SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Rabu, 24 September 2008

Tinjauan dari Perspektif Komunikasi Politik : WACANA RUU PORNOGRAFI DI MEDIA, PERLUKAH DIPERDEBATKAN ?

PRO – KONTRA tentang sebuah topik aktual yang kontroversial di media dalam sebuah demokrasi di negara berkembang adalah hal biasa manakala semua pihak dewasa dalam menyampaikan pendapat, perdebatan dianggap sebagai khasanah dalam pematangan dalam berdemokrasi yang terpenting tidak dilakukan dengan cara – cara anarkis atau memperlebar dikotomi antara daerah / budaya yang satu dengan yang lainnya. Karena Apa ? Negara ini dibentuk atas dasar keanekaragaman suku (etnis ), agama, ras, golongan, daerah serta Folkways atau kebiasaan dalam masyarakat serta kemajemukan lainnya.

Ketika Rancangan Undang-Undang (RUU) Pornografi diekspos oleh media massa baik cetak atau elektronik, pada saat itu pula publik merespon eksistensi serta tujuan RUU dipercepat, padahal masih banyak lagi RUU yang lebih penting dari RUU Pornografi tersebut. RUU yang bernama APP (Anti Pornografi dan Pornoaksi) digulirkan sejak tahun 1999, tetapi sejak tahun 2004 hingga sekarang kontroversi masyarakat semakin tinggi, sebab ada beberapa pasal yang mengundang perdebatan publik secara luas khususnya Pasal 14, Pasal 21 dan Pasal 22.
Resistensi terhadap eksistensi RUU Pornografi datang bukan hanya dari kalangan LSM, akademisi atau pengamat saja namun datang juga dari masyarakat Bali, Papua, Maluku, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Utara.
Pertanyaan yang muncul antara lain : Kenapa kok sebegitu jauhnya negara mengatur wilayah privacy orang? Bagaimana dengan fungsi edukasi media massa ? Mengapa tiba–tiba muncul lagi padahal sudah lama hilang ? Tidak adakah RUU yang lain yang lebih penting dari RUU Pornografi itu ? Benarkah RUU Pornografi ini untuk kepentingan negara dan rakyat ? Apakah hanya keinginan sebagian kecil anggota DPR-RI yang memaksakan kehendaknya saja? Serta pertanyaan – pertanyaan lainnya.
Prediksi atas pertanyaan diatas muncul karena masyarakat atau publik tidak tahu kronologis kejadiannya atau belum pernah baca tapi langsung berkomentar atau ingin memberikan solusi, sedangkan di kalangan anggota DPR saja terjadi perdebatan sengit tentang pasal-pasal tertentu. Aspirasi dari semua anak bangsa perlu didengar dan ditampung dalam rangka penyempurnaan pasal – pasal yang dianggap sangat kontroversial.

Maka itu ketika ada dialog aktual di TVRI tanggal 21-09-2008 pukul 24.00 WITA penulis wajib menonton karena pentingnya acara tersebut. Sebagai nara sumber dari anggota DPR RI Mustafa Kamal (Fraksi PKS), Eva Sundari (Fraksi PDI–P) dan Adinda Tenriangke Muchtar ( The Indonesian Institute ).
Malahan Eva Sundari menyarankan dalam rangka sosialisasi RUU pornografi, tugas MENKOMINFO mendesiminasikan informasinya sampai ke daerah– daerah. Eva Melanjutkan lagi sebaiknya pornografi dilihat sebagai kriminal ACT bukan sebagai komoditi sex dan lainnya.
Oleh sebab itu media sebagai salah satu alat untuk menyebar – luaskan informasi ke publik, setiap saat mesti menjalin komunikasi serta memperbaharui data & fakta sebelum di sampaikan ke publik. Artinya fungsi edukasi mesti dikedepankan dalam setiap pemberitaan, kemudian para jurnalis / reporter harus punya draft paling terakhir dari RUU Pornografi tersebut agar tetap aktual dan up to date.
Kemarin juga ada berita dalam warning text Metro TV ( 23-09-2008 ) kurang lebih 3000 orang di Denpasar Bali berunjuk rasa menentang RUU Pornografi. Di Tomohon Janti Koraag aktifis perempuan & Danny Tular : “ RUU Pornografi tersebut sangat sarat dengan kepentingan pihak-pihak tertentu. Oleh karena itu, jika diberlakukan bisa mengancam keutuhan bangsa”. Ditimpali oleh Danny tular dengan mengatakan : “ Anggota DPR RI yang ingin memberlakukan RUU-Anti Pornografi adalah sekelompok orang yang kurang kerjaan. Kalau pemberlakuan RUU Pornografi dipaksakan, berarti sejumlah anggota DPR-RI memang ingin negara ini hancur “.( Harian Komentar, 25 September 2008 ).
Lebih tegas lagi Partai PDS Sulawesi Utara melalui wakil ketua DPP PDS Denny Tewu mengatakan : “ Sampai titik darah penghabisan Partai Damai Sejahtera akan menolak penerapan RUU Pornografi. Perang terhadap UU yang dinilai dapat melecehkan nilai-nilai pluralisme bangsa ini tak hanya sebatas berjuang dan mencari dukungan di gedung DPR RI Senayan, tapi kini telah dilebarkan sayap dengan melakukan sosialisasi ke daerah-daerah se Indonesia “. ( Harian Manado Post, 25 September 2008 ).
Menurut hemat penulis sebagai Peneliti Kominikasi Politik ada 5 hal solusi untuk menjembatani friksi horisontal atau resistensi publik dengan cara antara lain :

1. Pihak DPR – RI dianjurkan melakukan Panja ( Panitia Kerja ) terbuka, sehingga banyak orang bisa menyaksikan pembahasannya.
2. Partisipasi publik sebaiknya diperluas dalam usaha menjaring masukan sebanyak –banyaknya dari semua elemen masyarakat yang berkompeten.
3. Revisi kata – kata untuk Pasal – Pasal yang di asumsikan mengundang kontroversial perlu diakomodir segera atau diganti barangkali kata-katanya.
4. Komunikasi face to face hendaknya lebih diitensifkan kepada masyarakat Bali, masyarakat Papua, masyarakat Sulawesi Utara, masyarakat NTT, masyarakat Kalteng, masyarakat Kaltim dan masyarakat Maluku serta masyarakat yang menolak RUU Pornografi tersebut.
5. Disahkan atau tidaknya RUU Pornografi harus tetap dalam koridor & bingkai NKRI, yang sudah tidak bisa ditawar – tawar lagi keberadaannya.

Tidak ada komentar:

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)