SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Selasa, 22 Desember 2009

TINJAUAN TERHADAP PEMBERITAAN KASUS 27 JULI 1996 (ANALISIS ISI HARIAN KOMPAS)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Banyak orang berkata bahwa kejatuhan rezim Orde Baru pimpinan presiden Soeharto dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain yang pertama karena bergulirnya ide reformasi yang dimotori oleh Amien Rais cs. Dengan menggalang para mahasiswa untuk berdemonstrasi menurut perubahan dan demonstrasi tersebut terjadi hampir di seluruh Indonesia. Kemudian ada juga orang yang mengatakan rezim Orde Baru sudah terlalu lama berkuasa kurang lebih 32 tahun (12 Maret 1967 sampai dengan 21 Mei 1998), sehingga muncul perlawanan keras dari rakyat yang tertindas. Siapa pun tahu ketika itu bahwa kebebasan individu dalam menyatakan pendapat, kebebasan

berorganisasi dan kebebasan pers sangat dibatasi oleh aturan yang sangat ketat secara langsung maupun tidak langsung; serta-merta akibatnya masyarakat tidak barani bicara apalagi melakukan tindakan melihat kondisi bangsa yang sudah mulai carut-marut dalam segala aspek kehidupan.
Selanjutnya terdapat juga upaya pendongkelan terhadap Megawati Soekarno Putri dari pencalonannya sebagai ketua PDI (Partai Demokrasi Indonesia) serta upaya menurunkannya secara paksa dari posisi puncak ditubuh PDI, sehingga dampaknya menimbulkan konflik vertikal maupun horisontal yang berkepanjangan yang akhirnya menimbulkan kerusuhan 27 juli 1996. Peristiwa ini merupakan akumulasi ketidak puasan dan ketidak percayaan rakyat terhadap pemerintah dalam kerangka penyalesaiannya sampai sekarang belum tuntas. Asumsi masyarakat pun sangat heterogen sampai-sampai ada anggapan kasus 27 juli 1996 dijadikan bargaining politik para elite politik untuk mempertahankan status quo partai pemenang pemilu di era demokrasi. Tetapi yang pasti dan sudah jelas banyak orang kecewa terutama keluarga korban, simpatisan ataupun kader PDI serta bangsa Indonesia pada umumnya, karena tidak tuntasnya penanganan kasus tersebut hingga sekarang.
Kasus 27 juli 1996 sebenarnya adalah merupakan peristiwa yang sudah pasti ada awalnya juga sebab, artinya tidak dengan serta-merta dapat berdiri sendiri tanpa ada pemicunya. Tetapi anehnya tidak ada kejelasan penyelesaiannya.
Banyak media massa cetak yang sudah mengupas kasus 27 Juli 1996 melalui informasi, pemberitaan, artikel, tajuk rencana, opini, surat pembaca dan lain-lain. Namun tidak pernah ada yang mengupas secara tuntas kasus tersebut. Untuk itulah peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut tentang pemberitaan kasus 27 Juli 1996 melalui isi pemberitaan surat kabar.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas, maka dapat dirumuskan masalahnya:
Bagaimana pernyataan para elit politik, intelektual, pengusaha, mahasiswa, pemimpin surat kabar, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat umum sebagai korbannya tentang kasus 27 Juli 1996 yang dimuat oleh Harian Kompas ?

1.3 Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pernyataan para elit politik, intelektual, pengusaha, mahasiswa, pemimpin surat kabar, organisasi kemasyarakatan dan masyarakat umum tentang kasus 27 Juli 1996 yang dimuat oleh media massa cetak yang meliputi sebelum peristiwa itu terjadi, saat terjadinya peristiwa itu dan sesudah terjadinya kerusuhan 27 Juli 1996 sampai lengsernya Presiden Soeharto. Hal ini dilakukan melalui studi tentang isi komunikasi mereka di media massa cetak.
Kegunaan penelitian:
1.secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu komunikasi khususnya komunikasi politik, sehingga dapat memberikan perspektifbaru dalam menguji teori-teori yang ada secara empirik.
2.secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi petunjuk bagi pengambil keputusan dalam usaha untuk menuntaskan kasus 27 Juli 1996, sehingga dapat menjadi referensi bagi sejarah perjuangan kemerdekaan demokrasi di Indonesia.

1.4 Metode Penelitian
Penelitian ini akan memakai metode analisis isi versi Krippendorff. Ada dua hal penting yang ditekankan Krippendorff :
1.unsur dapat ditiru. Artinya sebuah penelitian haruslah dapat dilakukan oleh peneliti lain dalam lingkungan yang berbeda, yang memakai teknik yang sama dengan data yang sama pula dan membuahkan hasil penelitian yang sama.
2.unsur konteks. Artinya data tidak dapat dipisahkan begitu saja dari konteksnya.
Secara intuitif, menurut Krippendorff, analisis isi merupakan metode yang mencari arti simbolis suatu pesan.
Dalam penelitian ini peneliti tidak membatasi periode penerbitan pemberitaan, tetapi datanya diperoleh dari setiap ada pemberitaan yang menyangkut kasus 27 juli 1996; karena sampai sekarang penyelesaian kasus 27 juli 1996 belum tuntas juga, sehingga masih sering dijumpai ulasan tentang peristiwa tersebut. Sehingga tidak ada pembatasan volume data yang akan diteliti, oleh karena itu dalam penelitian ini memakai analisis isi kualitatif.
Sebagai unit analisis, peneliti menetapkan semua pemberitaan tentang kasus 27 juli 1996 dalam surat kabar harian Kompas tanpa mengindahkan rubrikasi. Dalam penelitian ini dianggap bahwa pernyataan dapat muncul dalam rubrik mana pun, sehingga pertimbangan rubrikasi haruslah diabaikan.
Dalam penelitian ini data dari surat kabar harian Kompas dijadikan prioritas. Pilihan itu didasarkan pada alasan bahwa Kompas merupakan koran nasional dengan oplah besar dan dengan demikian ekspose surat kabar tersebut terhadap kasus 27 juli 1996 akan besar pula dan pendistribusiannya sebagai saluran komunikasi politik semakin besar pula dampaknya, apalagi berhubungan dengan pengaruh kekuasaan, sehingga biasanya Kompas sering dijadikan salah satu cermin atau barometer dalam melihat kehidupan sosial dan politik masyarakat di Indonesia.
Berdasarkan kebutuhan akan akurasi data, maka perlu dilakukan wawancara terhadap informan dengan menggunakan interview guide sebagai pedoman wawancara. Wawancara tersebut dilakukan untuk menambahkan informasi sebagai suatu cek silang (cross check) terhadap kebenaran data atau pemberitaan media yang dipilih.

Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi lima bab utama. Bab I : Pendahuluan yang berisi rencana penelitian yang terdiri dari latar belakang masalah dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, dan metode penelitian. Bab II : Sejarah PDI yang berisi sejarah singkat PDI dan figur Megawati Sukamoputri sebagai simbol perlawanan rakyat. Bab III: Hasil-hasil Penelitian, yang berisi analisa terhadap pemberitaan sekitar kasus 27 Juli 1996 yakni sebelum terjadinya kasus, saat terjadinya kasus, dan setelah terjadinya kasus 27 Juli 1996 berikut analisis datanya. Bab IV : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.

BAB II
SEJARAH PARTAI DEMOKRASI INDONESIA

2.1 Sejarah Singkat PDI
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berdiri pada tanggal 10 Januari 1973, yang merupakan penggabungan atau fusi dari lima partai politik (parpol) yakni Partai Nasional Indonesia (PNI), Murba, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Katolik, dan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Pengelompokan kelima partai yang berfusi ini didasarkan pada dua basis ideologi yang berbeda yakni kelompok nasionalis (PNI, Murba, dan IPKI) dan partai agama non-Islam (Parkindo dan Partai Katolik). Ketika itu persetujuan pembentukan PDI ditandatangai oleh mereka yang mewakili setiap unsur. Mereka adalah, Achmad Sukarmadidjaja dan Mh.Sadri (IPKI), Ben Mang Reng Say dan F.S. Wigjosoemarsono (Partai Katolik), A. Wenas dan Sabam Sirait (Parkindo), S. Mubantoko dan Djn Pakan (Murba), serta Mh. Isnaeni dan Abdul Madjid (PNI).
Secara umum pemfusian membawa dua konsekuensi buruk bagi partai politik.
Pertama posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional (baca: pemerintah) yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, fusi menjadikan parpol sulit menjelaskan esensi kehadirannya dihadapan tata politik nasional yang ada. Kalaupun bisa, kehadiran itu akan selalu berhubungan dengan keberadaan parpol-parpol yang menjadi unsur fusi dan itu, menurut Sjamsuddin Baris, bukan sesuatu yang menyenangkan bagi pemerintah Orba. (Lihat Sjamsuddin Baris, "Party Conflicts under the New Order: Patterns and Tendecies", The Indonesia Quarterly, XVII/3, ha1.249.)
Bagi PDI pemfusian partai membawa sejumlah konsekuensi yang kurang lebih sarna seperti tersebut di atas. Konsekuensi pertama, timbulnya konflik intern yang berkepanjangan dalam tubuh PDI. Sejak konggres pertama sampai sekarang konflik intern tidak pernah tuntas. Konflik intern disebabkan oleh dua hal: persaingan antar unsur clan vest interest antar individu. Bagi sebagian pengamat, justru konflik antar individu yang dilandasi kepentingan pribadilah yang banyak mewarnai konflik dalam tubuh PDI. Dan mereka yang sering berkonflik adalah mereka yang berasal dari unsur PNI.
Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI sebagai partai yang bersatu. Latar belakang ideologis yang berbeda di antara partai yang berfusi menjadikan PDI kehilangan simbol dirinya. Ini berakibat langsung terhadap performa PDI di depan massa pemilihnya. Sampai sekarang PDI masih dihadapkan pada masalah identitas apakah yang dapat dipakai untuk menandai sosok PDI. Meskipun kemudian disepakati memakai identitas "partai yang memiliki karakter dan kualitas demokrasi Indonesia, nasionalisme Indonesia dan keadilan sosial. (Lihat Al Baroto, "PDI in the Face of the 1992 General Election", The Indonesian Quarterly, XX/I, ha1.65.) Dalam pelaksanaannya PDI masih juga "meminjam" simbol-simbol lain yang pemah menjadi identitas partai yang bergabung dengannya. PDI, misalnya masih memakai simbol Bung Kamo sebagai identitas partai, meskipun kemudian dilarang pada Pemilu 1987. Wama merah dan hitam yang sering dipakai PDI juga merupakan simbol yang dipinjam dari PNI, partai terbesar yang berfusi dalam PDI.
Persoalan lain ialah iklim sistem politik khas Orde Baru (Orba) tempat PDI tumbuh yang sangat menekan peran parpol. Trauma atas politik zaman Orde Lama (Orla) saat parpol melahirkan disintegrasi nasional dijadikan pengalaman buruk bagi pemerintah Orba dalam menjalankan politik nasionalnya. Seorang pengamat Barat mengatakan bahwa motivasi yang melatarbelakangi politik Orba adalah semangat anti-partai. (William Liddle seperti dikutip Daniel Dhakidae, "Pemilihan Umum di Indonesia:
Saksi Pasang Naik dan Pasang Surut Partai Politik", Prisma No.9, September 1991, ha1.32.) Kondisi ini kemudian membawa sejumlah konsekuensi buruk bagi PDI dan kehidupan parpol di Indonesia pada umumnya. Proses de-parpol-isasi terjadi pada setiap lapisan masyarakat dan kehidupan parpol dipengaruhi oleh peran negara yang dominan.
Selain itu, PDI juga masih dilingkupi oleh konflik yang berkepanjangan di antara kader-kadernya. Sebagian dari konflik itu bersumber dari pertentangan antar-unsur dan justru yang paling dominan, bersumber dari kepentingan-kepentingan politik individu (vest interest) belaka.
Kemudian kondisi PDI pasca fusi juga banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal, yakni disahkannya UU Organisasi sosial politik dan UU Pemilu yang tidak menguntungkan parpol, termasuk PDI. Kebijakan massa mengambang yang melarang parpol memiliki satuan di tingkat kecamatan dan desa, sehingga menjadikan PDI kehilangan basis massa pendukung.
Kebijakan massa mengambang telah dilakukan sejak awal Orde Baru (1970).
Kebijakan ini pada intinya melarang Parpol dan Golkar untuk melakukan aktivitas politik di tingkat desa. Kebijakan massa mengambang ini kemudian dijustifikasi dengan dikeluarkannya UU No.3 Tahun 1975 dan kemudian diperbaharui dengan UU No.3 Tahun 1985.
Ketentuan bahwa organisasi Parpol hanya diijinkan aktif sampai tingkat ibu kota kecamatan menyebabkan Parpol kehilangan basis dukungan dari massanya di desa-desa. Pada awalnya kebijakan ini dimaksudkan untuk mengeliminasi konflik-konflik politik di desa serta menghapus kesan "politik adalah panglima" yang pernah ada pada masa Orde Lama. Namun lama-kelamaan kebijakan ini justru menghambat proses perekrutan dan atau kaderisasi Parpol. PDI yang terbentuk dari partai yang mengakar dari rakyat banyak, seperti PNI, jelas kehilangan basis dukungannya karena kebijakan ini. Struktur organisasi partai pun terbatas hanya sampai Daerah Tingkat II, namun tetap diijinkan menempatkan komisaris dan pembantu komisaris di tingkat kecamatan. Hal yang sarna ternyata tidak berlaku bagi Golkar. Identifikasi Golkar dengan birokrasi memudahkan Golkar melakukan kaderisasi sampai ke aparat pada level terbawah.
Kebijakan massa mengambang ini, bagi Parpol, sebetulnya sudah tidak perlu diberlakukan lagi. Setelah prinsip asas tunggal bagi setiap ormas dan orsospol ditetapkan melalui UU No.8 Tahun 1985, praktis tidak ada lagi perbedaan ideologi; karenanya, apa pun orsospol pilihan masyarakat, ideologinya adalah Pancasila.
Kemudian tentang pelaksanaan pemilu di Indonesia. Pelaksanaan pemilu dirasakan merugikan parpol berkaitan dengan kepanitiaan pemilu. Dalam UU tentang Pemilu No.35 Tahun 1985 Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa anggota Pantarlih (Panitia Pendaftaran Pemilih) terdiri dari unsur pemerintah sebanyak-banyaknya lima orang, termasuk ketua dan wakil ketua yang diangkat dan diberhentikan Bupati/Walikota Kepala Daerah II/Ketua PPD II atas usul camat/ketua panitia pemungutan suara. UU ini secara tidak .langsung menutup kemungkinan masuknya parpol sebagai panitia pemilu. Bagi parpol keadaan tersebut merugikan, karena parpol tidak bisa mengawasi jalannya pemilu langsung sebagai panitia. Selanjutnya posisi parpol hanya sebagai saksi dalam.
Penghitungan suara. Selain itu, UU No.35 Tahun 1985 juga memungkinkan jabatan rangkap lurah menjadi ketua sekaligus anggota Pantarlih. Jabatan rangkap ini dinilai telah mengaburkan asas luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia), karena posisi pejabat (kepala desa/lurah) merangkap fungsionaris/anggota Golkar. Berdasarkan beberapa pengalaman di daerah seperti Jawa Timur beberapa pengamat menilai, panitia biasanya cenderung "memihak" Golkar. Ini terjadi karena salah satu bagian dari keluarga besar Golkar adalah birokrasi.
Di samping persoalan yang menyangkut PDI yang berasal dari luar dirinya, maka muncul juga konflik yang muncul dalam tubuh PDI sendiri. Konflik ini terjadi segera setelah Kongres I PDI berakhir (1977). Konflik terjadi antara Sanusi Hardadinata dan Usep Ranawidjaja (Ketua Umum dan Ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I) melawan Achmad Sukarmadidjaja dan Muhidin Nasution (keduanya juga ketua Dewan Pimpinan Pusat hasil Kongres I). Pertentangan kemudian memunculkan kubu-kubu di antara anggota yang lain.
Konflik berawal dari perbedaan pendapat mengenai pencalonan unsur PDI untuk duduk dalam jabatan pemimpin MPR/DPR. Ketika itu Isnaeni terpilih menjadi wakil ketua MPR/DPR dengan dukungan F-KP dan F-ABRI. Namun hal itu ditentang oleh lawan-lawan politiknya dalam tubuh PDI.

