SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Senin, 28 September 2009

Kontribusi Credibility Communicator Ditinjau dari Aspek Charismatic Power And Positional Power, Dalam Konteks Pembangunan di Indonesia

Oleh : Ramon Kaban

Abstraksi
Sejak presiden Soeharto lengser ke prabon pada tanggal 21 Mei tahun 1998, Indonesia sebagai sebuah negara berkembang kesulitan untuk mencari seorang pemimpin, demi menentukan masa depan bangsa pasca kepemimpinan Orde Baru. Berbagai pilihan telah dilakukan oleh MPR dan juga oleh rakyat langsung untuk memilih pemimpin; mulai dari yang Charismatic Power sampai Positional Power sudah dicoba namun belum mampu juga menghantarkan rakyat Indonesia keluar dari multi krisis yang sedang dihadapi dan akan dihadapi.

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah
Seorang pemimpin dalam memperoleh posisinya dapat melalui berbagai macam cara seperti pengangkatan, keresmian kedudukan, kemampuan. Posisinya tersebut sangat diwarnai oleh gaya kepemimpinannya. Oleh kerena itu, bagaimana predikat yang diperoleh seseorang agar menjadi pemimpin, ia mesti siap bekerja demi tujuan cita-cita bersama mereka yang dipimpinnya dengan perantaraan suatu organisasi kerja teratur. Pada hakekatnya pemimpin itu adalah pelayan terhadap kehendak rakyat yang dipimpinnya sebagaimana yang telah dirumuskan sebagai tujuan bersama tersebut.
Dalam posisi sebagai pemimpin yang pada hakekatnya adalah pelayan tersebut, maka dituntut agar mampu menterjemahkan pesan sebagai bentuk penjabaran dari tujuan bersama tersebut. Oleh karenanya, ia harus dapat menjadi seorang komunikator yang handal.
Seorang komunikator dalam organisasi bersifat formal atau informal harus mempunyai kemampuan khusus dalam menyampaikan pesan. Hal itu dikarenakan tuntutan aman menghendakinya, demikian lagi pula kondisi suatu masyarakat yang haterogen, semakin kritis serta mampu melihat fenomena sosial yang terjadi disekelilingnya maupun lingkungan yang lebih luas lagi.
Sebagaimana halnya dengan Indonesia, seperti yang terjadi dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia telah terjadi penggantian pemimpin bangsa sesuai dengan ketentuan konstitusi UUD 1945, Pada awal Indonesia merdeka telah muncul pemimpin karismatik yang telah mengumandangkan kemerdekaan Indonesia yaitu Ir. Soekarno. Yang kemudian diangkat sebagai Presiden I RI secara aklamasi. Dalam perjalanan waktu ternyata pemimpin yang karismatik tersebut harus rela menyerahkan tongkat kepemimpinannya kepada Soeharto. Orde yang dilalui dinamakan dengan Orde Lama di bawah Ir. Soekarno dan kemudian menjadi Orde Baru di bawah Soeharto.
Setiap pemimpin mempunyai masanya sendiri-sendiri sebagai bentuk terjemahan dari zamannya, karena ternyata Orde Baru pun kemudian tumbang setelah berkuasa selama 32 tahun. Selanjutnya muncul Orde Reformasi sebagai orde pembenahan dan penyempurnaan dari Orde sebelumnya dengan pemimpin yang silih berganti dari B.J. Habibie, K.H. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri dan sekarang Susilo Bambang Yudhoyono.

Kalau disimak lebih lanjut ternyata Indonesia telah mengalami berbagai model pemimpin dengan gaya kepemimpinannya masing-masing, dari yang karismatik sampai pemimpin yang memperoleh posisinya dengan secara legal formal. Masing-masing orang tersebut pada pokoknya adalah seorang komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan bangsa yang diterjemahkan berdasarkan skala prioritas pada zamannya. Dengan demikian, seorang pemimpin bangsa diharapkan mampu menterjemahkan keinginan bangsa yang selanjutnya harus dikomunikasikan kepada anak bangsa sebagai komunikan. Namun ternyata kesemua pemimpin yang pernah dimiliki bangsa Indonesia (kecuali Susilo Bambang Yudhoyono yang belum termasuk dalam pengertian ini) belum mampu mambawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik sebagai yang dicita-citakan yakni sebagai bangsa yang besar dan sejahtera. Kalau ditinjau dari sisi komunikasi, maka dapat diartikan bangsa komunikator belum kredibel. Kemudian yang terjadi masalah adalah bagaimana kontribusi kredibilitas komunikator dalam pembangunan di Indonesia?.
