SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Rabu, 26 Mei 2010

IDENTITAS DAN KOMUNIKASI KAUM TIONGHOA: DIALEKTlKA UNTUK MENGINDONESIA1 Deddy Mulyana2

Alex Haley dalam novelnya Roots (1977) secara dramatik meiukiskan pencarian yang dilakukan seorang pria berkulit hitam Amerika yang sengaja datang ke Benua Afrika untuk mengetahui asal-usulnya tersebut. Berdasarkan sejarah keluarganya, novel ini berawal dengan penculikan Kunta Kinte di Gambia pada tahun 1767 dan diboyong ke Provinsi Maryland untuk dijual sebagai budak.Haley mengaku sebagai turunan dari generasi ke-7 dari Kunta Kinte. Karya Haley ini berdasarkan riset selama 10 tahun dan perjalanan dan penulisan antarbenua. Ia pergi ke Desa Juffure tempat Kunta Kinte tumbuh dan mendengarkan seorang sejarawan untuk mendapatkan kisah penangkapan Kunta Kinte. Haley juga melacak rekaman kapal yang membawa Kunta Kinte, The Lord Ligonier, yang menurut pengakuannya membawa leluhurnya ke Amerika.

Lebih kontemporer lagi, Antoinette Harrel-Miller, ibu rumah tangga berkulit hitam AS bahkan melakukan tes DNA untuk me\:1cak nenek moyangnya. Warga New Orleans ini menangis karena bahagia setelah ia mengetahui bahwa nenek moyangnya adalah orang-orang Tuareq Nomadik yang bermukim di Nigeria dan beberapa bagian Afrika Barat. Katanya, " ... seperti pulang lewat pintu untuk tidak kembali lagi ... Tak ada kata-kata yang melukiskan perasaan Anda. ketika Anda mengetahui diri Anda dan perasaan Anda yang hilang." Antoinette tahu keluarganya telah tinggal di bagian Selatan AS dari generasi ke generasi. Ia melacak catatan di gereja dan kerabat lebih tua untuk mengetahui nenek moyangnya. "Saya tahu sedikit. Tapi tak ada yang memandu saya ke Afrika.," ujarnya (Meadows, 2004).
Pikiran Rakyat pernah memberitakan seorang warga Perancis datang ke Jawa Barat untuk mencari ibunya yang sudah setengah abad ia dan bapaknya yang orang

(1. Makalah dipresentasikan dalam Seniinar yang diselenggarakan Yayasan Nabil Jakarta dan Fikom Unpad di Bandung, 19 Mei 2010. 2. Guru Besar dan Dekan Fikom Unpad )

