise yang bisa kita jadikan sebuah seruan, bahwa “I just want to make sure no
one else will have to go through this again!” Mari kita jaga remaja kita untuk tidak menjadi korban
perilaku sexting.
Sebagai permulaan upaya kita menjadi orang tua yang peduli, marilah kita menerapkan aturan
sebagaimana diutarakan Parry Aftab, dalam mendampingi anak-anak berkenaan dengan fasilitas
teknologi informasi, yakni The Rule of Three Cs: Content, Contact and Cost! Harus ada komunikasi
dan pembelajaran bagi anak-anak kita tentang Content (pesan/isi), Contact (dengan siapa kita
bergaul) dan Cost (harga baik fisik maupun mental) sehingga yang kita dapatkan dari teknologi
informasi adalah kekuatan dan kecanggihannya yang memperbaiki dan menumbuhkan kelayakan
hidup kita.***  
UNDANG-UNDANG PORNOGRAFI? LALU APA?
Esei Peri Farouk1
Satu tahun setengah berlalu setelah berlaku Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang
Pornografi. Namun tampak di tengah masyarakat rasa penasaran, apa sih pengaruh undangundang
tersebut dalam kehidupan sehari-hari, terutama berkenaan dengan masih maraknya
fenomena pornografi di tanah air.
Internet, masih leluasa bagi kita masyarakat Indonesia mengakses pornografi di sana.
Beredarnya mini video porno, atau bugil depan kamera, masih terus muncul, baik melalui
internet maupun telepon selular. Blog-blog yang mengalirkan link-link pornografi tetap
hidup meski tanpa nama jelas. Situs-situs jejaring sosial penuh oleh remaja dan lajang yang
eksibis bahkan yang jelas-jelas mengepos materi pornografi. Beberapa fasilitas file storage,
live web camera dan chatting yang berkonotasi seksual masih didominasi user dari
Indonesia.
Memang yang langsung bisa diterapkan dari UU Pornografi secara hukum, baru yang
bersifat pemidanaan. Namun secara praktek, dalam hal ini pun masyarakat masih harus
bersabar, mengingat aparat penegak hukum di berbagai tempat dalam berita media massa,
masih belum memakai pasal-pasal UU Pornografi. Di banyak tempat yang dipakai masih
berkisar ayat-ayat susila dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Belum lagi
pengalaman beraudiensi ke pihak kepolisian, yang mengindikasikan tidak dijadikannya
kasus-kasus pornografi menjadi prioritas.
Di luar pemidanaan, yang sebenarnya diharapkan sebagai benteng pencegahan pornografi,
pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah sebagaimana diamanatkan UU Pornografi.
Yang terpenting adalah membentuk “Gugus Tugas Pelaksanaan Undang-undang Pornografi”.
Kemudian, ada lima peraturan perundang-undangan organik sebagai pelaksanaan UU
Pornografi, yang sampai tulisan ini dibuat, belum satu pun yang diberlakukan. Yakni:
1. Peraturan Perundang-undangan tentang Pembuatan, Penyebarluasan dan
Penggunaan Pornografi Samar;
2. Peraturan Pemerintah tentang Syarat dan Tata cara Perijinan Pembuatan,
Penyebarluasan dan Penggunaan Produk Pornografi untuk Tujuan dan Kepentingan
Pendidikan dan Pelayanan kesehatan;
1 Peri Farouk, Ketua Gerakan “Jangan Bugil Depan Kamera!”. Website: www.jbdk.org, Email:
perifarouk@jbdk.org. Ponsel: 0818-0709-4214.  
3. Peraturan Pemerintah tentang Pembinaan, Pendampingan, serta Pemulihan Sosial,
Kesehatan Fisik dan Mental Anak sebagai Korban atau Pelaku Pornografi;
4. Peraturan Perundang-undangan tentang Peran Serta Masyarakat Dalam Melakukan
Pencegahan Terhadap Pembuatan, Penyebarluasan dan Penggunaan Pornografi;
5. Peraturan Presiden tentang Pembentukan Gugus Tugas Pelaksanaan Undangundang
Pornografi.