2.2 Figur Megawati sebagai Simbol Perlawanan Rakyat
Ketika Megawati Soekarnoputri tampil sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan (PDI) di tahun 1993, banyak orang terkejut. Bukan saja karena ia, Megawati, puteri Bung Karno tetapi juga karena arus bawah yang setia mendukungnya. Mengorbitnya Megawati menggusur Soerjadi pada waktu itu, membuat banyak pihak kebakaran jenggot. Naiknya Mega ditengarai sebagai sinyal bangkitnya Soekarnoisme yang sangat ditakuti oleh pemerintah Orde Baru.
Pada tahun 1996 sekelompok pengurus PDI Pro Soerjadi berinisiatif menyelenggarakan Kongres di Medan yang menobatkan Soerjadi kembali menjadi Ketua Umum. Kongres Medan bulan Juni 1996, yang diduga penuh rekayasa, segera diikuti dengan aksi penjarahan kantor DPP PDI yang memuncak pada kebrutalan 27 Juli 1996. Ironisnya, massa pro Mega (yang menjadi korban Tragedi 27 Juli) malah dipersalahkan. Secara formal, Megawati tidak memiliki jabatan apa-apa pasca Kongres Medan. Hak politiknya, juga massa pendukungnya praktis dikebiri oleh arogansi penguasa dan lawan-lawan politiknya.
Namun, tidak selamanya mendung itu kelabu. Kendati tergusur dari jabatan Ketua Umum PDI (menurut versi pemerintah), bukan berarti Mega lalu tidak berdaya. Justru PDI tanpa Mega menjadi tidak berarti apa-apa. Perolehan kursi PDI pada Pemilu 1997 merosot tajam, sebab Megawati tidak ikut serta memperkuat PDI. Pada ulang tahun PDI pertengahan Januari 1998 (saat Soeharto masih berkuasa), beberapa diplomat asing justru hadir di markas PDI pro Mega, bukan ke PDI Soerjadi yang pro Orde Baru.
Setelah Soeharto lengser kekuatan Megawati pun makin menggumpal. Kongres PDI Perjuangan pada bulan Oktober 1998 di Bali merupakan bukti konkrit betapa antusiasnya massa Megawati. Setelah rezim Orde Baru tumbang, putri Bung Kamo yang gemar menari di masa kecilnya itu menemukan kembali panggungnya. Mega naik ke pentas politik, dan siap menari-nari. la mengepalkan tangan menyambut salam jutaan massa pendukungnya. Dia didaulat banyak pihak untuk tampil sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia.
PDI Perjuangan-"nama Baru" yang diciptakan untuk menggantikan sebutan "PDI Pro Mega"- muncul sebagai partai pemenang Pemilu 1999. Nama Megawati pun bergulir ke Sidang Umum MPR 1999 sebagai kandidat Presiden. Sayangnya, kubu Poros Tengah menjegal Megawati dan mensponsori pemilihan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden RI 1999-2004. Megawati hanya kebagian jabatan wapres, setelah menang voting dengan Hamzah Haz yang dijagokan oleh koalisi Poros Tengah. Walau pun akhimya Gus Dur diturunkan juga ditengah jalan dan digantikan kemudian oleh Megawati sampai tahun 2004.

PERJALANAN HIDUP MEGAWATI
Dyah Permata Megawati Setywati Soekamoputri lahir di Yogyakarta tanggal 23 Januari l947. Pribadi Megawati tidak dapat dipisahkan dari kehidupan Proklamator RI Bung Kamo. Sebagai putri Bung Kamo, Mega mengemban harapan masyarakat Indonesia yang merindukan sosok pemimpin berkualitas seperti Bung Kamo. Bisa dibayangkan, betapa sukar masa kecil yang ditempuh Megawati, putri sulung Bung Karno buah perkawinannya dengan Fatmawati ini. Apalagi ketika terjadi Agresi Militer Belanda I di bulan Juli 1947, yang membuat keluarga Sukarno-Fatmawati hijrah untuk sementara ke Madiun. Setelah aman mereka baru kembali ke Yogya. Ketika pecah Agresi Militer Belanda II tanggal 19 Desember 1948, Bung Kamo dan Bung Hatta langsung ditawan pasukan Belanda ke pulau Bangka. Sementara keluarganya menjadi tawanan di Yogya. Singkatnya, masa kecil megawati sungguh menyedihkan.
Latar belakang pendidikan formal Megawati tidaklah istimewa. Setelah lulus dari SD Perguruan Cikini, ia lalu melanjutkan ke SMP Perguruan Cikini dan tamat pada tahun 1962. SMA-nya juga diselesaikan di Cikini. Dia sempat mencicipi bangku kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran, Bandung tahun 1965-1967. Tapi tidak tamat, karena gejolak politik yang melanda pada masa transisi dari pemerintahan Orde Lama ke Orde Baru. Sebagai putri dari Presiden Sukarno, dia turut mengalami pahit getirnya hidup dalam caci-maki serta belenggu politik pada akhir dekade 1960-an.
Sejak 1967, Megawati menemani ayahandanya, Bung Karno, yang kondisi kesehatannya sudah cukup memprihatinkan. Kemudian pada tahun 1970-1972, Mega kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tapi juga tidak tamat. Selama periode tersebut, Mega aktif dalam GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia).
Setelah itu, Megawati adalah seorang ibu rumah tangga biasa. Ketika masih kuliah, dia menikah dengan Lettu Penerbang Surindro Supjarso. Suaminya ini meninggal tahun 1970. Kemudian Megawati menikah dengan suami kedua, Hassan Gamal Ahmad Hasan pada tanggal 27 Juni 1972. Perkawinan itu juga tidak langgeng. Hingga akhirnya Mega menikah dengan Taufik Kiemas, Megawati mengarungi pahit-getirnya kehidupan termasuk kehidupan berpolitik. Di rumah, Mega harus menjadi ibu yang baik bagi ketiga anaknya; masing-masing Moh. Rizki Pratama, Moh. Pradana dan Puan Maharani.
Megawati terjun ke arena politik pada dekade 80-an. Setelah menjadi Ketua PDI Cabang Jakarta Pusat, Mega dilantik menjadi anggota DPR RI (sejak tahun 1987 sampai 1996). Ia juga Ketua Umum DPP PDI sejak 22 Desember 1993 sampai terpilihnya menjadi Presiden.
Momentum kepemimpinan Megawati mencuat dan diperhitungkan pihak internasional sejak Kongres PDI di Bali, Oktober 1998. Saat itu, dukungan massa begitu antusias. Jika dicermati lebih jauh, terdapat ikatan benang merah antara keluarga Bung Karno dengan masyarakat Bali. Lebih jauh lagi, terdapat ikatan benang merah antara keluarga Bung Kamo dengan masyarakat Bali. Masyarakat Pulau Dewata memang memiliki kecintaan tersendiri terhadap Megawati. PDIP menang mutlak di sana. Ketika Mega gagal tampil sebagai Presiden RI pada Sidang Umum MPR 1999 akibat manuver politik Poras Tengah, masyarakat Bali berduka cita, bahkan sempat terjadi kerusakan akibat amarah massa.
Dalam tubuh Mega memang mengalir darah Bali. "Saya ini berdarah Bali. Ibu saya berasal dari Banjar Bale Agung Buleleng, Shingaraja. Ibu saya Ida Ayu Nyoman Rai," kata Bung Karno seperti tertulis dalam buku Bung Karno: Saya Berdarah Bali. R.M. Soekemi Sastrodihardjo yang bekerja sebagai guru melangsungkan pernikahan dengan gadis bernama Ida Ayu Nyoman Rai sarimben di Singaraja. Ida ayu adalah putri kedua pasangan Nyoman Pasek-Ni Made Liran juga dari Bale Agung, Buleleng. Sementara R.M. Soekemi, menurut buku itu, adalah satu dari 9 orang anak dari keluarga R. Hardjodikromo, asal Tulungagung (Jatim) yang dikenal luhur budinya dan suka menolong orang.
R.Hardjodikromo seorang ahli kebatinan, dan R.M. Soekemi mewarisi kepandaian itu. Dia pandai berbahasa Jawa, Belanda bahkan Bali. Namun, perkawinannya dengan penari handal dari kasta Brahmana, Ida Ayu Rai Sarimben yang beragama Hindu, di depan penghulu secara Islam, membuat Bali geger. Selain belum pernah terjadi orang Jawa menikahi gadis Bali, perkawinan itu hanya bisa dilakukan setelah kawin lari kemudian diadili. Nenek Megawati itu harus menjual emas berlian karena didenda 25 ringgit.
Selain itu, lantaran R.M. Soekemi dimusuhi oleh penduduk dan Ida Ayu "dibuang" keluarganya, mereka mengajukan pindah ke Surabaya. Cinta Ida Ayu Rai memang luar biasa. Sejak pindah ke Surabaya, dia tak pernah kembali ke rumah leluhurnya sampai meninggal dunia. Namun, oleh karena cinta dan kepedihan dari rahim ibu yang berdarah asli Bali itu pula, maka pada 6 Juni 1901 di Gang Pandean III Surabaya, lahir Soekarno. Kelak, bertahun-tahun Soekarno dipenjarakan Belanda karena menggarap seluruh elemen bangsa demi memerdekakan negeri ini. Oleh paranormal, Bung Karno dijuluki Satriyo Kinunjoro yang berwibawa tinggi dan sanggup mempersatukan Indonesia.
Semula Bung Karno menyimpan rapat asal darah yang mengalir pada dirinya, demi ketenangan leluhumya sendiri. Tetapi setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bung Karno mencari lagi asal-usul keluarga ibunya. Dengan tujuan untuk memisahkan hubungan keluarga dan negara, Bung Karno sendiri tak pemah datang ke rumah leluhurnya, sementara justru anak-anak Bung Karno yang lantas sering pergi ke Bale agung Buleleng. Malangnya, kehadiran mereka disana menyebabkan keluarga besar Bale Agung Buleleng diteror pemerintah Orba selama berpuluh tahun.