Belanda tinggalkan. Dulu bapaknya itu kepala perkebunan sedangkan ibunya adalah bawahannya. Akhimya anak dan ibu itu bertemu. Si anak mengajak ibunya yang orang Sunda untuk hijrah ke Perancis. Tetapi ibunya tidak bersedia sehingga akhimya si pria kembali ke Eropa bersama istrinya yang datang menyertainya.
Seperti dilukiskan dalam cerita-cerita di atas, di era global ini tampaknya manusia modem tetap meraSakan kebutuhan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri berdasarkan leluhur, bahasa, agama dan adat istiadat, meskipun sebagian pengamat (misalnya Mathews, 2000) berargumen bahwa identitas manusia pada era pascamodemis ini cenderung cair dan temporer, bergantung pada penampilan fisik dan pola-pola konsumsi yang didikte pasar global (Georgio Armani, Louis Vuitton, Rolex, McDonald's, Coca Cola, Starbucks, Mercedes Benz, dsb.). Namun saya masih percaya pada teori lama bahwa inti dari identitas adalah kesadaran yang memiliki dimensi emosiorlal dan spiritual. Bagi kebanyakan orang, mencantelkan diri pada suatu kelompok etnik, budaya dan atau agama yang unik adalah niscaya. Hal itu membuat mereka tetap eksis di antara berbagai kelompok etnik, budaya dan agama lain dan tidak terasingdari lingkungan mereka yang semakin anonim. Menurut John Naisbitt dan Patricia Aburdene, ketika orang-orang diterpa perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual menguat. Ilmu dan teknologi tidak mengajarkan kepada kita apa makna hidup. Agamalah yang menjelaskan hal itu (1990:272). Apa yang Huntington (1996) katakan belasan tahun lalu masih relevan bahwa bangsa-bangsa yang terlibat dalam globalisasi tidak menganut suatu ideologi tunggal, namun berupaya mencari nilai-nilai etnik regional. Kebangkitan agama¬agama pada milenium ketiga, seperti diramalkan Naisbitt and Aburdene (1990), yang dampaknya telah tampak selama dua dekade terakhir ini, akan memperkuat perbedaan budaya yang ada. Pandangan Naisbitt dan Aburdene, juga pendangan Huntington memperteguh pendapat para ahli lainnya, seperti George De Vos (1975), Howard F. Stein dan Robert F. Hill (1977) dan Richard D. Alba ( 1985).
Etnisitas (kesukuan), di samping agama, secara tradisional merupakan aspek terpenting konsep-diri kita.Stein dan Hill (1977: 182) menyebutnya inti diri (the core of one's se(/), sedangkan De Vos (1975:17) melukiskannya dalam arti sempit sebagai "perasaan kontinuitas dengan masa lalu, perasaan yang dipupuk sebagai bagian penting definisi-diri." Begitu penting asal-usul kita itu, sehingga tanpa kepastian asal-usul itu, kita akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa kita memiliki dimensi terpenting identitas kita terse but. Gleh karena itu, kita bisa memahami mengapa banyak orang yang sudah lama terurbanisasikan dan menjalani hidup modern di sebuah kota besar merasa perlu untuk mengunjungi makam orangtua nun jauh di desa, misalnya pad a Hari Raya Idul Fitri atau dalam beberapa hari setelahnya, karena ziarah tersebut menegaskan jati¬diri dan asal-usul mereka.Pantaslaah jika Alba (1985:9) mengatakan bahwa jawaban paling memuaskan atas pertanyaan manusia "Siapakah aku?" menyangkut keterikatan
kepada asal-usul, suatu kebutuhan primordial yang pada dasarnya tidak luntur oleh hamparan peradaban.
Nama sebagai Identitas
Nama diri-sendiri adalah simbGI pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan), sebagai nama hoki atau apapun alasannya. Nama pribadi adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya (Palakshappa, 1971 :274). Nama yang kita terima sejak lahir tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk memperlakukan kita, dan terpenting, mempengaruhi kita dalam mempersepsi diri-sendiri.
Jika Anda sc:orang Tionghoa, nama Anda, apakah itu Tan Chee Beng, Budi Setiawan atau Muhammad Ikhwan, akan mempengaruhi orang lain bagaimana memperlakukan Anda. Bahkan sebelum itu, label yang orang lain berikan kepada Anda, apakah seorang Tionghoa, seorang China (dibaca atau diucapkan Caina) atau seorang Cina, juga akan mempengaruhi orang lain bagaimana orang lain mempersepsi dan wemperlakukan Anda. Istilah terakhir mengandung konotasi khusus, sering bermuatan stereotip yang cenderung negatif (yang tak jarang berimplikasi diskriminasi terhadap mereka), sementara dua istilah pertama lebih netral. Dalam lIpaya menyatllkan etnik yang leluhllrnya berasal dari Republik Rakyat Cina dengan warga lainnya di Indonesia, sebaiknya kita memang menggunakan label Tionghoa dalam wacana kita sehari-hari untuk merujuk kepada mereka.
Nama adalah bagian dari konsep-diri yang sangat penting. Bahkan nama juga menunjukkan kesadaran seseorang,. Perubahan nama berarti juga perubahan kesadarannya, misalnya kesadaran Nio Gwan Chung yang menjadi Muhammad Syafi'i Antonio. Perubahan kesadaran ini juga mengimplikasikan perubahan lingkungan sosialnya, dan bahkan perubahan topik-topik pembicaraannya (Berger dan Luckmann, 1966: 178-179). Maka nama jelas bersifat simbolik. Kesan-kesan tertentu dapat kita peroleh dari nama seseorang, apakah seseorang itu nasionalis, religius atau kebarat¬baratan. Shakespeare, lewat tokoh Juliet-nya, mengatakan, "What is in a name?" Apalah artinya nama, bunga fOS akan tetap harum juga meski diberi nama lain. Akan tetapi, menurut penelitian psikologi pendapatJuliet itu keliru. Bagi mereka yang berhubungan dengan Anda, nama Anda itu memberi suatu makna. Nama Anda mempengaruhi cara mereka mempersepsi Anda, pengharapan mereka akan Anda, dan cara mereka memperlakukan Anda. Suatu penelitian awal (1946) menemukan bahwa orang bernama John dipersepsikan sebagai ramah dan dapat dipercaya; Tony sebagai pandai bergaul; Agnes dan Matilda tidak menarik. Penelitian lain menemukan bahwa James dan Michael
dianggap maskulin; Wendy feminin; James, Michael, dan Wendy aktif; Alfreda, Percival, dan Isadore pasif (lihat juga Calhoun dan Acocella, 1990:239).
Di Indonesia belum pernah terdengar penelitian mengenai pengaruh nama ini, termasuk pengaruh nama yang disandang orang Tionghoa. Secara umum, nama-nama yang bagus, ngota dan sedikit kebarat-baratan sepelii Ant()n, Bram, Ivan, Ronny, dan Y ongky boleh jadi dipersepsikan lebih positif daripada nama-nama yang kurang lazim atau terkesan "kampungan," seperti Bejo, Juned, Pendul atau Samijo. Akan tetapi tentu saja ada pula kekecualiannya. Nama Samijo pun akan menjadi jauh lebih keren kalau ditulis Sammy Joe. Seseorang bernama Aldino Saklitinov akan dianggap puny a nama keren, mungkin turunan Russia, meskipun ia orang Jawa asli. Nama tadi sebenarnya merupakan akronim. Aldino berarti "Alhamdulillah dia nongol," sedangkan Saklitinov adalah hari kelahirannya, yakni "Sabtu Kliwon Tiga November."

