SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Selasa, 25 Mei 2010

Kuliah Umum Sosiologi dan Politik “Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan” Bandung, 22 Mei 2010 (UNIVERSITAS WIDYATAMA)

Pembicara:
Dr. Marissa Haque, S. H., M. H.
Tetty Kadi, S. Ip

UNIVERSITAS WIDYATAMA
Bagian Perkuliahan Dasar Umum (BPDU)

Demokrasi dan kepemimpinan perempuan1
Oleh : Hj Tetty Kadi Bawono 2
Batasan Umum Tentang Demokrasi
Agar dalam membahas judul ini bisa lebih fokus, maka digunakan referensi yang bersifat umum, agar pembahasan dapat lebih menuju pada peran perempuannya.
Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab.

Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pemah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasamya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Dalam versi barat, demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sejahtera dan menggunakan basis musyawarah untuk mencapai consensus, walaupun tidak melarang penggunaan sistim pemungutan suara (voting). Disamping itu landasan tujuan praktek demokrasi adalah tegaknya keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu (Wikipedia, diolah)
Karena sebagai dasar hidup bemegara, demokrasi memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat merasakan langsung manfaat demokrasi yang dilaksanakan. Rakyat berhak menikmati demokrasi sebab hanya dengan demikianlah arah kehidupan rakyat dapat diarahkan pada kehidupan yang lebih adil dalam semua aspek kehidupan. Maka dari itu, negara demokrasi adalah negara yang' berlandaskan kehendak dan kemauan rakyat, karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Ketidakadilan dalam mengujudkan fungsi hukum merupakan salah satu bentuk demokrasi tidak berjalan di tengah masyarakat. Lumpuhnya kedaulatan hukum rakyat dan mandulnya lembaga-Iembaga hukum menggambarkan keadaan tersebut.

(1. Makalah disampaikan di Universitas Widyatama, 22 Mei 2010. 2. Anggota DPR Rl2009-2014).