Indonesia sampai saat ini masih mancari-cari pemimpin yang mampu mengkomunikasikan tujuan negara yang terjabarkan dalam program kerjanya dalam program kerjanya dalam pembangunan kepada komunikan, sehingga akan didapat pemimpin yang mempunyai kredibilitas sebagai komunikator dalam pembangunan di Indonesia.
Komunikator dalam hal ini penulisan maknai sebagai seorang pemimpin yang menyampaikan isi komunikasi, sedangkan komunikannya adalah publik atau masyarakat yang dikenai komunikasi oleh pemimpinnya.
Tulisannya ini ingin mengungkapkan secara objektif dan proporsional mengenai kredibilitas komunitor dari aspek kekuatan karisma dan kekuatan pasisi yang dimiliki, sekaligus untuk melihat sampai sejauh mana kontribusinya dalam konteks pembangunan bangsa. Bila dikaitkan dengan komunikasi politik yang sedang berlangsung di Indonesia keliatannya antara kekuatan karisma dengan kekuatan posisi tidak dapat dilihat secara parsial namun harus dilihat secara simulkan.

Perumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian di atas, maka dapat dirumuskan masalah:bagaimana kontribusi commicator credibility ditinjau dari charismatic power dan positional power dalam pembangunan bangsa di Indonesia ?

Landasan Teori dan Pembahasan
Menurut Harold Lasswell, seorang ilmuwan politik (Lasswell, 1948:231) ada lima komponen komunikasi utama yakni:komunikator, pesan, media, komunikan, dan effek atau dampak. Dari kelima komponen yang akan dibahas lebih lanjut, komponen komunikasi yang pertama yaitu komunikator;komponen inilah yang paling urgen dan akan dikupas secara lebih terinci. Akan tetapi bukan berarti komponen pesan, media dan affek tidak penting, yang jelas melihat konteks permasalahannya.
Kredibilitas komunikator merupakan salah satu indikator keberhasilan dalam memimpin sebuah organisasi, oleh sebab itu perlu ditata dan dikemas dengan teratur sebelum terjun menghadapi komunikannya. Kejelasan kredibilitas komunikator dimata komunikan amat mempengaruhi proses komunikasi serta hasil yang akan diperoleh sang komunikator.
Pengertian kredibilitas itu sendiri menurut Kamus Bahasa Indonesia dapat dikemukakan sebagai “perihal dapat dipercaya” (Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990:465). Dengan pemahaman itu, maka diketahui pesan yang disampaikan kepada komunikan akan sampai, jika komunikator mempunyai kredibilitas dihadapan komunikan. Kredibilitas dalam komunikasi tersebut akan diperolehnya, jika komunikator dinilai dan terbukti oleh komunikan bahwa antara tindakan dan ucapannya telah selaras.
Sesungguhnya ada begitu banyak pendapat orang atau manusia tentang apa itu komunikasi, seakan-akan definisi komunikasi selalu diobral pemakainya. Semua definisi tersebut sebenarnya sangat bergantung pada titik pandangnya, komunikasi adalah:pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan. 8) pengoordinasian makna antara seseorang dan khalayak; 9) saling berbagi informasi, gagasan atau sikap; 10) saling berbagi unsur-unsur perilaku, atau modus kehidupan, melalui perangkat-perangkat aturan; 11) “penyesuaian pikiran penciptaan perangkat simbol bersama di dalam pikiran peserta singkatnya, suatu pengertian”, 12) suatu peristiwa yang dialami secara internal. Yang murni personal yang dibagi dengan orang lain; 13) atau “pengalihan informasi dari satu orang atau kelompok kepada yang lain, terutama dengan menggunakan simbul”. 14) Bahkan ada definisi yang menyatakan apa komunikasi itu dengan mengatakan apa yang bukan; “Komunikasi bukan sekedar penerusan informasi dari satu sumber kepada publik;ia lebih mudah difahami sebagai penciptaan kembali gagasan-gagasan informasi oleh publik jika diberikan petunjuk dengan simbol, slogan atau tema pokok. 15) Pembaca akan menemukan kesamaan dalam beberapa diantara definisi-definisi ini, misalnya penekanan pada pembagian sesuatu diantara orang-orang informasi, gagasan, perilaku, pengertian, pengalaman internal, dan sebagainya. (Dan Nimmo, 1983:5).