Dna Perspektif tentang Identitas Etnik
Selama ini kita cenderung menganut pandangan objektif (struktural) mengenai identitas Tionghoa alih-alih pandangan subjektif (fenomenologis). Pandangan objektif memandang bahwa identitas etnik sebagai pasif dan statis, sebagai bawaan, nyata, dan berdasarkan kategori-kat~ori yang ditetapkan, misalnya bahasa, agama, ~tau asal-usul kebangsaan. Ciri-ciri fisik seperti warna kulit, bentuk mata, dan warna rambut, sering menjadi ukuran. Sekali seseorang itu dikategorikan Tionghoa maka sampai kapanpun ia tetap Tionghoa. Pandangan itu biased karena mengabaikan pengalaman otentik anggota etnik.
Kontras dengan perspektif objektif, perspektif subjektif memandang identitas etnik sebagai proses aktif dan dinamis yang dialami kelompok etnik bersangkutan dan diidentifikasi demikian oleh orang lain, dan karenanya menekankan kesadaran psikologis mereka. Menurut pandangan ini, justru kesadaranlah sebagai inti identitas etnik, bukan ciri-ciri fisik.Tidak salah jika seorang Tionghoa yang lahir di Indonesia, bergaul dengan orang dari beragam etnik lainnya, berbicara bahasa Indonesia dan makan makanan Indonesia, merasa lebih sebagai orang Indonesia daripada sebagai orang Tionghoa, meski nenek moyangnya lahir di Daratan Cina. Jika kita setuju bahwa kesadaran adalah esensi identitas etnik atau. kebangsaan seseorang, maka seorang Tionghoa yang membela Indonesia di kancah olahraga internasional untuk mengharumkan nama Indonesia boleh jadi lebih nasionalis daripada orang Jawa atau orang Sunda yang menjllal aset negara untuk kepentingan diri atall kelompoknya. Maka tidak adil lIntuk menyamaratakan identitas seseorang berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Pandangan ini sering kental dengan stereotip, yakni penyamarataan yang berlebihan atas sekelompok orang dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Stereotip sering destruktif. Kebencian terhadap seseorang dari sllatu kelompok etnik sering menjadi kebencian terhadap kelompok etnik bersangkutan secara keseluruhan. Jika terjadi konflik antaretnik, orang-
orang yang tidak bersalah pun menjadi sasaran, seperti yang terjadi dalam Tragedi Mei 1998.
Salah satu varian dari perspektif subjektif terhadap identitas etnik adalah pendekatan Fredrik Barth (1969). Bagi Barth identitas etnik itu cair, digunakan individu dalam interaksi dengan orang lain. Diasumsikan, para aktor berupaya mengeksploitasi simbol-simbol budaya dan menampilkan perilaku etnik tertentu. Seseorang dapat menjadi seorang Tionghoa, seorang Indonesia, bahkan seorang manusia antarbudaya (warga dunia) bergantung dalam situasi apa, di mana, untuk tujuan apa, dan dengan siapa ia berinteraksi. Sisi "negatif' dari pendekatan ini adalah bahwa orang-orang boleh jadi memanipulasi identitas etnik mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi, khususnya yang bersifat ekonomi dan politik. Namun upaya terse but tidak selamanya berhasil karena kendala yang ada, misalnya karena ciri-ciri fisiknya atau bahasa (Indonesia) nya yang berlogat kesukuan atau kedaerahan, mengingatkan orang pada kelompok etnik tertentu.