Kontradiksi demokrasi
Walaupun demikian pada dirinya, demokrasi selama ini yang dipercaya sebagai jalan "pencerahan" (Aujklarung), emansipasi sosial, sine qua non perkembangan manusia, yang tanpanya tak ada kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Demokrasi menjadi semacam "jalan Tuhan" merealisasikan utopia. Karena itu, "demokratisasi" dianggap sebuah proses positif-konstruktif absolut dalam mencapai tujuan emansipatif, seakan sejarah emansipasi manusia tak lebih dari manifestasi logis "esensi demokrasi" itu sendiri.
Namun, yang tak pemah disadari-bahkan oleh elite politik sendiri-adalah bahwa demokrasi dapat menjadi sebuah jalan "penghancuran diri sendiri" bila dipakai dengan formula tidak pas. Demokratisasi memang dapat membawa pada "kemajuan" dan "kebebasan", tetapi ia harus dibayar dengan "ongkos sosial" dengan direnggutnya segala hal berharga yang dimiliki, melalui sebuah proses penghancuran budaya sendiri (cultural self destruction) (Yasraf Amir Piliang, 2010). Dalam era eforia demokrasi, seringkali orang sulit membedakan mana liberalisasi dan mana demokrasi.
Demikian pula, dalam kehidupan demokrasi dalam arti sebenamya, terkandung di dalamnya unsur paradoks, yaitu disatu segi mensyaratkan keharusan adanya kebebasan dalam berkompetisi dan berbeda pendapat, di segi lain demokrasi mensyaratkan pula keharusan committment terhadap adanya keteraturan, atau kejelasan aturan main, kestabilan dan pada akhimya harusr.nampu menghasilkan konsensus yang harus ditaati bersama.
Unsur paradoks tersebut dapat di diserasikan paling tiJak melalui tiga hal yaitu, :
• pertama adalah tingkat kedewasaan para pelaku politiknya sendiri. Bila para pelaku politiknya dapat bersikapamanah secara hakiki, kemampuan mengendalikan ambisi atau emosi politiknya ketika bertemu dengan keadaan menang atau kalah, dalam arti bisa menerima kekalahan, atau ketika memperoleh kemenangan tidak takabur, itulah arti kedewasaan dalam berpolitik, yang tentu dengan catatan bahwa proses pelaksanaannya telah berlangsung secara bersih, etis dan transparan. Karena itu legitimasi etis dan kompetensi harus menjadi persyaratan yang pokok dalam proses penegakan nilai-nilai demokrasi.
• kedua adalah dari sistemnya, demokrasi adalah suatu proses dan bukan tujuan akhir, yang berfungsi untuk membangun mekanisme atau sistem, agar berbagai proses politik dapat diselesaikan dengan munculnya konsensus suatu yang berkualitas, yang
• ketiga adalah, kesadaran dari para konstituen, bahwa demokrasi memerlukan sikap budaya yang rasional. Tanpa rasionalitas, proses - proses demokrasi dapat menjurus kearah lahimya lembaga-Iembaga yang tidak dapat menjalankan fungsinya secara amanah dan benar.
Pada negara transisi demokrasi seperti Indonesia, pengenalan nilai-nilai demokrasi masih lebih berasal atau akibat dari terjadinya pelepasan diri dari efek ketertekanan dalam era yang disebut era non demokratis. Karena itu, arti demokrasi saat ini masih lebih dimaknai sebagai sekedar kebebasan dan partisipasi dan memang keadaan ini bisa dimengerti.
Demokrasi menjamin kebebasan warga negara berkelompok, termasuk membentuk partai baru maupun mendukung partai apapun. Tidak ada lagi keharusan mengikuti ajakan dan intimidasi dari siapapun. Tak ada lagi ketakutan untuk menyatakan afiliasinya dalam partai selain partai penguasalpemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak dan lebih sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi mendukung kebebasan berkelompok
Arti sesungguhnya kebebasan berpartisipasi merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Adapun jenis partisipasi yang paling elementer di dalam praktek demokrasi adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pernilihan anggota DPR maupun pernilihan presiden. Bentuk partisipasi kedua yang belurn berkernbang luas di negara dernokrasi baru adalah, apa yang disebut sebagai kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah. Melakukan usul koreksi atau protes terhadap lernbaga rnasyarakat atau pernerintah adalah, bentuk partisipasi ketiga yang diperlukan negara dernokrasi, agar system politik bekerja lebih baik. Sementara bentuk partisipasi keernpat adalah pencalonan diri dalam pernilihan diberbagai jabatan publik rnulai dari pernilihan lurah, bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga presiden, sesuai dengan pol a atau system pernilihan yang berlaku.
Nilai-nilai kesetaraan perlu dikernbangkan dan dilembagakan dalam sernua sector pemerintahan dan rnasyarakat. Diperlukan usaha keras agar tidak terjadi diskriminasi atau kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama tertentu, sehingga hubungan antarkelornpok dapat berlangsung dalarn suasana egaliter. Pennolakan terhadap as as kesetaraan ini sudah tentu bertentangan dengan dernokrasi. Kesetaraan atau egalitarianism mempakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengernbaJ.'igan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan di sini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sarna bagi setiap warga negara.
Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan dernokrasi, di mana kedudukan laki-Iaki dan perempuan merniliki hak yang sarna di depan hukurn, karena memiliki kodrat yang sarna sebagai makhluk social. Dalarn demokrasi, kesetaraan gender hams diwujudkan. Proses kea rah itu mernang rnemerlukan waktu panjang. Dalarn proses politik di Indonesia perkembangan kea rah kesetaraan gender dalarn politik di era pasca reformasi 1998 (awal perkernbangan menuju dernokrasi) sudah cukup progresif, terbukti dengan diakornodasikan gagasan 30% kuota perempuan bagi calon anggota legislatif. Narnun hal itu hanyalah sebagian kecil solusi dalarn persoalan kesetaraan gender. Masih ada banyak hal lagi yang perlu dilakukan dalarn mewujudkan kesetaraan gender, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. (endangkomarasblog.blogspot.com).
Perspektif Sejarah Peran Perempuan di Indonesia
Peran strategis perempuan juga terlihat dalarn kornunitas yang terlahir pada rnasa itu. Derni rnenyokong perjuangan rekannya, rnereka mendirikan dapur urnurn untuk rnernberikan rnakan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pernuda Putri Republik Indonesia). Selain rnisi di atas, organ ini juga menghidupkan
pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah -daerah.
Di lembaga-lembaga yang lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PPRI (Pemuda Prempuan Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah¬rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah. dan matang untuk kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.
Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia! petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.
Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.
Di temp at lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.
Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan temp at lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.
Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kademya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).
Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api. Pada tang gal 15 dan 16 Juni 1946, Kowani menyelenggarakan konggresnya yang ke II
dengan diikuti 14 organisasi wanita untuk melakukan konsolidasi orgamsasl guna mendukung kemerdekaan Indonesia.3.
(3. http://books.google.com-Pemuda Putri Republik Indonesia).