PERJUANGAN ARUS BAWAH
Sulit dipungkiri, Megawati adalah tokoh yang dapat membuktikan diri "tahan Banting". Dia adalah satu-satunya tokah teras dalam panggung politik yang pernah mengalami pahit-getirnya penindasan Orde Baru. Kongres Medan dan Tragedi 27 Juli 1996 merupakan klimaks nasib buruk yang dialami Megawati dan orang-orang yang setia mendukungnya. Oleh karena dukungan massa fanatik yang berakar dari kalangan menengah ke bawah, Megawati tepat sebagai simbal kekuatan arus bawah, ataupun dapat dikatakan sebagai simbol perlawanan rakyat.
Relasi yang mesra antara Megawati dan massa pendukung, merupakan denyut nadi kehidupan demokrasi di negeri ini. Denyut nadi itu sudah ada, meskipun terus ditekan semasa Soeharto berkuasa. Bahkan setelah disingkirkan melalui Kongres Medan, posisi Mega semakin kuat. Simpatisannya bertambah banyak Menurut Riswandha Himawan (1996), Megawati pasca -Kongres Medan bahkan menjadi kekuatan baru sekaligus simbol bagi siapa saja yang masih percaya paa prinsip-prinsip moral dan etika dalam berpalitik.
Setelah Kongres Medan dan Tragedi Sabtu Kelabu 27 Juli 1996, Megawati jadi tumpuan harapan banyak orang. Kaum marjinal-orang miskin di perkotaan, pegawai swasta rendahan, kaum buruh sampai gelandangan-berharap banyak dari Mega. Tepatlah apabila dikatakan, Mega merupakan presentasi dari rasa ketertekanan yang berlangsung saat Soeharto berkuasa. Megawati telah menjadi sosok pelarian dan tumpuan harapan dari kesesakan masyarakat yang aspirasinya selalu terganjal oleh arogansi kekuasaan.
Moralitas dan pemberdayaan rakyat kecil menjadi ciri penting pandangan politik Megawati. Kepentingan rakyat banyak adalah prioritas utama dalam perJuangan politiknya. Ia juga bertekad menegakkan prinsip demokrasi Pancasila yang tidak menerima paham kolonialisme, feodalisme, komunisme dan kapitalisme. Megawati juga berpandangan bahwa ABRI adalah anak kandung rakyat dan tidak sekali-sekali melukai hati rakyat. Pandangan politik lainnya adalah prinsip pembelaan hak azasi manusia, perimbangan antara pembangunan material/fisik dan spiritual, serta menentang kesenjangan sosial ekonomi. (Bahar,ed.,1996. Biografi Politik Megawati Soekarnoputri, 1993-1996: hAl-50).
Karena pandangannya itu, Mega sempat dianggap sebagai lawan pemerintahan Orde Baru. Dosa-dosa politik Megawati di antaranya adalah potensi menggoyang kemapanan (establishment), penolakan terhadap konsep mayoritas tunggal (Single Majority), serta perbedaan cara memandang perubahan sikap politik masyarakat. Kini dosa-dosa politik Megawati tersebut justru menjadi keunggulan. Menghadapi penindasan, rakyat kecil memang memiliki perlawanan-entah apapun bentuknya. Mega adalah simbol perlawanan tersebut. Maka tampillah Megawati sebagai pemimpin negeri ini, berarti kembalinya kedaulatan rakyat pada sang empunya.
Banyak orang yakin, Megawati tetap akan memegang tampuk pimpinan negeri ini, guna membawa bangsa keluar dari krisis. Ada argumentasi yang bersifat rasional. Yakni bahwa Mega, selaku pimpinan partai pemenang pemilu, memiliki legitimasi paling kuat. Akan tetapi, ada pula keyakinan yang dilandasi oleh hal-hal yang irasional. Beberapa kalangan meyakini bahwa Megawati akan berjaya memimpin negara, berdasarkan sebuah catatan kuno berjudul Kalarukmi (zaman kesuburan). Catatan kuno itu menjelaskan, periode Kalarukmi berlangsung tahun 1978-2018. Disebutkan pula dalam era tahun 1978-2018, alam semesta bakal ditandai munculnya siklus kesuburan menakjubkan, yang secara metafisik memiliki kesamaan simbolik dengan kaum wanita atau perempuan (Harian Bernas, 2 November 1998).
Bertolak dari tafsir metafisik seperti itu, banyak orang berasumsi kaum wanita pada era tahun 1978-2018 akan menjadi pemimpin. Diantara yang optimis itu adalah John Naisbitt, pengarang buku laris "Global Paradox, Megatrend 2000 dan Megatrend Asia". Entah kebetulan atau bukan, sejak tahun 1978 banyak muncul pemimpin wanita di seluruh penjuru dunia. Misalnya Golda Meir (PM Israel), Margaret Thacther (PM Inggeris), Benazir Bhutto (PM Pakistan), Corazon Aquino (Presiden Filipina), Indira Ghandi (PM India, Aung San Suu Kyi (Pejuang demokrasi Myanmar) dan Megawati (Simbol demokrasi dan Perjuangan Rakyat Indonesia).
Megawati memang muncul ditengah pluralisme kekuatan politik dan figur politisi lain yang menonjol. Persaingan yang fair maupun dengan cara-cara kotor harus diantisipasinya. Namun demikian, Megawati memiliki bekal berupa kelebihan dibandingkan yang lain. Pertama, ia mempunyai sikap konsisten dan ketegasan. Kedua, Megawati adalah figur yang jauh dari sensasi. Ketiga, rekor politik Megawati bersih. Ia bukan orang yang pernah mengecap madu kekuasaan pada era Orde Baru. Bekal tersebut membuat Megawati layak menjadi pemimpin bangsa.
Kiprah politik yang ditampilkan Megawati setelah terjun ke panggung politik tahun 1987, tidak bisa dilepaskan dari kebesaran Bung Karno sebagai bapaknya, tapi yang patut diperhatikan juga adalah Megawati sebagai anak kedua dari Soekarno dapat menurunkan kharisma yang dimiliki oleh orang tuanya. Terlepas dari percaya atau tidak, Megawati telah membuktikan bahwa kharisma orang tuanya turun juga ke Megawati, terbukti pada Pemilu 1987 dan 1992 dapat menaikkan suara PDI, begitu juga ketika 100 fungsionaris dari 70 DPC PDI seluruh Indonesia mendatangi rumah kediaman Megawati sekitar awal September 1993, yang dipimpin oleh Paiman Silalahi, wakil dari Ketua DPC Simalungun, Sumatera Utara meminta agar Megawati tampil untuk meminpin PDI. (Megawati, "Bendera Sudah Saya Kibarkan - Pokok-pokok Pikiran Megawati Soekarnoputri", Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, haUl-IS). Adapun dukungan tersebut menunjukkan Megawati merupakan salah satu calon terkuat untuk menduduki kursi ketua umum di KLB Surabaya.
Kuatnya dukungan kepada Megawati membuatnya tergerak untuk mencalonkan dirinya sebagai ketua partai di KLB Surabaya. Hal ini diwujudkan dengan menuangkan pokok-pokok pikirannya yang selama ini disampaikan di depan publik dengan menerbitkannya dalam bentuk buku. Di lihat dari judul bukunya "Bendera Sudah Saya Kibarkan", terkesan menyimpan potensi dan gejolak kepemimpinan yang selama ini tidak ditampakannya. Apabila kita membaca isi buku tersebut, terkesan buku yang cukup tipis itu membicarakan kepentingan rakyat banyak dan demokratisasi yang kemudian mendapatkan banyak sorotan tajam dari dua parpol.
Selama Kongres IV Juli 1993 di Medan, Megawati lebih memilih sikap diam dalam menghadapi kekisruhan politik dalam pemilihan ketua umum PDI yang gagal itu. Walaupun beberapa rekan anggota sesama politisi menganjurkan, sudah selayaknya Megawati tampil ke depan memimpin PDI sebelum Kongres IV dimulai. Akhirnya Kongres di Medan tidak berhasil memilih ketuanya.
Megawati mengungkapkan pikiran dan perasaan pilu berikut:
Peristiwa itu sangat mendalam di hati saya (Kongres IV di Medan). Kericuhan ini bukan saja menggores perasaan saya tetapi juga memporak porandakan hati nurani saya. Betapa tidak, partai ini, partai yang menjadi pilihan saya untuk berjuang, yang sejak dari dulu menyatakan "dekat" dengan Bung Karno, mengakhiri Kongresnya dengan kericuhan, sebagai cermin dari tidak adanya persatuan dan kesatuan. Padahal Bung Karno adalah pribadi yang membeli begitu mahal arti dari persatuan dan kesatuan. (Ibid, ha1.11)

Pernyataan Megawati tersebut, secara tersirat menunjukkan betapa mendalam dan kentalnya perhatian Megawati terhadap kelangsungan PDI. Dari lubuk hati yang dalam mencerminkan partai yang menjadi pilihan untuk berjuang terkoyak-koyak dengan mempersoalkan kursi kepemimpinan PDI. Dekatnya Megawati dengan pemikiran Bung Karno sangat mempengaruhi hati nurani dan jalan pikirannya, sehingga tersentak hatinya untuk bergerak dan berbuat untuk PDI.
Megawati mengungkapkan: "Sungguh saya prihatin sekali dengan kemelut dalam tubuh PDI yang sepertinya tiada akhir. Karena panggilan keprihatinan itulah akhirnya saya tidak lagi mengelak dicalonkan". Begitu pernyataan Megawati yang juga anggota DPR RI yang sempat kuliah di Fakultas Pertanian UNPAD dan Fakultas Psikologi DI itu.
Kuatnya dukungan kepada Megawati telah terpanggil untuk memenuhi keinginan pendukungnya, di samping itu juga sudah waktunya Megawati untuk memimpin partai gurem dengan misi politik yang selalu berjuang untuk rakyat kecil. Sikap politik Megawati yang sudah terbuka, membuat namanya melejit bagaikan batu meteor. (DeTik, No.38/thn ke-17, ha1.4., 24-30 November 1993).
Suatu kenyataan yang sukar dibantah melejitnya putri Bung Kamo ini tidak bisa dilepaskan dari kebesaran bapaknya, di mana nama Soekamo merupakan jaminan magnet politik yang mempunyai daya jual dan nilai tukar yang tinggi da1am panggung politik nasional. Begitu juga dari pengalaman kampanye pemilu 1987 dan 1992, gambar Soekarno selalu diarak dalam pawai-pawai pemilu PDI yang banyak menyita perhatian massa dalam setiap kampanye.
Sebelum Kongres Luar Biasa (KLB) PDI di Surabaya dilaksanakan, ketika nama Megawati melejit begitu jauh menjadi calon ketua PDI dibandingkan calon-calon lainnya, "badai pun menggulung makin kencang". Hantaman terhadap pencalonan Megawati pun tak henti-hentinya, hingga munculnya isu bangkitnya kembali Soekamoisme, di mana anggapan publik selama ini selalu berkonotasi negatif. Padahal Soekarnoisme adalah akumulasi pemikiran yang tidak selalu bemada sinis, karena kristalisasi dari nilai-nilai pemikiran Bung Kamo hingga melahirkan Pancasila dan UUD 1945 yang merupakan ideologi negara sampai sekarang. Sehingga ajaran Soekamo selalu dipandang sebelah mata yang kadang tidak rasional dalam menilai dan memahami pemikiran Soekarno. Bisa dibayangkan, bagaimana bentuk negara ini seandainya Soekarno tidak hadir dalam panggung politik Indonesia, padahal jasa-jasanya cukup besar merintis dan memerdekakan bangsa yang tercinta ini.
 