Membumikan Identitas Tionghoa
Istilah prbumi dan nonpribumi sudah kadaluarsa, sebagaimana istilah Indonesia asli dan bukan asli. Kita semua, apapun etnik kita, adalah keturunan Nabi Adam yang dulu hidup di luar bumi Indonesia. Marilah kita bersatu demi memajukan Indonesia. Sejak awal masa reformasi (1998), warga Tionghoa tampaknya semakin teintegrasi dengan orang¬orang Indonesia lainnya, termasuk yang selama ini disebut rumpun Melayu. Kini kita memiliki pejabat setingkat menteri yang orang Tionghoa, Mari Elka Pangestu. Jika pad a masa lalu, orang-orang Tionghoa dominan sebagai pemain bulutangkis papan atas, kini sejumlah penyanyi, pemain sinetron, atau presenter TV pun orang Tionghoa, seperti Agnes Monica, Delon, Ferry Salim, dan Roger Danuarta. Kaum Tionghoa juga sekarang secara leluasa merayakan hari-hari raya mereka, seperti TSayangnya, buku-buku mengenai kehidupan orang Tionghoa di Indonesia masih sedikit, terutama yang bersumber dari hasil-hasil penelitian yang menggunakan perspektif fenomenologis. Maka penerbitan- buku Memoar Ang Yan Goan (2009) ini, juga pembahasannya, seperti yang kita lakukan pad a hari ini, layak kita hargai. Tampaknya orang-orang Tionghoa-Iah yang sebaiknya memperbanyak penelitian tentang kelompok mereka karena hal itu lebih mudah dilakukan. Ada baiknya orang-orang Tionghoa di
Indonesia meniru orang-orang Belanda yang meneliti kehidupan bangsa mer~ka di Indonesia pada zaman kolonial, dan menerbitkannya dalam ribuan judul buku.
Acara-acara TV kit a dewasa ini juga masih kurang mengeksplorasi kehidupan orang-orang Tionghoa. Kalaupun ada, acara-acara seperti itu bersifat musiman, seperti sekitar Tahun Baru Imlek, atau sekadar guyonan dan parodi, seperti dalam acara Ekstravaganza Trans TV. Bila televisi kadang menayangkan budaya Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bali, dsb. budaya Tionghoa pun tak perlu dikucilkan? Suatu acara TV yang menarik, sinet!'on misalnya, dapat menayangkan konflik dan solusinya antara orang Sunda atau orang Jawa dengan orang Tionghoa, secara santun, kreatif dan jenaka, di lingkungan tetangga, sekolah ataupun pekerjaan. Seperti opera sabun Amerika yang klasik dan sukses, All in the Family, dengan tokohnya Archie Bunker yang menyebalkan dan rasis terhadap orang Amerika non-kulit putih, namun juga jenaka. Tema-tema antaretnik ini (termasuk antara orang Melayu dan orang India atau orang Arab) sebenarnya melimpah dan tidak akan pernah kering. Namun etika bersama harus kita jaga. Misalnya, acara tersebut tidak boleh melecehkan ajaran suatu agamE!. yang dianut masyarakat kita.
Selain acara TV, film layar lebar juga, dapat digunakan untuk mengeksplorasi seluk beluk budaya Tionghoa dan per-tlbahan identitas Tionghoa dari masa ke masa. Film Chau Bau Kan dan Gie, adalah dua cantoh film yang bagus mengenai hal ini. Tidak kurang pentingnya adalah pelajaran di sekolah atau mata kuliah yang menyentuh pentingnya saling pengertian antara berbagai etnik di Indonesia, seperti Antropologi Budaya, Bahasa Mandarin, Psikologi Antarbudaya, Komunikasi Antaretnik atau Komunikasi Lintasbudaya. Last but not least, pemerintah seyogianya membuka pintu lebih lebar kepada warga Tionghoa untuk menjadi PNS dan TN!. Berkat keanekaragaman etnik dan saling pengertian antaretnik inilah kita akan menjadi bangsa yang besar.