Kepemimpin Perempuan

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, tidak ada formulasi adanya pembedaan antara perempuan dan laki-Iaki, masing-masing mempunyai kedudukan dan hak yang sarna dalam membangun bangsa sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu pembahasan tantang kepemimpinan perempuan lebih diberi makna sebagai kapasitas peran dan kapasitas sebagai problem solver atau dalam proses penyelesaian suatu persoalan. Dalam hal ini kepemimpinan tidak sekedar diartikan sebagai kepala atau pimpinan, tetapi lebih pada kapasitas yang menjadikan seseorang perempuan telah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang untuk itu berakibat layak menjadi seorang pemimpin.
Karena itu disamping peluang yang sudah ada bagi peran perempuan, maka pro gram¬program pemberdayaan dan pendidikan dalam dimensi apa pun bagi perempuan adalah suatu kewajaran saja, dalam arti basis keputusannya adalah pengembangan kualitas SDM, tidak ada pembedaan laki-perempuan. Termasuk dalam soal partisipasi baik di ruang publik maupunruang privat. Seharusnya tidak ada hambatan yang dapat ditafsirkan atau dikhawatirkan dapat meminimalisasikan peran dan kiprah perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.
Dalam realita ideologi, psikologi, dan minimnya sumberdaya manusia dari perempuan kerap dijadikan senjata untuk menyerang eksistensi perempuan di ranah publik. Padahal, dari sisi ideologis, misalnya, tidak ada satu pun dalil yang bisa 1l1enjadi landasan kuat melarang soaial-politik perempuan. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY I) ada keberanian dalam mendudukkan beberapa perempuan pada pos penting di dalam kabinet. Munculnya nama-nama seperti, ibu Marie E Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, ibu Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, ibu Siti Fadhilah sebagai Menteri Kesehatan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan ibu Meuthia Hatta, merupakan bukti kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan perempuan di Indonesia.
Sementara itu, kepemimpinan perempuan di parpol pun bertambah. Selain ibu Megawati Soekamoputri (PDI Perjuangan), ada ibu Meuthia Hatta yang merupakan salah satu pimpinan di partai PKPI, dan ibu Amelia Yani memimpin partai PPRN, menunjukkan bahwa kememimpin politik para perempuan telah menemukan momentumnya kembali (dalam arti bukan yang pertama kali).
Di beberapa daerah, kepala pemerintahan juga sudah dijabat oleh perempuan, antara lain Gubemur Banten yang dijabat oleh ibu Ratu Atut yang juga salah satu pimpinan Partai Golkar saat ini. Di provinsi Jawa Tengah kemenangan Bibit Waluyo (Gubemur) juga dinilai disebabkan faktor Rustriningsih (Wagub), yang sebelumnya dinilai berhasil pada saat memimpin Kabupaten Kebumen sebagai Bupati.
Terlepas dari soal kalah menang, bila menggunakan referensi Jawa Timur, maka dalam Pilgub Jawa Timur muculnya ibu Khofifah Indar Parawansa sebagai salah satu kandidat perempuan, mengindikasikan tiadanya resistensi di kepemimpinan birokratis maupun politik. Peran politik perempuan akan semakin menarik untuk dicermati, tatkala misalnya, ada parpol yang berani memunculkan nama calon presiden atau wapres perempuan untuk pilpres 2009. Mengapa hal ini menarik ? Karena di AS sebagai negara yang dianggap kampiun dalam berdemokrasi, belum peruah mempunyai presiden ataupun wapres perempuan. Pencalonan ibu Hillary Clinton di 2008 itupun baru yang pertama kali dalam sejarah pilpres AS ada calon perempuan.
Sesungguhnya masih ada peluang untuk melakukan sosialisasi pencalonan seseorang. Berbagai bentuk komunikasi politik dan publik bisa dilakukan untuk mengangkat citra seorang tokoh perempuan agar bisa lebih dikenal publik pemilih. Oleh karena itu pertanyaan pentingnya adalah, peran kepemimpinan apa yang dapat diaktualisasikan kaum perempuan di masa mendatang Indonesia?