BAB III
HASIL-HASIL PENELITIAN

3.1 PEMBERIT AAN PRA KASUS 27 Juli 1996
Secara umum pemberitaan tentang Kasus 27 juli 1996 di harian Kompas sejak tahun 1994 sampai dengan maret 2000, ada 5 ( lima) buah tabel yang terbagi secara tidak merata frekwensinya dan juga judul atau pun topiknya pada setiap tabel. Dari kelima tabel tersebut ada 17 judul pemberitaan berbentuk informasi, reportase, wawancara, Konperensi pers, artikel dan rubrik lainnya. Yang dalam setiap berita selalu saja membela sosok Megawati Soekamo Poetri serta mengecam pemerintahan yang tidak aspiratif dengan melegalkan PDI-Soerjadi; kemudian muncul ide pelaksanaan mimbar bebas yang menghujat pemerintahan Soeharto dan dipermarak lagi dengan konflik internal yang terjadi di tubuh PDI sendiri. Sehingga mengundang reaksi dari rakyat yang begitu tinggi dan juga dari PDI pro Megawati sendiri.
Media cetak seperti harian Kompas dalam setiap pemberitaannya sudah kelihatan cukup berani menampilkan fakta dan realita yang terjadi dalam masyarakat. Namun tugas media dalam menyampaikan kebenaran itu ternyata tidaklah mudah sesederhana yang diucapkan. Begitu banyak kepentingan yang berbicara terutama dominasi penguasa atau negara yang sangat sulit untuk didobrak, yang pada gilirannya memberi bentuk dan warna pada kebenaran yang disampaikan itu sendiri.
Ketegangan diantara pihak-pihak yang berkepentingan yakni PDI pro Soerjadi dan PDI pro Megawati terus bergulir dengan kencangnya, yang mana campur tangan pemerintah terlalu besar dalam setiap gerak dan langkahnya mendukung serta memberi support dan dana bagi kelangsungan PDI Soerjadi dengan landasan hukum yang sering digunakan adalah azas legalitas formal demi mempertahankan status-Quo Orde Baru.
Ketika masa atau era itu media cetak harian jarang sekali yang berani mengungkapkan fakta yang diperolehnya, berbagai elemen masyarakat mulai unjuk bicara dengan gamblangnya tanpa rasa takut baik itu perorangan, politikus, akademisi, LSM, masyarakat awam dan lain-lain, tetapi media harian atau surat kabar kurang memiliki keberanian mempublikasikannya secara objektif dan proporsional.
Kalangan pers menjadi bingung kembali manakala di harian Kompas muncul pemberitaan tentang kelompok PDI pro Soerjadi cs. yang didukung oleh pemerintah dan ABRI, pasti akan menuai reaksi negatif dari PDI pro Megawati dan masyarakat luas. Lambat-laun kebencian rakyat semakin mengkristal artinya apapun tindakan yang dilakukan pemerintah rakyat sama sekali tidak mempercayainya; sehingga kredibilitas pemerintah dimata rakyat benar-benar jatuh mencapai titik terendah sepanjang sejarah Orde Baru berkuasa. Sebuah kata mutiara yang layak oleh publik yaitu " Kalau aparatur sudah mementingkan diri pribadi dibandingkan kepentingan umum, alim ulama sudah pamrih, orang kaya mulai kikir, dan yang miskin sudah panjang tangan, maka kerusakan sudah diambang pintu ", demikian kata Asep Sunandar Sunarya ( Kompas, Minggu, 26/01). Dari ungkapan di atas dapat ditimba satu kerangka teoritik untuk mencermati gejala empirik yang akhir-akhir ini melanda beberapa daerah,
Ada lagi fenomena menarik dalam pemberitaan Pra Kasus 27 Juli 1996 dengan munculnya gagasan spektakuler MEGA-BINTANG dan beredarnya formulir CAPRES yang mendukung Megawati SP menggantikan Soeharto, Para tokoh Orde Baru serasa kebakaran jenggot sebab semua orang tahu tidak pernah ada orang yang berani melawan terhadap kehendak pemerintah yang menabukan demokrasi. Tak urung dimana-mana di seantero Indonesia sering terjadi bentrokan phisik antara pendukung Soerjadi dengan pendukung Megawati, gugatan terhadap eksisitensi PDI pro Soerjadi ke pengadilan. Adu argumentasi dan kepentingan kedua belah pihak yang diekspose oleh pers serta konflik yang lain; sampai-sampai lembaga seperti Mahkamah Agung pun sebagai perangkat judikatif tertinggi tidak mampu membendung dan memutuskan mana yang salah atau mana yang benar menurut hukum yang berlaku di negara tercinta ini.
Peristiwa atau kejadian seperti diatas sudah lumrah didapati dalam kehidupan sehari-hari dan terus berlanjut hingga meletusnya kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta dan sekitarnya, seolah-olah nggak ada yang sanggup mengatasi konflik internal PDI tersebut bahkan negara pun tidak kuasa/berdaya meredam kedua kubu yang bertikai dan sama-sama merasa kelompoknya lah yang paling benar dan sah menurut hukum.
Kenapa tidak? Coba kita bayangkan sendiri hanya mengatur dua partai politik serta satu golongan saja Pemerintah Orde Baru tidak bisa mengatasi, apalagi seperti Orde Reformasi sekarang yang jumlah partai politik banyak sekali mesti tidak mampu menanganinya secara benar dan bijaksana.
Dirjen Sospol Depdagri saja yang mempunyai otoritas untuk menyelesaikan sepenuhnya selalu mengatakan menyerahkan penyelesaian konflik internal PDI kepada masing-masing propinsi; sementara pihak pemerintah propinsi meminta campur tangan pemerintah pusat untuk mengambil tindakan cepat agar masalahnya segera tuntas. (Kompas, 26 April 1996, hal.14).
Perdebatan semakin menarik dan seru ketika masing-masing pihak mengadukan masalahnya kepada aparat penegak hukum, dan presiden setuju atas tindakan Kepolisian atas Megawati, dilain pihak PDI Soerjadi mendapat perlakuan istimewa tanpa tindakan apa-apa . ( Kompas, 28 Januari 1997, ha1.14). Kejadian ini gaungnya dengan cepat tersebar di kalangan masyarakat luas sehingga simpati dan dukungan makin keras mengalir; orang yang tidak mengerti politik pun ikut-ikutan membela yang lemah dan tertindas.
Ditengah-tengah kontroversial pendapat tersebut secara diam-diam dan meyakinkan PDI pro Soerjadi berencana menggelar Kongres di Medan dan mendapat lampu hijau dari pemerintah dan ABRI, meski adanya resistensi dari PDI pro Megawati sangat tinggi namun Kongres versi pemerintah digelar juga, sudah dapat diduga akhirnya tetap memilih Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sudah dibuang sebelumnya. Menurut beberapa surat kabar harian termasuk didalamnya Kompas dikabarkan yang terjadi sesungguhnya bukan murni Kongres PDI tetapi semacam Kongres Militer, sebab banyak yang hadir orang-orang berpangkas cepak serta dibiayai oleh pemerintah. Siapa pun tahu ketika itu Angkatan Bersenjata khususnya Angkatan Darat membacking dan memblow -up mati-matian. Dikuatkan lagi dengan hadirnya Mendagri Yogi S. Memet, Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung, aparat birokrasi lainnya. ( Kompas, 13 Agustus 1997, haLl 3) .
Sekitar bulan Juni 1998 situasi politik kelihatannya mulai normal dengan munculnya berita-berita di koran yang mengatakan bahwa pemecah-belah PDI harus bertanggung-jawab, pihak pemerintah melalui juru bicaranya Syarwan Hamid langsung mengcounter dengan mengatakan tidak ada masalah dengan adanya dua PDI asalkan masing-masing mengikuti aturan yang ada. Baru kemudian bulan Agustus 1998 rakyat telah mulai bosan dengan campur tangan pemerintah, sebagai dampaknya Soerjadi ditinggalkan pendukung/simpatisannya cuman belum berani bicara secara terang-terangan. Putusan Mahkamah Agung yang berat sebelah tak ayal menjadi bulan-bulanan pendukung PDI pro Megawati. Dan pada tanggal 8 Oktober 1998 Kompas memuat berita utama dengan judul PDI akan menjadi partai besar yang ditulis oleh wartawan Kompas sendiri, sang kuli tinta tersebut kemungkinan besar sudah bisa membaca apa yang bakal terjadi jika pendukung pro Megawati yang jumlahnya begitu besar tidak dapat diakomodir aspirasinya akan menimbulkan bahaya besar bagi bangsa Indonesia.
Hingga bulan Maret 2000 harian Kompas masih memuat berita tentang Pra Kasus 27 Juli 1996 walau pun frekwensinya sangat kecil, akan tetapi menyinggung tentang internal PDI itu sendiri dan status hukum kedua belah pihak yang masih belum tuntas. Hal ini dapat ditunjukkan dengan artikelnya Roch. Basoeki Mangoenpoerojo dengan judul "Mencari Roh PDI-P" . (Kompas, 20 Maret, halaman 4). Kemudian pada tanggal dan bulan yang sarna pihak redaksi Kompas memuat opininya dalam Tajuk Rencana dengan judul Putusan Mahkamah Agung Tentang Gugatan Mega-Soerjadi. Kontroversial antara lain berisi lembaga judikatif membuat keputusan yang ambivalent dan nuansa politisnya sangat kental sehingga hakim tidak objektif dalam memutuskan karena tekanan penguasa sangat dominan sekali.
Jakarta, Surabaya, Medan, dan propinsi Bali sebagai barometer politik di Indonesia menunjukkan aktivitas politik yang dinamis serta tegang dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan dan tahun ke tahun dukungan pada PDI Megawati mengalir terus tanpa hentinya, sementara pihak Soerjadi dengan gencamya pula menggalang massa : pemerintah sebagai sponsor utamanya terus-menerus memaksakan kehendaknya tanpa mempunyai rasa malu dan rasa bersalah.