Dari beberapa alternatif pemikiran perihal definisi komunikasi dan aktivitasnya seorang komunikator diwajibkan memilih mana yang layak untuk dijadikan pedoman arah dalam kepemimpinannya. Sedemikan pentingnya komunikasi sehingga sebagian besar waktu kita habis digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. Selain tidur, dimanapun, kapanpun dan dalam waktu apapun kita suka atau tidak suka mau atau tidak mau langsung atau tidak langsung terjebak oleh sebuah aktivitas yang dinamakan komunikasi.
Komunikasi penting dalam rangka untuk menjalin persahabatan, cinta kasih, hubungan dagang (bisnis), pengelolaan konflik, politik, berdiplomasi, menciptakan isue (rumor) dan sebagainya. Komunikasi bisa pula mengatur manusia pada tujuan dan kebutuhan hidupnya, bisa juga membentuk terbentuknya sebuah kumpulan atau komunitas tertentu, serta mempertahankan atau merubah suatu culture menurut keinginan orang yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
Tetapi dengan melakukan komunikasi mungkin juga timbul konflik ketegangan yang menyebabkan kebudayaan masyarakat akan hancur karenanya. Komunikasi begitu dekat dan akrab dengan manusia , lantaran semakin dekat dan akrabnya dengan manusia jarang kita mempersoalkan fenomena komunikasi itu, mengontrol pesan-pesan yang disampaikan dan tak perduli effek yang akan timbul.
Ditambah lagi dalam masyarakat Indonesia yang kultural pluralistik dalam hal etnis, suku, agama, partai, golongan, adat-istiadat; sudah tentu dalam mengelolanya memerlukan resep khusus agar proses komunikasi dapat berjalan seimbang efektif dan efisien. Yang menjadi persoalan adalah bahwa si pembicara (komunikator) belum mampu menangkap aspirasi audience atau komunikan yang menjadi sasaran atau destination; tidak mempunyai frame of references (kerangka berfikir) dan field of experience (kerangka pengalaman) memadai untuk mendukung perannya sebagai seorang komunikator kawakan.
Sungguh berat memang tugas seorang komunikator jika ia tidak kredibel dimata komunikannya apalagi ditengah masyarakat Indonesia yang majemuk. Komponen kredibilitas dalam tulisan ini mengambil dari pendapat Hovland & Weisn (dalam Rakmat, 1989 : 290) ; bahwa dimensi kredibi1itas yang terpenting adalah keahlian atau expertise dan dapat dipercaya atau trustworthiness.
Menurut Rakhmat (1989 : 295) keahlian yaitu kesan yang dibentuk komunikate tentang kemampuan komunikator dalam hubungannya dengan topik-topik yang dibicarakan. Koehler, (1978 :48 ; dalam Rakhmat, 1989: 48 ) kepercayaan adalah komponen kognitif dari faktor sosio psikologis. Kepercayaan disini ada hubungannya dengan keyakinan bahwa sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas dan pengalaman.
Keahlian dan kepercayaan merupakan dua komponen penting dalam mendukung kredibilitas komunikator. Terdapat dimensi kredibilitas lain sebagai pendukung seperti: Competence, Character, Intention, Personality dan dynamism sebagaimana yang dikemukakan De Vito. Walaupun terdapat bahan pendukung lain dalam kredibilitas namun keahlian dan kepercayaan menjadi semakin penting dalam masyarakat yang sebagaian besar tingkat pendidikannya masih rendah ditambah dengan budaya paternalistik yang hidup di dalamnya.
Bila dioperasionalkan kedalam aplikasinya keahlian seorang komunikator meliputi penguasaan materi pembicaraan termasuk penguasaan istilah asing, mendalami ilmu retorika termasuk penguasaan lokasi serta ketrampilan berkomunikasi. Sedangkan kepercayaan apabila dioperasionalkan kedalam aplikasinya komunikan atau audience merasakan bahwa komunikator (pembicara) merupakan pemimpin yang dapat membawanya kearah perubahan dan betul-betul telah teruji kredibilitasnya, diakui kepiawaiannya di samping mempunyai track record atau rekam jejak yang meyakinkan komunikannya bahwa mereka tidak salah memilih calon pemimpinnya.