Dapat diamati, bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang dalam perioda yang cukup kritis dalam melaksanakan eksperimennya yang berupa upaya penegakan nilai - nilai demokrasi, melalui pemilu 2009, yang ini terjadi, yang upaya tersebut dilaksanakan pada era justru pada saat Indonesia sedang dalam keadaan menghadapi krisis global, padahal krisis sebelumnya juga belum sepenuhnya dapat terselesaikan.
Harapan yang terkandung dalam upaya penegakan nilai - nilai demokrasi ini pada akhimya akan terlihat dari apakah para calon yang telah terpilih misalnya, termasuk pada lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK) perioda ini dan nantinya pada lembaga -lembaga yang secara substantif ataupun simbolik merupakan lembaga penegak nilai . - nilai demokrasi yaitu : eksekutif, judikatif, legeslatif dan pers, dan akhir - akhir ini ditambah dengan lembaga pembentuk opini - opini semacam lembaga survey/polling dapat memungsikannya secara maksimum dan terutama pada kemampuannya memberikan bobot legitimasi etis ? Dalam berbagai kontestasi politik, jarang sekali terjadi silang sengkarut tentang soal keterpilihan pada kandidat perempuan. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa keterpilihan perempuan seringkali lebih bersifat genuin, karena itu pada perempuan ada potensi, selain mendapat legitimasi kuantitatif, dalam arti jumlah suara, terikut juga sekaligus legitimasi etisnya.
Sebuah rumus umum yang berlaku adalah : Apakah mungkin hal yang sarna dikerjakan dengan cara yang sarna lalu akan mengharapkan hasill yang berbeda ? Dalam kondisi kompleksitas kehidupan ekonomi karena dampak terpaan krisis global, maka sesungguhnya kunci sukses demokrasi saat ini adalah, diperlukannya perubahan pada perilaku para pemilih. Kata kunci adalah pendidikan demokrasi, minimal adalah pada perlunya penjelasan tentang perbedaan demokrasi dan liberalisasi, pada butir yang kritis ini,peran perempuan sangat diperlukan. Dari rumah, pendidikan tentang kehidupan politik demokratis dapat dirancang, dalam pengenalan sistim nilai-nya. Misalnya dari hal yang sederhana, saat seorang anak harus memilih, dimana pilihan adalah harus dijatuhkan pada apa yang dianggap terbaik. Saat anak menjadi dewasa, maka memilih yang terbaik sudah menjadi bagian dari budaya atau perilaku yang terbiasa, sehingga dalam kehidupan cara menentukan pilihan, sudah berdasarkan pilihan yang berbasis pada adanya kompetensi dan
integritas calon, yang merupakan harapan dari berhasilnya praktek demokrasi itu sendiri dan bukan hanya sekedar secara absolut pilihan yang mendasarkan pada kemampuan finansial seorang calon.
Harapan normatif selanjutnya adalah, agar dapat berfungsinya lembaga -lembaga penegak nilai- nilai demokrasi, antara lain yang pokok adalah : secara sinergi berkemampuan untuk membangun suatu sistim yang dapat mengkonversi berbagai jenis konflik menjadi konsensus; memberikan iklim yang kondusif bagi naiknya tingkat partisipasi masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya untuk turut serta dalam upaya memecahkan masalah - masalah yang dihadapi bangsa Indonesia kini dan esok. Pada konteks ini, maka peran mediasi merupakan faktor kunci dan disini peran perempuan dalam proses-proses mediasi terutama dalam mengatasi konflik kepentingan dapat dilakukan (bukan konfli fisik), misalnya dalam menentukan prioritas-prioritas di bidang proses legeslasi. Badan legeslatif DPR yang saat ini salah satu pimpinannya wanita menunjukkan indikasi tersebut.
Karena itu, penegakan nilai - nilai demokrasi secara sengaja atau tidak harns dihindarkan, dari sekedar adanya perubahan mekanisme atau prosedur pemilihan saja, yaitu dari pemilihan tidak langsung / sistim perwakilan menjadi pemilihan langsung atau voting masal kemudian ditambah dengan perubahan teknis tentang syarat-syarat bagi terpilihnya seorang calon.
Ketiga hal tersebut dapat dianggap tercapai, apabila keseluruhan nilai - nilai normatif yang dikandung dalam ideologi demokrasi, secara jemih dapat disaksikan perwujudannya pada praktek demokrasi itu sendiri, dimana nilai - nilai normatif dalam demokrasi tersebut dapat mewujud dalam situasi yang bersih dan terbuka