3.2 PEMBERITAAN SAAT TERJADINYA KASUS 27 JULI 1996
Pemberitaan saat terjadinya Kasus 27 Juli 1996 di harian Kompas yang termuat ada sebanyak 7 ( tujuh ) judul pemberitaan yang sifatnya variatif mulai dari tahun 1997 sampai dengan tahun 1998. Kerusuhan yang terjadi berawaI dari penyerbuan yang dilakukan oleh pendukung PDI pro Soerjadi terhadap kantor DPP PDI di jalan Diponegoro Jakarta Pusat dan dijaga oleh ratusan pendukung PDI pro Megawati; masing-masing pihak mengklaim bahwa yang sah serta berhak menggunakan kantor tersebut adalah kelompoknya.
Pendukung PDI pro Soerjadi ternyata mendapat bantuan dari pemerintah dan ABRI ,sedangkan pendukung Megawati sudah bersiap di dalam gedung menunggu apa gerangan yang akan terjadi. Jalan-jalan di sekitar kantor DPP PDI sudah ditutup, aparat berseragam semuanya stand by menunggu perintah termasuk simpatisan pro Soerjadi, entah siapa yang memulai terlebih dahulu perang batu pun tak terhindarkan pendukung PDI pro Megawati membalas dengan peralatan yang dimiliki dan sudah dipersiapkan sebelumnya. Selanjutnya secara perlahan tapi pasti pendukung pro Soerjadi mendekati kantor yang jadi persengketaan, barisan Megawati selangkah demi selangkah mundur teratur sejurus kemudian terjadi pemukulan, pengrusakan, pembakaran, pembunuhan dan sebagainya .
Kejadian tersebut secepat kilat diketahui pendukung Megawati serta rakyat di Jakarta dan sekitamya, kemudian terjadi kerusuhan susulan didaerah Salemba berupa pembakaran gedung-gedung termasuk milik pemerintah dan kerusuhan di jalanan yang banyak memakan karban. Peristiwa tragis dan memilukan ini menurut laporan KOMNAS HAM menyebabkan sedikit-dikitnya lima orang tewas, ratusan luka berat dan ringan serta korban harta benda yangjumlahnya milyaran rupiah.
Berbeda dengan keterangan resmi pemerintah tentang kronologis peristiwa dan jumlah korban, namun dampaknya begitu teras a bagi masyarakat secara universal sebab setelah peristiwa tersebut aktivitas politik dan perekonomian lumpuh total beberapa saat. Pemerintah dengan tergesa-gesa menganjurkan kepada Megawati agar menyerahkan kantor DPP PDI yang sudah hancur-Iebur diserahkan kepada kelompok Soerjadi. Tetapi PDI Megawati melalui Sekjennya Alex Litaay dengan tenang mengatakan :" Penyerahan Gedung PDI Itu Melanggar Hukum ". Pernyataan ini tidak mendapat respon positif dari Soerjadi cs. Nampaknya PDI Soerjadi meski pun dapat dukungan penuh dari pemerintah kewalahan juga menghadapi kelompok PDI pro Megawati yang begitu solid.( Kompas, 20/1/97 ). Pada tanggal 24 Januari 1997, hari Sabtu Jajaran DPP PDI Megawati mendatangi Komnas HAM ingin mempertanyakan kembali tentang kelanjutan rekomendasi Kasus 27 Juli sudah sampai dimana, kemudian yang tak kalah menariknya pihak Megawati sangat keberatan mengenai penyusunan DCS atau Daftar Calon Sementara Legislatif Soerjadi. Dan kubu Soerjadi mengatakan hal itu tidak berarti apa-apa, usulan DCS nya kubu Megawati tidak direspon karena dianggap tidak sah . ( Kompas, 25 januari 1997).
Tudingan -tudingan kepada Pemerintah dan ABRI pun bermunculan, TPDI ( Tim Pembela Demokrasi Indonesia ) yang pro Megawati secara tegas dan meyakinkan mengatakan bahwa Kasospol ABRI Letjen Syarwan Hamid harus mundur dari jabatannya karena dianggap paling bertanggung-jawab terhadap penyerangan kantor DPP PDI di jalan Diponegoro dengan judul berita : TPDI : "Terlibat Kasus 27 Juli, Syarwan Hamid Mundur ". (Kompas, 29/5/1998). Pentolan-pentolan PDI pro Megawati banyak yang menjadi sasaran tembak pemerintah dengan beragam alasan seperti mimbar bebas, kutipan sumbangan liar dan hujatan-hujatan terhadap pemerintah untuk pembenaran bahwa yang memulai penyerangan terlebih dahulu adalah kelompok PDI pro Megawati.
Begitu gencarnya media mencerca ABRI dan Pemerintah berada di balik penyerangan kantor DPP PDI, sehingga mau tidak mau pasti menyulitkan posisi Pemerintah di mata rakyatnya. Sehingga dalam keadaan terpaksa Panglima ABRI angkat bicara tentang Kasus 27 Juli 1996 dengan geramnya mengatakan : " Jika Menyulitkan, Saya Tuntut Balik ". ( Kompas, 3/8/98 ) . Kerusuhan 27 Juli 1996 itu sendiri merupakan peristiwa yang tidak berdiri sendiri dan pemberitaan tentang korban pun simpang-siur, walau pemerintah sudah mengumumkan secara resmi tetapi pendukung PDI pro Megawati terlebih rakyat secara umum tidak pernah percaya mengenai keadaan sebenarnya yang terjadi pada saat pengambil-alihan secara paksa kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro tersebut.
3.3 PEMBERITAAN PASCA KASUS 27 JULI 1996
Pemberitaan tentang Pasca Kasus 27 juli 1996 di Harian Kompas ada sebanyak 117 judul pemberitaan dengan substansi heterogen. Frekwensi yang besar ini bermunculan dalam Berita, Artikel, Tajuk Rencana, Informasi wartawan dari berbagai pihak di lapangan, dan lain-lain mulai dari bulan Februari 1996 sampai dengan bulan September 2003. Diawali dengan besarnya minat masyarakat umum mencalonkan Megawati sebagai salah satu kandidat presiden menghadapi Rezim Orde Baru pimpinan Soeharto, dan didukung penuh kalangan di luar PDI yang cinta demokrasi .
Pasca kerusuhan 27 Juli 1996 muncul beragam tanggapan dilayangkan oleh para tokoh mau pun orang awam tentang dampaknya di daerah-daerah seperti misalnya Jawa Timur salah satu daerah barometer politik di Indonesia. Presiden Soeharto sendiri berkata kepada warga PDI Jatim, " Melihat kenyataan, buka mata dan hati ". ( Kompas, 16/2/96. ). Banyak orang menyimak ungkapan pak Harto ini merupakan isapan jempol belaka dan bermakna ganda, di satu sisi membela kepentingan status Quo sedangkan di sisi lain sangat memahami aspirasi warga PDI Jatim dalam melihat realita yang ada . Namun dibalik itu semua ada unsur ketakutan besar yang sedang melanda pemerintahannya sebab ada kelompok juga yang bermain turut andil untuk mengeruhkan suasana agar tidak kondusif serta mudah dibakar atau istilah lazimnya mengail di air keruh .
Kemudian muncul tulisan wartawan Kompas dengan judul : " Negara Hukum Tanpa Moral Dan Tanpa Disiplin ". Secara garis besar isinya sudah tidak ada lagi kepercayaan rakyat terhadap pemerintah yang seharusnya melindungi warganya mau mengajukan gugatan ke pengadilan tidak berhasil karena pengadilan juga sudah menjadi alat penguasa untuk mempertahankan status Quo, aparat pemerintahan tidak ragu-ragu melakukan korupsi besar-besaran, konglomerat yang menjadi kaki tangan pemerintah selalu membela kepentingan penguasa. Kalau sudah begini kemana lagi rakyat mesti mengadukan nasibnya . ( Kompas, 23/2/96 ) .
Sejak bulan Januari 1997 harian Kompas menurunkan berita dari kedua belah pihak secara berimbang, bahkan yang sangat tidak masuk akal jajaran ABRI sering memberikan komentar yang sifatnya memojokkan PDI pro Megawati yang menjadi pertanyaan apakah benar-benar memang menyalurkan aspirasi rakyat atau memang ada instruksi atasan yang hanya boleh mendukung PDI pro Soerjadi saja, keberpihakan ABRI nampak jelas dalam setiap ucapan dan tindakannya yang hanya menguntungkan salah satu kubu. (Kompas, 1111/97 ).
Perseteruan kedua kubu tak pernah henti dari liputan pers masing-masing tokoh berbicara blak-blakan, umpamanya saja Kasospol ABRI dengan lantang berujar:
"Sebagai Pimpinan Informal, Sikap Megawati Bisa pengaruhi Masyarakat'. Dan Ketua Umum PDI Soerjadi : " Persoalan Bangsa Tak bisa Diperbaiki Dengan Tambal Sulam " . Dalam statementnya Soerjadi mengatakan pemicu kerusuhan terjadi karena terciptanya polarisasi massa PDI pada level bawah, kemungkinan besar PDI menjadi nomor dua sebab tidak pernah dapat diselesaikan dengan baik masalahnya. (Kompas, 12/4/97, 24/5/97). Kesakitan merambah individu di jajaran PDI Megawati sebutlah salah satunya tokoh kondang PDI yaitu Aberson Made Sihaloho yang juga kapasitasnya sebagai anggota DPRIMPR RI dituntut jaksa hukuman 18 bulan penjara potong tahanan dikarenakan kegiatannya bersifat makar atau fitnah berbobot politik. (Kompas, 27/5/97) .
Sampai-sampai ada usulan supaya lembaga peradilan wajib berpolitik sebab selama ini yang terjadi banyak kasus-kasus hukum diselesaikan secara politik dan kasus­kasus politik diselesaikan secara hukum, selanjutnya diperparah atau diperburuk dengan tidak adanya penyelesaian tuntas kasusnya di pengadilan sehingga semua kasus menjadi dark number (nomor gelap) alias di peti-eskan . Berita ada di harian Kompas dengan judul: "Lembaga Peradilan Seharusnya Berpolitik ". (Kompas, 2/6/97) .
Harian Kompas semenjak bulan Juni hingga Agustus 1997 lebih cenderung menyoroti pelanggaran-pelanggaran dan tindak pidana yang kerap kali dilakukan oleh partai politik, me ski aturan perundang-undangan tidak membolehkan melakukannya. Yang paling jelek, kontribusi pemerintah turut memperkeruh dinamika politik di Republik ini dengan judul beritanya:"Depdagri Nyatakan Tak Pedu Mediator ( Persoalan PDI)". Hal ini mengisyaratkan bahwa pemerintah tidak sanggup lagi menangani atau biar saja PDI menyelesaikannya masalahnya sendiri tanpa bantuan pihak ekstemal. (Kompas, 12/8/97).
Gugatan pihak yang dibayar oleh PDI Soerjadi tak kunjung selesai sebab pembayaran tidak sesuai dengan perjanjian dan pihak Soerjadi mengatakan dibayar bukan untuk menyerang kantor DPP PDI namun untuk hal lain. Hakim di pengadilan mengalahkan kelompok penggugat dengan memenangkan pihak Soerjadi cs. Hal tersebut terungkap dalam judul pemberitaan:" Gugatan Seno Bella Terhadap Soerjadi cs. Ditolak". (Kompas, 13/11/97). Diakhir bulan Desember Tahun 1997 setelah melalui diskusi serta perdebatan melelahkan para advocat atau pengacara yang tergabung dalam TPDI memberitahukan kehadapan publik melalui layanan informasi dengan judul pemberitaan: "Ada Yang salah Dalam Penegakkan Hukum Nasional". Terkandung maksud bahwa rezim Orde Baru dalam praktek ketatanegaraan melawan prinsip-prinsip demokrasi, bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional bangsa. Rakyat tidak diberi hak untuk berbicara atau berpendapat, sementara hal ini sudah ada dalam pasal 28 UUD 1945 yang mengatakan bahwa kemerdekaaan untuk berserikat dan berkumpul dijamin dengan undang-undang. (Kompas,30/12/97).
Di tahun 1998, tokoh-tokoh di luar PDI mulai memberi support kepada partai tertindas dan memuji sosok Megawati yang dapat merubah image jika dulu tidak berani bicara sekarang menjadi berani, ini merupakan lompatan luar biasa bagi kehidupan so sial politik di Indonesia dan menumbuhkan budaya demokrasi ketimuran yang membangun; tapi mendapat perlawanan keras dari pemerintah yang berkuasa. Ambil saj a beberapa judul secara acak antara lain: "Amin Rais: Bangsa Indonesia Perlu Pencerahan Politik". Harmoko selaku Ketua Umum Golkar mengatakan: "Menjadi Presiden Harus Melalui Mekanisme". Lain lagi komentar Ketua ICMI Adi Sasono: "Soal Pencalonan Presiden Dan Wapres, Keberanian itu Investasi Politik". Sedangkan Megawati dengan nada senyum dan diplomatis berujar:" Wajar Pak Harto Bersedia Dipilih Kembali". (Kompas, 5/1/98, 12/1/98, 24/1/98). Kemudian seorang Kolumnis Tjondronegoro dalam salah sebuah artikelnya menguraikan panjang lebar tentang opininya bahwa suatu saat pasti akan terjadi kekuatan rakyat secara serentak untuk menumbangkan pemerintah yang sedang berkuasa seperti yang terjadi di negara Philipina dengan judul artikel: "PEOPLE POWER ". (Kompas, 22/4/98).
Gagasan pemerintah adalah mengupayakan agar Megawati membuat partai sendiri lepas dari PDI Soerjadi namun ketika itu belum ada aturan yang berlaku untuk mengatur pembentukan parpol baru. Upaya ini penting pulihkan kepercayaan rakyat pada pemerintah, beberapa penulis dalam dan luar negeri berpendapat langkah Megawati sudah tepat. Bisa terlihat melalui tulisannya seorang wartawan Kompas dengan judul:

"Langkah Cerdik Seorang Negarawan". Rizal Malarangeng dengan tulisannya yang berjudul: "Tunggu Dulu Sistem Distrik". Dan R. William Liddle dengan judul: "Pemilu Demokratis Di Indonesia, Proporsional atau Distrik?" serta sebuah informasi bahwa Pemerintah diharapkan tak ikut campur tangan dalam Kongres PDI diberikan kebebasan berpolitik kepada partai politik yang bersangkutan. (Kompas, 27/5/98, 28/5/98, 2/6/98, 6/698, dan 25/6/98).
Periode Juli 1998 pemberitaan harian Kompas didominasi rencana peringatan tragedi 27 Juli 1996 di Jakarta, soal izin, dan sebagainya. Kemudian aktivitas di daerah-daerah, serta persoalan-persoalan hukum yang juga membingungkan, konflik massa kedua belah pihak di pusat dan di daerah, perlunya pembentukan tim pencari fakta untuk mengusut kasus tersebut dan TPDI persoalkan kuasa pimpinan MPR. Pemberitaan tentang hal di atas mewamai hampir setiap hari dalam berbagai rubrik .
Periode bulan Agustus 1998 hingga bulan Desember 1998 dengan judul berita:
"PDI Mega Siap Ikut Pemilu". "Masuknya para jenderal Ke PDI Sesuai Dengan Pilihan". "ABRI Tak Keberatan Kongres PDI DI Bali". "Yang Penting Pengakuan Rakyat, Bukan Legalitas Formal". Sedangkan pada bulan Nopember 1998 mendekati Pemilu gaung dinamika politik semakin tajam dan tegang dengan judul seperti "Wiranto Izinkan Kongres PDI", "PDI Siap Bentuk Pemerintahan Adil dan Taat Hukum", "Pencalonan Megawati dorong Nilai Saham " , artikelnya Tatan Daniel dengan judul:
"PRESIDEN dan Rekonfigurasi Kepemimpinan Nasional ", tulisan Wijamato.
Periode bulan Nopember 1998 isu krusial yang diangkat Kompas berkutat tentang boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden, polemik itu jadi besar karena masalahnya selalu digulirkan wartawan dari macam-macam sumber berita yang turut mempengaruhi peta politik berpengaruh dalam setiap liputan persnya. Tinjauannya bervariatif mulai dari perspektif agama, perspektif hukum, perspektif gender, perspektif politik, serta dari perspektif sosial-budaya. Contohnya judul berikut "Inkonstitusional, Menolak Wanita Jadi Presiden", "Kepemimpinan Perempuan Tidak Dipersoalkan, Megawati Hindarkan Konflik Horizontal Antar Masyarakat". (Kompas, 7/11/98, 9/11/98, 26/11/98).
Periode bulan Desember 1998 sampai dengan bulan April 1999, PDI pro Megawati telah sah menjadi partai baru dengan nama PDI-P ( Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ), lambang, bendera yang berbeda dengan dulu sesuai dengan tuntutan zaman dan visi serta misi yang jelas dan konkrit . Begitu pula tokoh-tokoh politik misalnya: Sri Bintang Pamungkas, Amin Rais, pihak gereja Katolik tak ketinggalan berkomentar menyebut jangan pilih partai status-quo, serta mempunyai korelasi dengan ramalan Lance Castle tentang masa depan politik Indonesia.
Periode bulan Mei 1999 sampai dengan bulan Desember 2000 diwarnai dengan pemberitaan mengenai penggelaran penyidangan Kasus 27 Juli 1996, bagaimana kronologisnya, siapa-siapa yang terlibat, siapa master mindnya, saksi-saksinya, termasuk pengaruh Pemerintah dan ABRI saat itu. Dibumbui juga dengan tulisan seorang kolumnis Kompas yang bernama M. Alfan dan Alfian N. melalui artikelnya yang berjudul: "Kongres PDI-P Kharismatik vs Rasional Objektif " , mengupas tuntas pilihan apa yang akan dipilih oleh para pemilih yang kebingungan tapi harus diwujudkan berdasarkan real ita yang ada sekarang di republik tercinta Indonesia merdeka namun bukan berarti seperti memilih kucing dalam karung .
Periode bulan Februari 2001 sampai dengan bulan Juni 2003 tetap saja Kasus 27 juli 1996 belum ada titik terang penyelesaiannya: masih menghadirkan saksi-saksi, data­data baru atau lama. Pihak Pengadilan kesulitan karena terdakwa tidak hadir, terdakwa yang meninggal dunia dimasukkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), berita atau artikel yang membandingkan Megawati dengan Aung San Suu Kyi tokoh wanita dari negeri Myanmar oleh Muhammad Qodari dalam artikelnya berjudul: "Aung San Suu Kyi, Megawati, dan transisi menuju demokrasi ".
Periode bulan Juli 2003 sampai dengan bulan September 2003 masih tetap saja bahwa proses hukum yang sedang dilaksanakan tidak membawa hasil apa-apa bahkan dapat dikatakan semakin tidak jelas. Meski pun tampuk pemerintahan sudah di tangan Megawati, namun Kasusnya belum selesai, entah kapan selesainya kita tidak tahu hanya waktulah yang menentukan sepanjang tidak ada campur tangan pemerintah .