Melihat kecenderungan demikian, tulisan ini mencoba mengeksplorasi alternatif
pencegahan pornografi berbasis UU Pornografi yang bisa diperbuat atau dilakukan
masyarakat, baik secara individu, kelompok maupun lingkungan, secara informal maupun
menyangkut dunia professional, serta kekuatan dari pemerintahan daerah.
Masyarakat Umum vs. Pornografi
Pasal 20 UU Pornografi menyatakan bahwa masyarakat dapat berperan serta dalam
melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi.
Peran serta masyarakat tersebut konkritnya dapat dilakukan dengan cara sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 21 ayat (1) UU Pornografi, yakni:
a. Melaporkan pelanggaran UU Pornografi;
b. Melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi;
dan
d. Melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak
pornografi.
Cara-cara melaporkan pelanggaran dan melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan,
sesuai Penjelasan Pasal 21 ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, yang artinya agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim
sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya.
Dari ketentuan-ketentuan sebagaimana disebutkan di atas, sebenarnya sangat luas bagi
masyarakat untuk bisa berperan terutama dalam pencegahan pornografi. Secara proaktif
individual dan keluarga, banyak yang bisa dilakukan secara mandiri. Di antaranya:
Meski secara hukum ‘membuat, memiliki atau menyimpan materi pornografi untuk dirinya
sendiri dan kepentingan sendiri’ dibebaskan dari jeratan pidana, namun dengan
pertimbangan lain, setiap individu secara sukarela lebih aman membebaskan diri atau
menjauhkan diri dari perbuatan demikian. Secara konsekuensi hukum ada dua kemungkinan
yang membahayakan, yakni: Pertama, perbuatan ‘membuat, memiliki atau menyimpan’
sangat rentan beralih menjadi modus lain atau bisa dipersangkakan demikian , terutama  
perbuatan ‘menjadikan diri sebagai obyek pornografi, menggandakan, menyebarluaskan,
meminjamkan, atau mempertontonkan’. Berkenaan dengan pornografi yang dikemas dalam
teknologi informasi, sifat easy-transferable atau gampang beralihnya materi yang dianggap
mulanya sebagai pribadi (private) menjadi publik, akan mengaburkan sifat ‘untuk dirinya
sendiri dan kepentingan sendiri’. Dengan demikian kekebalan hukum atas perbuatan
‘membuat, memiliki atau menyimpan materi pornografi untuk dirinya sendiri dan
kepentingan sendiri’ menjadi tidak berlaku. Kedua, adanya ancaman pidana sebagaimana
disebutkan sebagai salah satu perbuatan di Pasal 38 UU Pornografi, yakni ‘membiarkan anak
dalam menggunakan produk atau jasa pornografi ‘, akan menyebabkan orang bisa didakwa
sebagai pelaku pornografi anak karena materi yang dibuat, dimiliki atau disimpan yang
semula untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri, beralih atau bocor kepada orang di
bawah usia 18 tahun. Patut diketahui, ancaman pidana pornografi anak diperberat sepertiga
dari maksimum ancaman pidana pornografi biasa.
Di dalam keluarga mesti dibiasakan adanya komitmen, terutama dalam hal pemakaian
fasilitas teknologi informasi, adanya pembatasan waktu, dan penempatan yang bijak alatalat
teknologi informasi. Mengkomitmenkan bahwa ‘fasilitas teknologi informasi semisal
personal computer, laptop, telepon selular, flash disk, harddisk’ yang dititipkan kepada anak
harus siap dilihat isinya oleh orang tua, sekurang-kurangnya akan mencegah sikap cobacoba
anak untuk membuat, memiliki dan menyimpan materi pornografi.
Individu atau keluarga juga bias berinisiatif menggagas terbentuknya gugus kegiatan
pencegahan pornografi di wilayah masing-masing, sekurang-kurangnya saling membina dan
mencerdaskan diri. Sebagai perbandingan mutakhir, di Amerika Serikat saja saat ini banyak
bermunculan kegiatan-kegiatan anti pornografi dari, oleh dan untuk masyarakat, berkisar di
masalah pergaulan anak muda yang berkait dengan seks dan penyalahgunaan teknologi.