Bersamaan dengan perubahan sistim pemilihan Presiden, tertiadakan pula format GBHN, yang dahulunya merupakan dokumen politik formal yang merupakan dokumen yang mengakomodasikan berbagai kehendak rakyat. Dalam ketiadaan GBHN ini, perlu ada wahana atau format lain yang berfungsi untuk menyampaikan dan mengakomodasikan berbagai aspirasi atau kehendak berbagai komponen masyarakat. Adanya GBHN akan lebih memudahkan untuk mengukur tingkat keberhasilan dari para pemegang amanah, baik di legeslatif maupun di eksekutif.
Apakah perioda reses dari anggota legeslatif yang digunakan untuk kunjungan ke daerah telah dapat mencukupi untuk membaca kehendak rakyat ? Demikian pula apakah cukup janji - janji kampanye pada saat pilkada, pilpres, pillegeslatif, sebagai forum komunikasi politik dalam mekanisme yang berlaku saat ini. Bila ini belum mencukupi, lalu adakah forum lain yang dapat berfungsi sebagai wahana untuk membaca kehendak dan pertanyaan rakyat ? J elas diperlukan adanya forum reguler yang berkemampuan untuk memberi masukan kepada para personil dari lembaga - lembaga penegak demokrasi, baik secara formal ataupun informal, agar sistim kehidupan demokrasi ini dapat berfungsi secara maksimal, sehingga kesan hanya showcase democracy dapat dihindarkan.
Pendulum demokratisasi Indonesia yang cenderung bergerak ke arah perayaan kebebasan individu cenderung menumbuhkan watak "individualisme": egoisme, selfishness,
narsisisme, dan hedonisme. Elite-elite politik cenderung mengembangkan "etika individualis", di mana pandangan individu jadi ukuran segala kebenaran, kebaikan, dan keutamaan (virtue). Akibatnya, ukuran nilai, kebenaran, moral, dan keutamaan kolektif yang berasal dari adat, mitos, tradisi bahkan agama terpinggirkan.
Demikian pula pendulum demokrasi juga bergerak ke arah "penampilan luar" saja (surface), dalam arti demikian ada pemilihan langsung dianggap urusan demokrasi sudah selesai, substansi demokrasi atau esensi terabaikan, sehingga spirit demokrasi lebih diperlihatkan menj adi "pertunjukan demokrasi" (democratic performance) melalui aneka event. Karena sifat "performativitas" inilah, demokrasi perlu aneka panggung pertunjukan (ruang sidang, media massa, adanya kebebasan orasi dll), yang di dalamnya "citra demokrasi" ditampilkan. Namun, terobsesi oleh citra, "refleksi politik" tak lagi punya tempat. Momen "kebenaran" telah digantikan "mom en citra/image".
Penutup
Dalam perspektif social budaya, di dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, tergambar bahwa kepemimpinan perempuan bukan sesuatu yang harus dikontroversialkan, apa lagi dalam era demokrasi. Oleh karena itu tantangan bagi kaum perempuan sendiri saat ini adalah meningkatkan kualitas genuine kepemimpinannya. Sensitivitas rasa yang dimiliki perempuan dapat secara positif digunakan sebagai factor instrumental penting untuk dapat membaca aspirasi yang berkembang atau yang sedang berubah dengan lebih tepat. Harapannya tentu, bagaimana melalui partisipasi politiknya yang dapat melahirkan kepemimpinan perempuan dalam demokrasi, juga dapat meningkatkan kinerja berbagai lembaga perwakilan rakyat, terutama dalam proses pengambilan keputusannya. Dengan demikian, dalam proses-proses selanjutnya akan terlahir dari para perempuan, politisi bersih yang menghidupkan kesadaran, tanggung jawab dan rasa memiliki cita-cita besar bersama pada diri sendiri dan konstituen mereka yang pada gilirannya melahirkan cita-cita kedaulatan sebagaimana di-cita-citakan founding parent.4. kita.
(4. Biasanya digunakan istilahfoundingfather, tetapi melihat realitas sejarah bangs a Indonesia, bahwa para perempuan ikut berjuang dalam memperoleh kemerdekaan Indonesia, maka diusulkan agar istilah founding father bukan diganti tapi dilengkapi menjadi founding parents).

Tidak ada komentar:

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)