BABIV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa temyata pemberitaan tentang kasus 27 Juli 1996 cukup obyektif, walaupun pemyataan yang dikemukakan oleh para nara sumber isinya cenderung tidak obyektif yaitu pembelaan terhadap Megawati sebagai pihak yang teraniaya. Hal ini lebih dikarenakan suatu rasa ikatan emosional yang muncul dan tumbuh terhadap Megawati karena perlakuan yang diterimanya dari pihak penguasa yang sangat otoriter .
Frekuensi pemberitaannya termasuk kategori sedang, dengan pengertian bahwa pemberitaan tentang kasus 27 Juli 1996 tidak terlalu menonjol yang dalam arti bahwa pemberitaan kasus terse but tidak menjadi berita utama atau topik khusus di harian Kompas, apalagi ketika Megawati sudah menjadi Presiden RI, kecenderungan pemberitaan kasus 27 Juli 1996 frekuensinya semakin kecil dan substansi permasalahannya sudah bergeser seiring dengan semakin berkurangnya tangkapan pers terhadap tindak lanjut penyelesaian kasus 27 Juli 1996 yang tidak tentu penyelesaiannya. Sehingga di lihat dari sisi terjadinya kasus tersebut bisa dikatakan sudah tidak aktual, tetapi di lihat dari sisi penyelesaiannya yang belum ada hasilnya.
Pemberitaan media pers telah bergeser sesuai dengan kondisi yang ada, cenderung beralih ke masalah-masalah aktual dan besar yang terjadi, misal pemberitaan kasus Tanjung Priok, kasus 13-14-15 Mei 1998, Peristiwa Semanggi, Peristiwa Trisakti, Kasus Aceh dan Papua, konflik horisontal di Poso, krisis ekonomi yang tak kunjung berakhir, dan penciptaan hubungan internasional yang semakin mengglobal. Semua ini mengakibatkan pemberitaan kasus 27 Juli 1996 semakin terbenam dan ditambah lagi dengan kenyataan good will Pemerintah seakan tidak ada untuk menyelesaikan kasus 27 Juli 1996 tersebut.
Pergeseran publik opini juga terjadi da1am masyarakat Indonesia pada mas a transisi, yang mana sesuatu yang 1uput dari pemberitaan pers atau media, biasanya akan luput juga dari perhatian masyarakat. Artinya bahwa, ka1au kasus 27 Ju1i 1996 tidak diberitakan oleh pers sarna seka1i maka akan berakibat hi1angnya perhatian masyarakat terhadap kasus tersebut. Di sini1ah bukti bahwa ada kontribusi pers yang sangat besar terhadap suatu kasus sampai pada tahap penye1esaiannya.

4.1 Saran-saran:
1.Diperlukan pene1itan 1anjutan terhadap pemberitaan kasus 27 Ju1i 1996 terhadap semua media cetak -yang pada waktu terjadinya kasus 27 Ju1i 1996 itu ada.
2.Diharapkan ada penu1isan terhadap kasus 27 Ju1i 1996 sebagai hasil ana1isis isi surat kabar bisa 1ebih komprehensif, yang kemudian dapat menjadi sebuah 1iteratur yang dapat menjadi salah satu penjabaran bukti sejarah kehidupan bangsa Indonesia kepada anak bangsa di mas a mendatang.
3.Perlunya upaya untuk memperjuangkan kebebasan pers yang bebas dan bertanggung jawab da1am suatu bentuk regu1asi, sebagai salah satu cara untuk meningkatkan pendidikan po1itik masyarakat menuju kepada demokrasi yang sebenamya sesuai dengan pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasi1a. Sehingga pada gi1irannya terdapat jaminan yang memadai bagi ka1angan pers untuk memberitakan setiap kasus yang terjadi di masyarakat dengan 1ebih terbuka.


DAFTAR PUSTAKA

Alex Sobur, Analisis Teks Media, Penerbit PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 2001
Arif Zulkifli, PDI Di Mata Golongan Menengah Indonesia, PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, Oktober 1996
Chusmeru, Komunikasi Di tengah Agenda Reformasi Sosial Politik, Penerbit PT Alumni, Bandung, 200 1
Dan Nimmo, Komunikasi Politik, Penerbit PT Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993
Don Michael Flournoy ( Ed .), Analisis Isi Surat Kabar-Surat Kabar Indonesia, Gadjah Mada University Press, Y ogyakarta, 1989
Irawan Saptono cs, Pantang Surut Langkah, Penerbit ISAI, Jakarta, 1996
HasruIIah, Megawati Dalam Tangkapan Pers, Penerbit LKIS, Y ogyakarta, 200 1
Muhammad AS Hikam dkk, Mbak Mega Saya Ikut Sampeyan, Penerbit Lingkaran
Jurnalistik, Jakarta, 1999
M. Riza Sihbudi, cs, PDI Dan Prospek Pembangunan Politik, Penerbit PT Gramedia
,Jakarta, 1991

Lengkapnya baca Media-Massa Jurnal Penelitian Produk BPPI Surabaya.

Baca selengkapnya...

Kamis, 10 Desember 2009

Serba-serbi

- APJII : Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.
- INTERCEPT : mencegah komunikasi agar tidak terjadi sesuatu.
contoh : kasus Alcapone.
- NB : Non Broad- Band.
- BB : Broad Band.
- VOD : Video On Demand.
- ISP : Internet Service Provider.
- QOS : Quality On Service.

EVERYTHING FOR EVERYTHING : Segala sesuatu untuk semuanya.
Stream : Arus Besar.
Other Wise : Kebijaksanaan Lain.
NGN : NEXT GENERATION NETWORK.
Kekurangan Peneliti menurut Mas Wig ada dua hal utama :
1.Malas membaca penelitian orang lain.
2.Analisisnya kurang bermutu.
3.Nggak pernah baca (memiliki) jurnal elektronik.

MAS WIGRANTORO ROES SETIYADI.
Negara lain bertindak lebih cepat, Indonesia mengatakan yang paling cepat.
FORMULA MAS WIG ARAH PENELITIAN DALAM MENDUKUNG KEBUTUHAN DAN HARAPAN PELANGGAN.

Masih monopoli, tawaran relatif tidak banyak




Moment Inovasi




Produk layanan Bervariasi




Implikasi karakter pelanggan :
Karakter penyedia jasa
Interaksi
Intervensi Pemerintah
dan seterusnya




DESTINATION

Penelitian yang benar tergantung IDENTIFIKASI MASALAHNYA.

Ciri-ciri digital ekonomi:
1.Pelanggan merupakan bagian daripada proses.
2.Produk informasi yang bisa ditata ulang.



Judul/Topik Penelitian Tentatif :

1.Pulsa HP menduduki ranking 4 setelah lauk-pauk, listrik, transparansi benarkah ?.
2.Kenapa makin banyak mahasiswa menggunakan note book ?.
3.Era Konvergensi : Berapa jumlah website di Indonesia kita kan tidak tahu ?.
4.Peran Kominfo di daerah dalam memberikan fungsi edukasi tentang dampak penggunaan internet.
5.Penelitian tentang pelanggan.
6.Content berdasarkan rating :
facebook
google
yahoo
7. Perilaku penyedia jasa internet di wilayah kerja.
8. Bagaimana wanita memiliki peluang lebih besar atau sama dengan pria dalam IT.
9. Penelitian dengan judul FENOMENA perlu ditingkatkan berangkat dari Common Sense.
10. TKDN keberadaannya juga perlu diteliti? Kepanjangannya TINGKAT KOEFENSI DALAM NEGERI Proyek Bappenas, tentang penggunaan produk dalam negeri.

Ciri-ciri Digital Ekonomi :
1.Pelanggan merupakan bagian daripada proses.
2.Produk informasi yang bisa di tata ulang.
Menurut IMAM PRASODJO, DR.
Sosiolog dari UI mengatakan bahwa 80% pemberitaan bermuatan sosiologi, sedangkan 20% yang lainnya hanya muatan IT.
KOMUNIKASI : content.
TIK : Tools (alat).

Baca selengkapnya...

Selasa, 08 Desember 2009

Stop Press

Belum 100 hari pemerintahan SBY-BOEDIONO secara beruntun sudah menghadapi problem mulai dari pembentukan tim 9, kasus Bibit-Candra, dan yang terakhir ini kasus Bank Century. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi di era transparansi betul-betul dominan sekali.

Pada hari selasa tanggal 8 Desember 2009 sore hari ketika mau pulang ke rumah saya kaget sekali banyak polisi dan tentara sejak mulai dari Lanud, jalan Padjadjaran hingga Lapangan Gasibu Bandung.
Ketika sampai di rumah ada berita di TV kunjungan Presiden SBY dan akan pulang ke jakarta.
Hari ini tanggal 9 Desember 2009 ada demonstrasi besar-besaran di jakarta dan 33 Propinsi di Indonesia untuk memperingati hari Anti Korupsi se Dunia. Saya mau ke kantor saja jam 07.00 pagi di jalan Surapati sudah macet karena rombongan SPP (Serikat Petani Pasundan) sudah konvoi menuju ke bandung.
Yah, mudah-mudahan aja semua berlangsung dengan normal dan tidak ada insiden sama sekali.

Baca selengkapnya...

Minggu, 22 November 2009

Seminar Antar Bangsa THE RECENT DEVELOPMENT OF THE SOUTH THAILAND : A POLITICAL COMMUNICATION PERSPECTIVE. Fikom UNPAD, Jatinangor, 18 Juni 2009.

Moderator : Dra.Siti Karlinah, M.Si ( Dosen Fikom Unpad, Bandung ).
Pembicara I : Prof. Mr. Hasanuddin Daud ( Universitas Malaysia ).

Topik : Hubungan Islam, Sejarah, Politik dan konflik di Thailand Selatan.
Latar belakang sejarah masyarakat miskin.
Kerajaan Patani dan Islam.

Pembicara II : DR. Hikmad ( UIAB=universitas Islam Antar Bangsa ).

Topik : Bahasa Patani Thailand.
Ulama >< Perjuangan Kemerdekaan di Selatan Thailand.
Memaparkan tentang sifat perjuangan kemerdekaan, sementara itu ulama tidak sependapat dengan jihad yang berlaku di Patani.

Risalah Kecil Kerajaan Thailand.

Disana tidak ada seorang pun yang berani mengungkapkan identitas, kalau A ngaku B berarti musuh resiko ditembak. Jika dicari tidak akan ketemu siapa yang menjadi pejuang kemerdekaan, gak ada yang mengaku. Tapi Ulama yang saya maksud Ulama yang baik serta saleh, yang dengan rela hati dating ke Pesantren serta dihormati orang termasuk juga kata-katanya.

Jihad adalah sebuah konsep yang luas, bukan hasil pengertian sendiri-sendiri, Sangat beda Jihad dengan Teroris.

Ada dua (2) jenis Ulama yaitu :
1.Ulama yang tidak terlibat secara langsung,
2.Ulama yang menjalin kerjasama dengan kerajaan2 Thailand.

Sedangkan ciri-ciri Ulama :
1.Berdasarkan Ajaran AL’Quran.
2.Ulama yang di Patani jadi Jihad dan dipecah jadi 3 golongan.

Pembicara III : Prof.DR. Datuk Bin Anwar ( Dosen UKM ).

Bidang : Sejarah Politik Antar Bangsa,

Judul : Pergolakan di Patani : Mungkinkah Ada Jalan penyelesaian ?

dan semua yang dibicarakan adalah merupakan Hasil Penelitian.

Pembicara IV : Lili Yuliani ( Mhs S3 universitas Malaysia ).

Topik : Islam dan hubungan Internasional.
Dampak Konflik di Thailand Selatan.
Hubungan 2 hal Indonesia-Malaysia.

Judul : “ Dampak Sosial Dari Konflik terhadap Masyarakat Muslim Di Thailand “.

Focusnya masalah social saja yaitu masalah nation state bukan masalah Jihad atau Islam.
Seperti Indonesia sudah tau tapi nggak bisa Bantu, Malaysia tau dan bantuin ( doa serta moral ), sementara Kamboja tidak tau ( hanya moral ), Brunei menyatakan tidak tau ( Nation State ). Ini semua adalah masalah Persepsi antar negara ASEAN atau “ This is Internal Problem “.

Dia sedang melakukan penelitian tentang Konflik Agama di Thailand Selatan, belum bisa ungkapkan data karena kuesioner belum masuk semua.. Termasuk kuesioner yang diedarkan di Indonesia belum kembali semuanya, yang isinya minta pendapat orang Indonesia yang mayoritas agama Islam seputar konflik yang sedang terjadi di Thailand Selatan.

Pertanyaan-Pertanyaan :

1.Antar Venus ( Fikom Unpad ) : Rekonstruksi Identitas di Thailand Selatan perlu segera, karena kalah dengan isu Gaza di Palestina. Yang diangkat pembicara soal Islam atau Melayu ?.

2.Asep ( UIN Bandung ) : Saya tidak pernah ke Thailand Selatan, hanya tau dari Media Massa. Cohesivitas Ideology harus dibangun, untuk mengatasi problem internal. Tentang Defenisi Jihad tidak akan pernah selesai apalagi lawan Kerajaan Thailand.


3.Dr.Pandji ( Fisipol UNLA ) : Sayangkan komitmen thema seminar, acara ini bagus tapi belum dikemas dengan baik.

4.Gun-Gun Hariyanto ( Mhs.S3 Kom.Unpad ) : Yang kita bicarakan ini perspektif penguasa atau siapa ? Konflik di Aceh dilakukan dengan perspektif militer, sebaiknya menggunakan komunikasi politik dengan teknik negosiasi, bagaimana dengan di Thailand Selatan ?. Seperti kita ketahui pendekatan militer tidak bisa menyelesaikan masalah.

Jawaban Narasumber :

Malaysia terdiri dari 5 negara bagian komponen Patani, yang ada sekarang Provinsi Pattani, jadi identity nya jelas.
PM Malaysia I dibesarkan di Istana Thailand., ini terjadi karena Political Interest Pemerintah.
Yang aman adalah Ambalat karena perbatasan laut.
Di Malaysia Ambalat, Manohara dan TKI nggak ribut, yang masalah malingsial atau Indosial.
Constructive Theory nya nggak ada, Satu Keluarga Dua Negara ( One Family Two Nations ).
Ideology Nasionalis---------------- isu menghilangkan Ideology Islam.
Adanya kepentingan-kepentingan politik yang sifatnya bukan horizontal tapi vertical. Nggak mungkin ada dialog jika selalu satu pihak tidak pernah mengakui pihak lain.

Yang terjadi di Thailand Selatan operation atau Assasination, mereka tahu tapi mereka tidak mau tidak tahu-menahu dibungkam soal domestic……………ada communication gap.

Thailand : Kuncinya di Raja, Negara dan Agama.
Artinya yang muncul sudah tua intinya benci saja. Personal attack, bom-bom yang sangat mudah diracik diajarkan, dengan kata lain aman-aman tidak aman juga.