Dengan demikian komunikator diharapkan bisa menjawab pertanyaan bagaimana komunikan dapat termotivasi dalam rangka merubah sikap (attitude), knowledge dan behavioral dalam mengupayakan agar pesan pembangunan terlaksana dengan baik.
Wilbur Schramm memberikan empat syarat agar pesan yang disampaikan efektif, yaitu :
1.Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik perhatian sasaran yang dimaksud.
2.Pesan harus menggunakan tanda-tanda yang tertuju kepada pengalaman yang sama antara sumber dan sasaran sehingga sama-sama dapat dimengerti.
3.Pesan harus dapat membangkitkan kebutuhan pribadi pihak sasaran dan menyarankan beberapa cara untuk memperoleh kebutuhannya.
4.Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memperoleh kebutuhan tadi, yang layak bagi situasi kelompok dimana sasaran berada pada saat dia digerakkan untuk memberikan tanggapan yang dikehendaki. ( Effendy, 1983: 83).
Empat syarat Schramm mesti dimengerti oleh si komunikator dalam penyampaian pesan kepada komunikan, pesan dikemas sedemikan rupa seperti makanan siap saji sehingga apa yang menjadi harapan komunikator (to create expectation) dapat terwujud.
Dalam konteks pembangunan dewasa ini dibutuhkan komunikator yang dapat memantau perkembangan zaman dari waktu ke waktu dan tidak melakukan sebuah kemunafikan atau kebohongan publik, sebab sudah terlalu banyak komunikator yang hanya mengobral janji, tidak dapat dipercaya serta hanya piawai dalam bersilat lidah saja.
Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa contoh model komunikator yang hanya mengibral janji, antara lain :
1.       Sang komunikator berbicara panjang lebar agar nilai-nilai luhur dalam Pancasila harus dihayati, diamalkan dan dibudayakan. Dengan gaya oratornya berseru agar Pancasila dilestarikan, sementara disisi lain komunikan atau audience sudah mengetahui dengan pasti siapa sebenarnya komunikatornya sehingga kegiatan komunikasi yang digulirkannya tidak ampuh lagi.
2.       Komunikator selalu menganjurkan hidup sederhana serta tidak boleh pungli dan lain-lain, sementara sang komunikator sendiri hidup mewah dan berfoya- foya serta sudah terbiasa menerima amplop/tips.
3.       Komunikator dalam komunikasi politik sering membuat janji muluk-muluk pada masa kampanye agar ia dapat terpilih, tetapi setelah terpilih nantinya mungkin saja apa program, visi, misi yang diutarakan banyak yang dilanggar.
4.       Komunikator yang memiliki kharisma kadang-kadang memanfaatkan keunggulannya untuk memperdaya publik dalam usaha meraih dukungan massa, sementara komunikator yang memiliki kekuatan posisi cenderung untuk meraih dukungan massa melalui otoritas yang dipegangnya sehingga simpatisan atau pendukungnya bersifat semu.
Oleh sebab itu secara universal pantaslah jika dikatakan sudah terjadi erosi kewibawaan pada diri komunikator dewasa ini, karena tidak mampu lagi memproyeksikan dirinya kepada diri orang lain dan tidak bisa merasakan apa yang dirasakan orang lain atau tingkat emphaty sang komunikator sangat rendah sampai batas minimum.
Dalam buku komunikasi poltik karangan Dan Nimmo (Dan Nimmo; 1993: 134), mengidentifikasi ada tiga tipe pemimpin politik yang karena peran mereka yang aktif dalam menciptakan pesan yang relevan dengan aturan konflik, merupakan komunikator politik utama.
Para komunikator politik ini adalah POLS, yakni politikus yang hidupnya dari manipulasi komunikasi, dan VOLS, yaitu warga yang aktif dalam politik berdasarkan paruh waktu (part-time) dan sukarela (VOLUNTARY).