Dua survey berwibawa, yakni: “Sex & Tech” yang dilakukan The National Campaign to
Prevent Teen & Unplanned Pregnancy (NCPTUP) bekerjasama dengan CosmoGirl.com, serta
“Teen Digital Abuse” yang dilakukan MTV bekerjasama dengan The Associated Press,
menggambarkan pola serta angka-angka yang harus diwaspadai. Sebagai ringkasan dari
kedua survey, hasilnya sebagai berikut:
• Anak muda mengetahui bahwa sexting (berbagi pesan dan materi porno melalui
teknologi informasi) berbahaya, tetapi mereka tetap melakukan tindakan tersebut;
• Seperlima ABG (gadis berusia 14-19 tahun) dan sepertiga lajang (gadis berusia 20-26
tahun) melakukan sexting;
• Penerima materi sexting terbanyak adalah berstatus pacar pengirim sexting, namun
29% penerima materi sexting adalah kenalan online (teman chatting);
• Alasan melakukan sexting terbanyak adalah have fun, menggoda, dan hadiah sexy,
namun banyak kasus juga bersifat ‘pressure’;  
• Berbagi pesan porno bersifat viral, artinya terus beredar kepada pihak lain: 40%
pernah diperlihatkan materi sexting dari orang lain; 20% mengaku membagikan
kembali materi sexting yang diterimanya; dan 61% yang pernah mengirimkan
sexting, sekurang-kurangnya 1 kali ditekan oleh orang lain yang bukan penerima
awal untuk mengirimkan materi sextingnya. Parry Aftab, ahli pengamanan di
internet dan aktivis yang memperjuangkan perlindungan remaja di ruang maya
mengklaim bahwa: 44% pelajar putra pernah mendapatkan materi porno teman
putri satu sekolahan, dan 15% pelajar putra menyebarkan materi porno kekasihnya
setelah hubungan pacaran mereka putus;
• Pengaruh sexting atas perilaku anak muda: tingkat yang paling ringan adalah
menjadikan anak muda yang bersangkutan ‘agresif jorok’, mengharap kencan,
mengharap lebih dari sekedar kencan, dan paling berat ‘melakukan hubungan
intim’. Dari survey diketahui 45% remaja yang melakukan hubungan seks dalam 7
hari terakhir, mengakui ada hubungannya dengan perilaku sexting mereka.
Keluarga beserta lingkungan juga bisa mempersempit akses anak-anak kita terhadap materi
pornografi. Perangkat lunak untuk memfilter serta memblokir situs pornografi sudah banyak
tersedia, bahkan bias didownload dan dipergunakan secara gratis di masing-masing
computer. Keluarga dan lingkungan bisa melakukan pendekatan ke warung atau kafe-kafe
internet di wilayahnya, sekolah, perpustakaan, tempat-tempat berinternet-hotspot untuk
memeriksa dan mengawasi ada tidaknya filter serta blokir terhadap pornografi.
Lingkungan Kerja vs. Pornografi
Bagi perusahaan atau kantor cobalah iseng mensurvey pemakaian computer dan
internetnya. Berapa persen dihabiskan para karyawan untuk mengakses pornografi? Ya,
serapan pemakaian internet di Indonesia sebagian besar merupakan akses dari perkantoran.
Tentunya kegemaran masyarakat Indonesia yang secara rata-rata menempati urutan keempat
sedunia sebagai pengakses pornografi dengan kata kunci sex, serta juara satu
sedunia untuk lima tahun berturut-turut sebagai pengakses beberapa nama idola sex dunia,
secara rasio berbanding lurus dengan tingkat akses internet dari perkantoran.