Tombat Sambal : yang salah langsung minta maaf, tapi biasanya diulang lagi.

Ada perbedaan antara konflik di Aceh dengan Thailand Selatan, kalau masalah Aceh nuansa Empiric & Sosial Ekonomi yang kental, kalau di Thailand nuansa Political & Agama.

Berdasarakan falsafah masyarakat Budhis _________> langkah-langkah yang diambil Pemerintah Pusat.
Masyarakat Miskin_______> Pondok Pesantren 90 % tidak suka sama pemerintah.
Jika diklasifikasi ada 3 komponen yakni :
Hijau = Pro pemerintah.
Merah = Pro rakyat.
Kuning = 50 %-50 %.

Masyarakat Budhis di Thailand Selatan sekarang ada 70.000 orang dari 200.000 orang secara keseluruhan. Hal ini luput dari miskin lain di dunia. Hampir setiap jam terjadi pembunuhan disana, boleh dibuktikan ada di Thailand Selatan serta tidak ada istilah Otonomi.

Setiap ada persidangan tentang Islam negara yang tergabung dalam OKI, kontingen Thailand paling ramai dibicarakan, cara yang dilakukan kerajaan Thailand ialah pembendungan dari dalam sendiri. Faksi-faksi yang terlibat, kumpulan banyak tahun 70 an sangat menonjol tapi ada plus minusnya.

Generasi yang muncul tahun 2004 adalah generasi baru yang ingin merobah paradigma istilah bahasa Malaysianya ( Kebangkitan Rakyat ).

Pernah terjadi suatu peristiwa pada 60 tempat pasti ada yang mengorganisir yang effektif, apa ada hubungan-hubungan yng telah diatur dengan baik.

Baca selengkapnya...

BUDAYA “GONTA-GANTI” KARTU HANDPHONE (TELAAH KRITIS TERHADAP BUDAYA KONSUMEN)

Handphone sebagai benda Teknologi informasi saat ini bukan lagi ‘berimej’ barang mewah (lux) dalam masyarakat kita. Di counter-counter Handphone maupun dari mulut ke mulut bisa diperoleh informasi tentang adanya transaksi penjualan Handphone, sama seperti penjualan kacang goreng dulunya. Jadi, bila seseorang sudah merasa bosan dengan model Handphonenya dia bisa menjualnya langsung lewat Counter-counter yang ada  maupun melalui siaran media massa seperti radio yang menyiarkan acara bursa jual-beli Handphone.

Dalam dunia per-handphone-nan dikenal istilah kartu nomor telephone yaitu berupa chip yang diselipkan dalam Handphone tersebut dan berfungsi sebagai nomor identitas si pemilik Handphone tersebut. Dalam hal ini, seseorang dengan Handphone yang sudah ‘bersosial’ dan dipunyai semua strata sosial dalam masyarakat maka pemunculan kartu nomor telephone pun menjadi marak. Di Indonesia sendiri ada yang namanya Simpati, Mentari, Matrix, Jempol, Kartu As (Sorry…ini bukan iklan!) yang nantinya juga mempunyai ‘keturunan’ masing-msing seperti Simpati Jitu, Simpati Hoki, Mentari Talk dan lain sebagainya yang mengindikasikan praktek Kapitalisme yang sengaja menjual ide-ide kreatifitas dalam setiap produksi untuk berpolitik menciptakan dan mempertahankan pasarnya. Dalam hal ini kita cuma jadi bertanya ‘Kapan sih mereka senang-senang dengan uangnya, sibuk mencari duiiit terus?!”, dengan ‘berseliwerannya’ tayangan iklan mengenai produk mereka baik itu di media massa maupun lewat spanduk-spanduk yang ada di jalan-jalan kota besar.
Bila diamati dalam kehidupan sehari-hari, kalangan yang mengkonsumsi produk kartu-kartu nomor telephone tersebut kebanyakan kaum perempuan berusia remaja 15-30 tahun. Sepertinya kaum perempuan tersebut lebih beradaptasi dengan pandangan bahwa ‘budaya konsumen’ yang lebih ditujukan pada kaum perempuan sehingga kaum perempuan dikondisikan untuk bersifat konsumtif karena lingkungan yang menuntutnya dan melahirkan pandangan baru lagi bahwa, ‘Kematrean kaum perempuan tersebut bersifat Latent’. Jadi, bila hari ini kartunya Mentari besok bisa jadi Simpati, besoknya lagi bisa jadi Simpati Hoki, besoknya lagi bisa juga jadi IM3 dan seterusnya. Bahkan karena terlalu banyaknya kartu, cara meletakkannya pun jadi sembarangan seperti meletakkan kartu-kartu tersebut di atas gantungan baju, di pinggir tempat tidur maupun di kamar.
Di atas dikatakan bahwa perempuan menjadi konsumtif karena lingkungan yang menuntutnya, jadi dalam hal ini dimisalkan bila seorang remaja perempuan sering ‘melotot’ di depan televisi melihat iklan-iklan kartu Handphone yang atraktif dan menarik hatinya dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang mengunggulkannya dari kartu yang lain, maka akan cenderung timbul keinginan untuk membeli. Hal tersebut akan menjadi kebanggaan tersendiri bila ia dibandingkan dengan yang lain karena memiliki kartu yang sedang nge-top dan mutakhir daripada teman-temannya yang lain dalam satu komunitas pergaulan sehingga walaupun pulsa sedang habis diusahakan juga untuk mencari hal-hla yang berbau sms gratis.
Hal ini bila dianalisa lebih lanjut tentu akan menambah gejala mental disoder pada kaum perempuan tersebut terutama di kota-kota besar karena tuntutan untuk mempertahankan status ‘Card’s Ladies’ nya tanpa menyadari bahwa mereka telah direkayasa oleh kaum kapitalis untuk dijadikan pasar secara sosial lewat membangunkan keinginan mereka untuk membeli dan membeli serta mengkonsumsi karena kaum Kapitalis memang membutuhkan mereka.
Budaya konsumerisme yang merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk halusinasi, mimpi, artifisialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme.
Budaya konsumsen membuka peluang bagi konsumsi produktif dengan menjajikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan: menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup. Budaya konsumen, meski tidak sama dengan budaya masa kini, merupakan unsur utama dalam produksi budaya masa kini. Meskipun kelompok-kelompok yang berada di luar atau mencoba menjauhkan diri dari jangkauan pasar dan perilaku melawan arus, seperti misalnya sub-budaya remaja dan gerakan-gerakan sosial baru, dinamika proses pasar yang selalu mengejar yang ‘baru’ itu menyebabkan budaya konsumen dapat merajut dan mengolah ulang tradisi dan gaya hidup mutakhir.
Budaya masyarakat konsumen sering diberi ciri materialistis dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengungkapkan kemiskinan rohani dan tindakan mementingkan diri sendiri yang hedonistis dimana individu memusatkan kehidupannya pada konsumsi barang-barang. Pandangan ini sebenarnya mengatakan bahwa masyarakat telah memperlihatkan kemenangan rasionalitas ekonomi yang menyingkirkan adat istiadat tradisional serta nilai-nilai budaya leluhur dan menghasilkan budaya yang tidak menarik.
Seluruh kegiatan peragaan lay out bertujuan membuat barang tampak lebih bagus dari yang sebenarnya, dengan memanipulasi kesan di lay out itu. Logika pemajangan menghasilkan suatu situasi di mana makna dialihkan secara ‘ajaib’ ke barang melalui suatu proses elisi. Karena itu membeli barang berarti membeli kesan dan pengalaman, dan kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi ‘sederhana’, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis di mana individu membeli dan mengkonsumsi kesan.
Tindakan membeli itu tergeser ke belakang, karena individu didorong untuk menikmati konsumsi gaya hidup. Para individu tersebut menjadi peraga yang sadar akan penampilannya dan kesan yang diberikannya ketika menyusuri dunia barang yang dipertontonkan dalam ruang-ruang di luas kota. Pariwisata dan kebun raya (Taman Mini Indonesia Indah/TMII dan Dunia Fantasi/DUFAN, misalnya) meneruskan logika ini sampai ke titik ekstremnya. Kedua-duanya menjual pengalaman, bukan menjual barang.
Inilah yang menyebabkan Jameson (1984) menempatkan budaya sebagai pemeran utama dalam reproduksi kapitalisme masa kini. “Karena unsur pokok masyarakat konsumen itulah tidak ada masyarakat yang dibanjiri tanda dan berbagai kesan seperti masyarakat ini.” Karena itu, ciri kedua budaya konsumen yang harus ditekankan adalah bahwa budaya konsumen ialah suatu budaya tempat berbagai kesan memainkan peranana utama. Sejauh ini telah dikemukakan betapa banyaknya makna baru terkait pada komoditi “material” melalui peragaan dan pesan iklan. Tetapi perlu pula dikemukakan, produksi berbagai kesan sebagai komoditi merupakan ciri utama budaya konsumen. Dan industri gambar hidup, surat kabar murah, media massa, majalah, dan televisi mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti.
Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus-menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman tersebut didefiniskan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas ke mana berbagai makna yang jelas dan berdiri sendiri-sendiri dapat dipertukarkan. Seperti bintang film atau bintang pop menjadi tokoh politik (Arnold Swazneger, Gusti Randa), tokoh politik menjadi bintang film (Ruhut Sitompul, Ronald Reagen). Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol ketampanan, roman, kemewahan, dan eksotika yang manjur.
Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti-mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisonal dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Dalam arti inilah budaya konsumen itu menjadi suatu “dunia mimpi” yang mengandung suatu momen positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah.
Dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan istimewa. Perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi (komoditi itu sendiri sudah merupakan pilihan) untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas pemiliknya.
Demistifikasi budaya intelektual umumnya akan menciptakan kekaburan baru dalam tata simbol, karena kegiatan media massa ini mengejar segala yang baru dalam tata symbol dan modern. Pertukaran ini, yaitu kepekaan kaum intelektual terhadap gaya baru dan permintaan pasar yang tak habis-habisnya akan barang dan gaya baru, menciptakan komoditi yang memungkinkan gaya berjalan lebih cepat, baik dari gaya avant garde ke gaya popular, atau dari gaya popular ke gaya avant garde, atau dari gaya popular ke gaya jet set.
Pemikiran Eiger (2003) mengenai kematian kehidupan sosial dan kemenangan budaya, mengandung pengertian bahwa budaya dan lingkup simbolis tidak dapat diringkas menjadi sebuah alam struktur sosial yang terpisah (kelas). Budaya tinggi dan seni “serius” di sini juga telah kehilangan transendensinya dan wewenang simbolisnya. Meski rumusan-rumusan ini jelas membayangkan runtuhnya pandangan Bourdieu mengenai kekuatan simbolis dan modal budaya dalam suatu kenyataan palsu, yang menyingkirkan satu perangkat perbedaan untuk menggantinya dengan perangkat baru yang menjamur tiada henti, lebih baik jika pada tahap ini rumusan Bourdie dilihat sebagai kecenderungan yang mengancam akan menggoyahkan perbedaan yang timbul dalam kaitan dengan permainan kalah-menang sosial. Walaupun kekuasaan Amerika Serikat ini jelas sekali terlihat di negara-negara pusat di barat, hal ini lebih menonjol di negara-negara pinggiran di Dunia Ketiga.
Kalau kita berbicara tentang pengaruh global dan dampak budaya konsumen atas negara-negara pinggiran, tekanan harus diletakan pada media masa, dengan anggapan bahwa di negara-negara di luar negara pusat konsumsi sebagian besar rakyat jelata terbatas pada konsumsi kesan dalam media, sementara masyarakat tidak mampu mengembangkan prasarana produktif untuk memperluas konsumsi barang sehingga dapat mengembangkan seperangkat gaya hidup dan perilaku yang berorientasi di sekitar konsumsi. Ini tidak berarti bahwa banjir kesan yang dibawa media yang berpusat di barat itu tidak berpengaruh terhadap perilaku di Negara-negara dunia ketiga. Dengan meningkatnya dominasi ekonomi Amerika dalam hal produksi serta distribusi budaya melalui media, sering ditunjukkan bahwa negara-negara Dunia Ketiga menghadapi kesulitan berat dalam usaha mencoba menciptakan proteksionisme budaya untuk memelihara budaya-budaya asli. Negara-negara ini tidak hanya terbuka untuk membanjirnya film-film televisi Amerika, komedi bersambung dan sebagainya dengan sedikit biaya bagi produksi berbagai acara siaran lokal dan kegiatan-kegiatan “jalan belakang” perusahaan multinasional amerika serikat dalam pembelian agen-agen periklanan serta media nasional. Sebaiknya juga memperlihatkan bahwa kaum borjuis baru mereka sering bertindak sebagai perantara bagi budaya Amerika dalam memanfaatkan keangotaannya yang elite, yang mobile, dan kosmopolitan untuk menyebarluaskan barang-barang dan nilai-nilai budaya konsumen yang diambil dari pusat. Dominasi budaya yang progresif ini, yang sering diarahkan ke imperialisme budaya atau imperialisme media, telah dianggap sebagai ciri Amerikanisasi.
Amerikanisasi digunakan untuk menunjukan cara bagaimana film-film, televisi, dan produk-produk media lainnya umumnya dikemas dengan paket-paket orang Amerika atau gaya orang Amerika sebagai bagian dari suatu internasiolisasi konsumsi, pola-pola pemanfaatan waktu luang, pendidikan budaya remaja, bahasa dan mode kesadaran yang progresif.