Dalam era komunikasi dan informasi komunikator sebagai penyampai pesan kepada komunikan diutamakan lebih dulu untuk menyamakan persepsi bukan untuk menyatukan persepsi. Kalau persoalan ini belum terselesaikan antara komunikator dan komunikan dikhawatirkan akan muncul dampak negatif. Memang cukup sulit untuk menyamakan persepsi tapi minimal sudah ada approach sehingga gap atau kesenjangan bisa diperkecil / diminimalisir.
Kita ambil saja contoh sederhana tentang apa itu ketam ? tenyata bisa diartikan berbeda-beda baik oleh komunikator maupun komunikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingannya, sehingga jika disatukan pengertiannya otomatis menimbulkan miss understanding diantara kedua belah pihak. Contoh ketam tadi dapat dimaknai sebagai alat untuk mengetam papan atau broti bagi tukang, sedangkan bagi petani ketam bermakna ani-ani alat mengambil padi, namun bagi masyarakat pantai berarti adalah kepiting.
Demikian kontrasnya pengertian dari masing-masing pihak yang berkompeten diatas sehingga perlu disamakan persepsinya baru diambil solusinya. Apabila sudah terjalin persamaan makna (ketam) antara komunikator dengan komunikan tentang satu hal topik pembahasan, boleh melangkah ke masalah selanjutnya.
Seperti kita ketahui bersama pembangunan nasional yang sedang digalakkanjuga butuh kesamaan persepsi dan makna bahwa pembangunan tetap berlanjut siapapun yang akan memimpin. Artinya pembangunan yang berkelanjutan adalah yang dapat memelihara keseimbangan antar pembangunan ekonomi, sosial, dan dapat memenuhi kebutuhan pada generasi sekarang tanpa mengurangi kesempatan bagi generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (World Comision On Environment and Development, 1987).
Kriteria pembangunan yang berkelanjutan menurut Deklarasi Rio pada Konferensi Bumi 1992 : INTEGRITAS EKOLOGI, mempertahankan sistem penunjang kehidupan, melestarikan keanekaragaman genetik dan meyakinkan pemakaian yang berkelanjutan dari spisies dan ekosistem. EFFISIENSI, mengkaji langkah-Iangkah atau metoda alternatif dari pembangunan dalam hal biaya (uang, waktu, personil dan kenyaman publik). KEADILAN SOSIAL, Upaya untuk mendapatkan kesempatan dan pengakuan yang sarna dalam pemenuhan kebutuhan diantara individu dan keluarga, kelompok sosial, gender, generasi dan spisies. INTEGRITAS BUDAYA, mempertahankan kekayaan tradisi dan kultur masyarakat dunia.
Meskipun konsep dan batasan pengertian tentang pembangunan berkelanjutan telah dikemukakan dengan jelas oleh Brundtland (1987) yang menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengabaikan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhan mereka.
Dalam perkembangan konsep selanjutnya, pembangunan berkelanjutan dielaborasi oleh Stren, White, dan Whitney (1992) sebagai suatu interaksi antara tiga sistem : sistem biologis dan sumber daya, sistem ekonomi, dan sistem sosial. Tetapi dengan masuknya tolok ukur sosial, maka sasaran berkelanjutan menjadi lebih jelas dan terarah, antar lain dikaitkan dengan upaya pemerataan sosial (Social Equilty), penanggulangan dan penghapusan kemiskinan (Poverty Eradicatio), keadilan sosial (Spatial Justice) dan semacamnya.
Para penentu kebijakan atau pengambil keputusan (dalam hal ini disebut komunikator) dalam pembangunan, diharapkan memiliki etos ketja yang tinggi. Bila perlu mereka harus berani melakukan terobosan-terobosan baru dan siap mengambil resiko. Namun resikonya adalah jenis resiko yang sudah diperhitungkan (calculated risks). Selain itu segenap komunikator seperti diungkapkan terdahulu harus berpegang teguh pada kode etik profesi masing-masing.
Dalam era kesejagatan (Globalisazion) yang membawa serta kecenderungan penciptaan citra global (Global Image), kiranya kita semua perlu mulai memperhatikan aspek estetika agar tidak kehilangan jati diri.
Tiga unsur ini dalarn pembangunan dikenal dengan istilah tiga-E yaitu ETOS KERJA, ETIKA PEMBANGUNAN, ESTETIKA. Hal ini sudah tentu dengan tidak mengabaikan substansi pembangunan yang lain.