Undang-undang Pornografi mengenal adanya pelaku tindak pidana pornografi berupa
korporasi, selain pelaku bersifat orang perseorangan. Tindak pidana pornografi dengan
pelaku korporasi, sebagaimana ditentukan Pasal 40 ayat (2) UU Pornografi, adalah tindak
pidana pornografi yang dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik
sendiri maupun bersama-sama. Modus perbuatannya sama seperti modus perbuatan
pornografi perseorangan. Yang istimewa berkenaan dengan korporasi adalah ancaman
pidananya. Pengurus korporasi bisa dipenjara dan/atau denda. Korporasinya sendiri bisa  
diancam denda 3 kali lipat maksimum pidana denda sebagaimana masing-masing pasal
bersangkutan. Kemudian masih ada berupa pidana tambahan, yakni: pembekuan izin usaha,
pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan hasil tindak pidana, dan pencabutan status
badan hukum.
Oleh karenanya diperkuat dengan adanya UU Pornografi sudah saatnya bagi lingkungan
kerja, perusahaan atau korporasi membuat kebijakan-kebijakan dalam profesionalitas dan
kepegawaiannya, yang berkaitan erat pencegahan pornografi di lingkungan kerjanya.
Cantumkan klausul pemberian sanksi yang berat untuk penyalahgunaan fasilitas kantor
berkenaan pornografi. Bagi korporasi sendiri, hal ini akan menghemat banyak anggaran
yang selama ini disalahgunakan demi akses pornografi. Pelayanan kepada pelanggan,
terutama yang menggunakan fasilitas teknologi informasi, mungkin akan menjadi lebih
baik, karena tidak diganggu akses-akses yang merugikan korporasi sendiri.
Selain yang bersifat kebijakan, secara teknologi, korporasi pun sangat dianjurkan berinisiatif
memasangkan filter serta blokir untuk akses pornografi. Hal ini hanya tergantung pada
kemauan masing-masing korporasi saja. Perangkat lunak untuk local-area network yang
tidak berbiaya pun sudah tersedia untuk dipergunakan.
Pemerintah Daerah vs. Pornografi
Pemerintah daerah diberi wewenang oleh UU Pornografi untuk secara umum melakukan 4
(empat) hal di wilayahnya masing-masing, yakni:
1. Melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi
atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
2. Melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan
pornografi;
3. Melakukan kerjasama dan koordinasi dengan berbagi pihak dalam pencegahan
pembuatan, penyebarluasan dan penggunaan pornografi; dan
4. Mengembangkan sistem komunikasi, informasi dan edukasi dalam rangka
pencegahan pornografi.
Demi mewujudkan secara konkrit ketentuan UU Pornografi tersebut, satu gagasan yang
sering disampaikan penulis di daerah, ketika berkampanye dan mensosialisaikan UU
Pornografi , adalah perlunya penertiban warung-warung atau kafe-kafe internet.
Saat ini bisa dikatakan bahwa warnet atau kafe internet rawan dijadikan tempat
dilakukannya pornografi atau sekurang-kurangnya titik-titik akses dan penyebaran materi
pornografi. Warnet bahkan sering dijuluki sebagai hotel termurah yang di dalamnya  
pengunjung bisa melakukan apapun. Harga perjamnya sangat terjangkau bahkan oleh
pengunjung anak kecil sekalipun.
Berkenaan dengan warnet sebagai titik pencegahan pornografi, bukan saja pemerintah
daerah bisa membuat kebijakan atau peraturan daerah yang mengatur kewajiban
pemasangan perangkat lunak filtering serta pemblokiran pornografi, melainkan juga sampai
kepada tata ruang pengaturan serta penempatan komputer di dalamnya. Diupayakan
warnet tidak bersekat dan penempatan layar monitor yang tidak meleluasakan orang bisa
bersembunyi dengan kegiatan berseluncurnya.
Kebijakan mewajibkan dipasangnya perangkat penyaring serta pemblokir pornografi juga
bisa diterapkan ke semua channel internet, selain warung dan kafe internet, yang saat ini
sedang gencar-gencarnya dikembangkan di daerah, seperti jaringan lokal dan hostpot di
kantor pemerintah, kedinasan daerah, sekolah, perpustakaan, dan ruang-ruang publik.