Karena itu salah membaca arti pesan yang asli tampaknya sudah menjadi bagian dari penerimaan program dan benda budaya konsumen di negara-negara dunia ketiga. Ruang gerak untuk kesalahpahaman ini menjadi masalah bila budaya konsumen dianggap sebagai suatu ideologi yang mencakup seperangkat keyakinan. Selain itu, pengaruh besar budaya konsumen ialah menggoyahkan makna tanpa menggantinya dengan makna baru dengan batas-batas khusus pula. Jadi, salah satu cara yang memungkinkan produk-produk hasil budaya konsumen tidak membentuk masyarakat menjadi media kapitalis, yaitu dengan mendorong berkembangnya peranan pemberi tanda dan teks yang tertulis untuk menghilangkan kekaburan makna.

Baca selengkapnya...

Selasa, 27 Oktober 2009

KATA-KATA ASING:

DISCREPANCY : Ketidak-cocokan.
SIMILAR : Mirip, identik.
LACK : Menjembatani artinya program mana yang bakal sukses kita tidak tau, oleh sebab itu wait and see.
GIVING EKONOMI : Sedekahlah biar kaya.
INOVATIF IDEA : Ide yang baru.

RING OF FIRE : Cincin Api.
TESTIMONIAL STATEMENT : Kesaksian pernyataan.
EQUAL OPPORTUNITY : -
KULJAM : Kuliah satu jam.
ABSTRAK : Bayangkan saja orang yang tidak megerti jadi tau artinya.
ASEM WORKSHOP : Asem-Europe Economy Meeting (memberdayakan masyarakat lokal menggunakan ICT).
WARNET : Masuk teori ekonomi masyarakat.
KESIAPAN : Jangan birokrat.
QUANTUM LEARNING : Loncatan berfikir.
WANGSIT : Ilham.
LINEAR : Sejajar, satu bangunan.
BITC : Bandung IT Comp untuk mengisi gap yang terjadi.
SKS : Sistem Kebut Semalam.
MIKTI : Masyarakat Industri Kreatif tehnologi Informasi dan Komunikasi Indonesia.
Supposed : Disangka benar.
Increase : Pertambahan.

Baca selengkapnya...

Senin, 26 Oktober 2009

KATA-KATA MUTIARA

1.Menurut Bapak MARIO TEGUH GOLDEN WAYS dalam sebuah acara yang selalu ditayangkan setiap minggu oleh METRO TV. Ada 3 jenis PROFESI/PEKERJAAN yang perlu jadi perhatian:
a.Profesi/Pekerjaan yang tidak bisa digantikan oleh orang lain.
b.Profesi/Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh orang yang selevel/sederajat dengan kita.
c.Profesi/Pekerjaan yang bisa dilakukan oleh orang yang lebih bodoh dari kita.
Yang menjadi persoalan adalah kalau jabatan fungsional PENELITI masuk Profesi/Pekerjaan, yang manakah? Pertanyaan ini tidak perlu dijawab, marilah kita masing –masing bertanya pada hati nurani masing-masing apakah masuk teori a,b atau c.
Makanya sadar-sadar tingkatkan terus kualitas.

1.Marialah kita berjuang sesuai dengan keahlian atau kepakaran masing-masing. Kalau back ground ICT sebaiknya S1,S2,S3 tetap sama sampai pada Profesor. Sebab kalau tidak linear nanti, tidak dapat tunjangan Profesor yang katanya Rp. 14 Juta rupiah per bulan.
Prof. Ibnu Ini baru BADNEWS is GOD NEWS he...he...he......
2.Bu gati mengatakan bahwa untuk temu ilmiah Peneliti Tahun 2009, tidak ada istilah juara 1,2,3 dan 4. Dari 29 naskah yang masuk hanya 9 naskah yang lolos seleksi. Bu Gati meminjam istilah medis/kesehatan ada 4 klasifikasi naskah hasil penelitian peneliti yang ada:
a.Masuk Kamar Jenazah (20 naskah yang tidak lolos seleksi).
b.Masuk Ruang ICU-UGD (9 naskah yang lolos seleksi).
c.Masih Status Rawat Inap (Tidak ada).
d.Dalam Status Rawat Jalan (Tidah ada).
Jadi bagi anda yang dapat klasifikasi harapan 1,2,3 dan 4 jangan jadi GR artinya kalau tidak diperbaiki naskah tetap tidak bisa masuk jurnal. Hal tersebut juga dialami oleh Prof. DR. IBNU HAMAD, M.Si (UI), DR. UDI RUSADI, MA (kominfo), Prof. Ris Rusdi Muhtar, MA. Dan Bapak ARY SANTOSO (ITS).
Tinggi benar ya Standard Bu Gati, sehingga kayaknya Peneliti Badan Litbang SDM nggak sanggup mengikuti jejak ibu. Atau gimana saya sudah kehabisan peluru he...he...he...
3.Peneliti tanpa ide bukan Peneliti namanya tapi peneliti terlalu banyak ide juga jika nggak bisa dikerjakan ya sama saja. Kata Pakar Komunikasi UI. Prof. DR. IBNU HAMAD, M.Si
Yang penting pak jangan jadikan profesi Peneliti sebagai sebuah pekerjaan KETERPAKSAAN lho.
4.Selama 5 tahun ini lakukan META Analisis apa saja Thema Research DEPKOMINFO jika ingin leading dalam ide ICT kata bapak IBNU yang masih muda energic, Potensial, Cerdas, dan humoris gitu lho.
5.Peneliti sebagai ujung tombak harus bisa berdiri di DEPAN, TENGAH atau BELAKANG. Kalau dilapangan tentu posisinya evaluatif. Jangan hanya lihat evakuatif, proses tetapi input juga ya kan?
Betul itu pak Ibnu, tapi pak dari tahun ke tahun kok nggak ada perubahannya ya!!!!
6.Teknologi tidak usah dicari, tetapi dipake saja yang dikembangkannya Cuma PLAT FORMnya. FACEBOOK, GOOGLE itu bukan teknologi tapi Platform makanya kita perlu MAPPING selanjutnya selanjutnya bisa dijadikan IKON. Kreatif yang Produktif bukan Kreatif yang asyik sendiri itu kata pak INDRA UTOYO (Ketua MIKTI).
Temu Ilmiah Peneliti Tahun 2009 kata Bu Gati lebih cocok namanya Forum silaturahmi Peneliti.
7.Kata mas Ahmad Budi Setiawan, kandidat Peneliti di Puslitbang Aptel dan SKDI bahwa Internet adalah barang yang tidak aman ia mengatakan hal tersebut di sela-sela Persentase Ilmiahnya dengan judul:
“Implementasi Kripto sistem Algoritma Asimetri untuk Pembuatan Tanda Tangan Digital Dalam Algoritma RSA”.

Baca selengkapnya...

Minggu, 25 Oktober 2009

CATATAN DARI TEMU ILMIAH PENELITI, di MMTC, Jogjakarta Tanggal 5-7 Oktober Tahun 2009

Memang tepat jika ajang Temu Ilmiah Peneliti tahun 2009, dijadikan sebagai arena dalam rangka memotivasi peneliti dan calon peneliti untuk lebih berprestasi lagi ke depannya, Sekaligus juga sebagai MEDIUM PEMBELAJARAN bagi semua pihak agar lebih meningkatkan kualitas dan kinerjanya.

Peserta terbanyak kali ini adalah dari UPT BP2KI Bandung yang berjumlah 10 orang tambah 1 orang konsultan Penelitian DR. Suwandi Sumartias, Drs, M. Si. Tiga orang lulus sebagai penyaji yaitu Dra. Hildawati, Dra. Risa Sunarsi dan Drs. Syarif Budhirianto. Semuanya Peneliti Senior yang dimiliki, kalau pak Drs. Syarif adalah Koordinator peneliti. Thema Temu Ilmiah kali ini adalah:

“PENINGKATAN KUALITAS PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KOMUNIKASI DAN INFORMATIKA DALAM PENYIAPAN KEBIJAKAN DAN SDM KOMINFO UNTUK MENDUKUNG
PENGEMBANGAN INDUSTRI KREATIF”
Peserta yang lolos seleksi dari BP2KI Bandung:

1.Drs. Syarif Budhirianto dengan judul: “Kesiapan Masyarakat Pedesaan Menyongsong Aksesibilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi di Provinsi Jawa Barat”.
2.Dra. Hildawati dengan judul: “Studi Implementasi Permen Kominfo No. 25 Tahun 2007 tentang Penggunaan Sumber Daya Dalam Negeri untuk Produk Iklan yang Disiarkan Melalui Lembaga Penyiaran”.
3.Dra. Risa Sunarsi dengan Judul: “Studi Eksistensi Lembaga Penyiaran Televisi Lokal dengan Diberlakukannya Undang-undang No.32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran”.

Sedangkan untuk naskah yang dipersentasikan oleh Peneliti dan dinilai Tim Penilai The Best four (4 harapan terbaik) dengan komposisi sebagai berikut:

Harapan I dengan nilai 61,9 diraih oleh Avianto dan Inasari dari BP2KI Jogjakarta dengan judul: “Pola Pencarian dan Diseminasi Informasi Masyarakat Daerah Rawan Bencana Tsunami Menggunakan Kanal Komunikasi dan Informatika Di Pulau Sarangan Bali”.
Harapan II dengan nilai 60,8 diraih oleh Drs. Abdul Razak dari BP2KI Banjarmasin dengan judul: “Literasi Masyarakat Rural Terhadap Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) di Kalimantan Selatan”.
Harapan III dengan nilai 60,8 diraih oleh R.M Agung Harimurti dari BP2KI Jogjakarta dengan judul: “e-Government sebagai Media Transportasi Pemerintahan Dalam Perspektif Keterbukaan Informasi Publik”.
Harapan IV dengan nilai 59 diraih oleh Ahmad Budi Setiawan dari Puslitbang Aptel dan SKDI dengan judul: “Implementasi Kripto sistem Algoritma Asimetri Untuk Pembuatan Tanda Tangan Digital Dalam Algoritma RSA”.

Sebagai Juri/Tim Penilai sudah ditentukan sebagai berikut:
1.Prof. DR. Ibnu Hamad, Drs, M.Si (Pakar Komunikasi UI).
2.Prof. Ris. Rusdi Mukhtar, M.A (LIPI).
3.DR. Gati Gayatri, MA (DEPKOMINFO).
4.Ari Santoso (ITS-Pakar Informatika).

Arahan KA. Badan Litbang SDM:






(sebagian kutipan dari makalah “Penelitian dan Pengembangan SDM Pada Era Industri Kreatif” Oleh: Cahyana Ahmadjayadi Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan SDM, Depkominfo Temu Ilmiah Peneliti, MMTC Jogjakarta 5 Oktober 2009).

I.KOMUNITAS ILMIAH Berarti berfikir dan bekerja ilmiah.


II.KEKUATAN LOGIKA bukan Logika kekuatan.


III.MENGADU GAGASAN atau Kompetisi Kerja.


IV.SUSUN AGENDA yang mampu respon kebutuhan masyarakat.


V.NETWORKING: Tingkatkan kualitas penelitian.







(sebagian kutipan dari makalah “Pengasuhan Digital-creativepreneur dan Penguatan Ekosistem Berkelanjutan: menumbuhkan Industri Kreatif TIK” Oleh: Indra Utoyo Ketua Umum MIKTI, Temu Ilmiah Peneliti Balitbang SDM Kominfo Jogjakarta 5 Oktober 2009).

Agenda yang dimaksud pak CAHYANA adalah:
a.Core Bussiness Badan Litbang SDM.
b.Fokus Penelitian dan Pengembangan.
c.Litbang untuk Industri Kreatif.
Prospek ke depan gagasan pak Cahyana inginkan 2 hal pokok yaitu:
RISTIK NET (Jejaring sesama Peneliti TIK nasional/internasional).
Kompetensi, Sertifikasi, Profisiansi.
Contoh: 502015 artinya diprediksikan 50% pada tahun 2015 bisa akses internet, jika anda bisa menggeser jadi Tahun 2012 atau Tahun 2013 saya kasih BINTANG.
ONE VILLAGE ONE PRODUCT.
Bagaimana potensi di bussiness on line kan?
Tik Related
Contoh: Ekonomi bisa jadi ekonomi informasi; Hukum bisa jadi hukum telematika; Komunikasi bisa jadi Komunikasi IT dan seterusnya.
Artinya Semakin NON-IT Semakin kita kuatkan ITnya.
Indonesia ada 11 Operator, USA Cuma ada 7 Operator
DR, UDI RUSADI, MA
Core Penelitian adalah MENELITI.
Kinerja substantif ukurannya dikerjakan apa tidak?
Kinerja Individu naik terus pangkatnya.

Mana pak Reward and Punishmentnya ya??????
DR. IR. Lukito Edi Nugroho, M. Sc (UGM).
Produk TIK sebenarnya diawali dengan Riset langkah selanjutnya diproduksi secara maskal baru kemudian menjadi industri. Produk itu bisa berupa: Services, hand ware, Soft ware, jaringan dll.
Drs, Haris Setiadi (Kabag Kepegawaian Badan Litbang SDM)
Kita harus mengerti dulu cikal-bakal adanya Badan Litbang SDM menurut saya fungsi Litbang dan fungsi pengembangan harus dipisah.
Menuju kemandirian SDM IKTI: Budaya Digital (Bagian makalah dari INDRA UTOYO; Ketua umum MIKTI).

Dignty dan Discipline : keteguhan, ketekunan, dan konsistensi karya.
Innovative : Inovasi tiada henti.
Good Govermance : Proses kerja yang kredibel, kinerja lebih baik.
Integral : Holistik interdependent, sinergi, Co-evolution.
Transparent : Keterbukaan dan Sharing Culture.
Appreciative : Saling manghargai karya interaksi.
Legal : Kepatuhan, be legal!!!!

Baca selengkapnya...

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)