Kredibilitas komunikator menjadi tolok ukur selanjutnya agar pesan dapat sampai dengan sempurna kepada komunikan atau dengan kata lain komunikatif ciri-cirinya adalah ada dialog antara komunikator dan komunikan, bahasanya mudah dimengerti serta ada hasil yang diperoleh oleh komunikan. Oleh karena heterogenitas tersebut maka masyarakat Indonesia penduduknya sangat majemuk atau pluralistik ditinjau dari segi agama, sukuletnis, golongan, adat-istiadat, partai, letak geografis dan sosial budayanya.
Sedemikian majemuknya bangsa Indonesia sehingga komunikator (pemimpin) wajib sangat ekstra hati-hati dalam menyampaikan pesan politiknya, disadari atau tidak disadari suka atau tidak suka penting atau tidak penting ucapan dan kata-kata sang komunikator bisa menimbulkan dampak yang luar biasa besarnya bagi komunikan apabila keseleo lidah untuk mengatakan sesuatu.
Komunikator yang mempunyai kekuatan. kharisma dalam konteks pembangunan nasional di Indonesia mutlak diperlukan dalam rangka mendukung kebijaksanaan positional power, kekuatan kharisma saja tidak cukup sebab hanya berbicara dan bergerak diluar sistem yang sudah pasti tak dapat berbuat sama sekali.
Begitu juga sebaliknya jika seorang komunikator hanya mengandalkan kekuatan posisi dalam pemerintahan (positional power) tanpa mendapatkan legitimasi dari rakyat, kepemimpinannya berjalan secara terseok-seok dikarenakan rakyat tidak mengakuinya. Segala kebijakan yang dihasilkan selalu mendapat tantangan atau protes dari rakyat.
Yang sangat jelas dipandang mata yaitu kredibilitas komunikator dilihat dari angle (sudut) Charimatic power seringkali hanya mengobral janji-janji, serta acapkali dalam missionnya menyimpang dari tujuan yang telah disepakati bersama meski realita menunjukkan sang komunikator memiliki segudang daya pemikat. Sementara itu kalau yang positional power, sang komunikator tidak mendapat pengakuan soal kredibilitas sebab utamanya antara perkataan dengan perbuatan tidak berjalan beriringan bersama malahan dapat dikatakan bertolak belakang.
Tetapi kemudian yang menjadi persoalan adalah parameter apa yang digunakan untuk mengukur kredibilitas komunikator? dari kedua aspek yaitu charismatic power dan positional power yakni manfaat serta kerugian masing-masing aspek. Manfaat atau keuntungan charismatic power pertama adalah berwibawa di mata komunikannya, komunikan seakan-akan tersugesti karena penampilan dan kata-kata pemimpinnya, kemarnpuan atau kejujuran dan itikad baik selalu dipandang sebelah mata oleh komunikannya.
Kedua, komunikator dianggap sebagai sumber kepercayaan (source credibility) komunikan menganggap dan merasakan tidak ada pemimpin lain yang sanggup menyerap aspirasi mereka, selain komunikator atau pemimpin yang menjadi idolanya serta ketidak percayaan pendukungnya sangat tinggi terhadap komunikator lain padahal apa yang diupayakan atau diperjuangkan pemimpinnya belum tentu benar.
Ketiga, komunikator mempunyai pengaruh (influence) yang cukup besar dimata komunikannya, seolah-olah komunikatomya tidak memiliki kesalahan sama sekali dalam segala hal ucapan dan perbuatannya. Konstituen percaya penuh terhadap apapun yang keluar dari mulut sang komunikator pujaannya, kebesaran pengaruh ini menyebabkan kadangkala ratio komunikator tertinggal dalam mengambil keputusan sebab didominasi oleh unsur emosional.
Sedangkan kerugian dari kredibilitas komunikator yang charismatic power pertama, lebih tertarik pada privacy dari pada cita-cita hal ini membuktikan bahwa unsur pribadi sang komunikator sangat menonjol. Walaupun semula komunikator mendengungkan program, visi dan misi, tetapi kemudian sangat mungkin bergeser seiring dengan berjalannya waktu. Dampak tersebut kurang disadari oleh komunikan sehingga bisa menimbulkan kekecewaan mendalam pada komunikannya.