Penutup
Sebagai warga Negara yang khawatir terhadap menggejalanya pornografi di tengah-tengah
kehidupan masyarakat, kita layak untuk menuntut pemerintah serius dan berkelanjutan
dalam upaya pencegahan dan penindakan tindak pidana pornografi. Sosialisasi terutama ke
penegak hukum, yang nantinya menyadarkan mereka untuk mempergunakan ketentuanUU
Pornografi dalam kasus-kasus pornografi, harus diprioritaskan. Karena dalam kacamata
masyarakat umum, penerapan pasal-pasal UU Pornografi dalam kasus-kasus yang terjadi di
dekat merekalah yang menandakan bahwa UU Pornografi berfungsi secara sebenarnya.
Namun, sambil menunggu dilengkapinya UU Pornografi dengan lembaga khusus pelaksana
UU Pornografi dan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya sebagaimana
diamanatkan, semua pihak, baik individu, lingkungan, masyarakat, dunia professional, dan
pemerintah daerah bisa bahu membahu menjalankan perannya dalam pencegahan
pornografi. Perkembangan teknologi informasi, siasat dan strategi para pebisnis pornografi,
serta makin bersifat pribadinya akses ke media berteknologi informasi, tidak mungkin
dilawan hanya oleh kewenangan yang ada di pemerintah dan penegak hukum saja.
Kesadaran individu, kesepakatan di tingkat komunitas serta kebijakan di lingkungan kerja
dan pemerintahan daerah, akan secara signifikan mempersempit akses dan penyebaran
pornografi. ***

Baca selengkapnya...

Kamis, 01 Juli 2010

LAPORAN PENYERAHAN SERTIFIKASI JURNAL DAN AKREDITAS JURNAL BPPKI BANDUNG DI PDII LIPI JAKARTA, SELASA 22 JUNI 2010

• Format e-jurnal
 HTML
 PDF
• http://journal.pdii.go.id
cek serah simpan jurnal di PDII LIPI.
• Dalam i_library tidak ada lagi jurnal sangkuriang.
• Directory of open.
Access journals gratis tidak berbayar.

Arahan Ketua LIPI yang baru Prof. DR. LUKMAN HAKIM
• Peneliti modalnya kepercayaan.
Ada 3 komponen penting :
- Standard.
- Akreditasi.
- Kredibilitas.
• Dahulu kita adalah zaman kekurangan data, sekarang masuk pada zaman kelebihan data intinya PEER REVIEW.
• Standard : sistem on line mata lebih banyak.
Akreditasi : suatu cara mencapai tingkat tertentu bukan tujuan.
Kredibilitas : membangun profesi peneliti menjadi terhormat.
• Profesi peneliti haris ada
Check and balance (kejujuran).
• Plagiarism makin banyak, jangan lakukan itu, dapat menghilangkan dan merenggut kepercayaan.
• Hanya merugikan orang-orang yang tidak jujur, bukan semua orang.
• Standard di dunia ilmu sangat universal (ENTERPRISE OF THE TRUTH).
• SUPER POWER: selaras antara ekonomi dan iptek.
• Ada 7 instansi (lembaga pemerintah) yang punya TP2I berhak menilai angka kredit dari peneliti pertama hingga peneliti muda.
1. Kementerian ESDM.
2. LAPAN.
3. BATAN.
4. Kementerian Kelautan dan Perikanan.
5. Kementerian Pertanian.
6. Kementerian Kehutanan.
7. LIPI.
ARAHAN SESTAMA LIPI PROF. DR. ROCHADI, MA. APU
• Jurnal tidak sekedar untuk angka kredit.
• Artikel yang berkualitas.
• Semua catatan-catatan Dewan Penyunting disimpan dan diperhatikan.
• Akreditasi C : 1 tahun tidak serta-merta disebut.
• Perlu belajar kebaikan.
• PNS: Profesional, netral dan sejahtera.
• Perubahan paradigma tahun 2011.

Baca selengkapnya...

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)