Kedua, Komunikasinya bersifat semu dengan segala macam cara komunikator untuk meyakinkan komunikannya secara persuasif. Hingga terkadang gaya bahasanya sulit dimengerti dan sifatnya mendua atau ambigu, dalam benaknya yang penting pesan sampai ke sasaran tanpa didahului oleh proses seleksi dari komunikannya.
Ketiga, gagasan muluk-muluk sang komunikator tidak memikirkan apakah yang sudah dikatakannya dapat terlaksana apa tidak jika dia terpilih. Selajutnya gagasan yang dikemukakannya merupakan formula baru untuk mengatasi krisis, tapi sebenamya jauh panggang dari api yang tidak mendapatkan solusi atas gagasan tersebut.
Keempat, sikap simpatik mulai menurun terhadap komunikannya sebab lebih mengutamakan keunggulan kharismanya. Dengan memperdaya komunikannya ia leluasa bertindak seolah-olah tanpa pengawas, namun ia tak faham bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan dan dukungan komunikannya kedepan.
Untuk kredibilitas komunikator dari aspek positional power manfaat atau keuntungannya pertama, karena pemimpin atau komunikator dalam action (tindakan) berdasarkan instruksi yang notabene adalah garis komando mau atau tidak mau suka atau tidak suka komunikan wajib menjalankan perintah apapun resikonya. Tidak ada jalan lain bagi komunikan kecuali dengan satu perintah "lakukan", komunikator dapat menggunakan moment ini untuk kepentingan apa sesuai dengan yang diinginkan.
Kedua, komunikator tipe ini biasanya diangkat dan diberhentikan berdasarkan surat keputusan. Komunikator memiliki landasan hukum yang kuat dalam kepemimpinannya, keuntungan ini dimanfaatkan untuk me1akukan apa saja sepanjang surat keputusan belum dicabut oleh yang berwewenang mencabutnya.
Ketiga, komunikator punya wewenang mutlak tanpa dapat dicampuri atau diintervensi pihak lain, kekuasaannya menjadi penuh se1ama jangka waktu seperti yang telah ditetapkan dengan surat keputusan tanpa memperdulikan opini komunikannya. Aspirasi komunikan dianggap sebagai cadangan pertama manakala dibutuhkan pendapatnya. Jika pendapatnya tidak dibutuhkan pasti tidak dipakai dalam mengambil keputusan.
Keempat, selain dihormati dengan pemegang mandat SK komunikator juga dihargai oleh penampilannya sendiri. Sejauh mana ia mampu memanfaatkan potensi dirinya sebagai salah satu sumber kekuatan memperkokoh jabatan yang diembannya, untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat atau khalayak.
Sedangkan kerugian dari positional power pertama, semua perintah mesti dilakukan dengan cara-cara coercief atau unsur pemaksaan. Disini berlaku jenjang kepangkatan atau golongan seorang komunikator, jika menolak perintah akan dikenakan hukuman sesuai dengan Undang-Undang peraturan yang berlaku. Penerapan prinsip reward and punishment betul-betul diimplementasikan secara objektif.
Kedua, komunikator dapat bertindak semena-mena tanpa memperhatikan aspek kemanusiawian serta berlaku hukum rimba kehendak raja adalah juga kehendak rakyat. Tidak boleh ada yang protes apalagi membangkang, jangan harap aspirasi komunikan diserap didengar pun barangkali tidak mungkin.
Ketiga, feed-back yang diinginkan hanya terjadi one way traffic communications artinya kata-kata komunikator itulah hukum atau peraturan yang harus dipatuhi, tidak ada respon atau tanggapan dari komunikan atau tidak berani mengungkapkannya. Komunikator kurang membutuhkan opini komunikan sebab dianggap nggak penting.
Keempat, penampilan komunikator yang mentunakan (underestimate) artinya pemimpin selalu memandang rendah orang yang dipimpinnya. Sikap dan perilaku komunikator yang menganggap komunikannya mempunyai derajat dibawah derajatnya. Hal ini bisa berdampak munculnya aroganisme atau kesombongan pada diri komunikator.
*Tulisan ini sudah pernah dimuat dalam Jurnal Penelitian Media Massa Vol. 8 No. 13 Tahun 2004 di Balai Pengkajian dan Pengembangan Informasi Surabaya*

Baca selengkapnya...

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)