Peran Komunikasi Kaum Tionghoa dalam Pembentukal! Kesadaran Bangsa
Dengan asumsi bahwa identitas seseorang akan tercermin pada komunikasinya, baik verbal atau nonverbal, bahkan pada topik-topik pembicaraannya (yang pada gilirannya harus didukung pula oleh lingkungan sosialnya), maka dapat dikemukakan beberepa proposisi (meski cenderung objektif dan mekanistik) yang dapat dieksplorasi lewat penelitian, misalnya, ceteris paribus (faktor-faktor lain dianggap sama):
• Orang Tionghoa yang namanya lebih Indonesia, akan lebih efektif dalam komunikasi mereka dalam proses pembentukan kesadaran bangsa (Dalam konteks ini mari kita berandai-andai, apakah Rudi Hartono, Susi Susanti dan Agnes Monica, akan mendapatkan dukungan khalayak Indonesia yang luas sebagaimana yang telah mereka peroleh, jika mereka menggunakan nama berbau Tionghoa).
• Semakin tinggi pendidikan orang Tionghoa, semakin efektif komunikasi mereka dalam proses pembentukan kesadaran bangsa.
• Semakin baik bahasa Indonesia orangTionghoa, semakin besarlah perannya dalam pembentukan kesadaran berbangsa.
• Semakin banyak mitra koinunikasi orang Tionghoa dari berbagai etnik Indonesia, semakin cepat proses pembentukan kesadaran bangsa Indonesia.

Akan tetapi, seilmiah apa pun penelitian dan secanggih apa pun satistik yang digunakan untuk menguji proposisi-proposisi di atas, penelitian tersebut tetap saja hanya akan memunculkan rea\itas di permukaan. Dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam, khususnya penelitian fenomenologis untuk mengkaji dinamika dan dialektika identitas kaum Tionghoa, komunikasi mereka den gall orang-orang di luar etnik mereka, dan kesadaran mereka serta transfoffi1asinya dalam pembentukan kesadaran bangsa Indonesia. Kajian mengenai transformasi identitas para tokoh bangsa, politisi, profesional, olahragawan dan selebritis (penyanyi, model dan bintang film/TV) keturunan Tionghoa merupakan langkah awal yang akan diapresiasi khalayak. Penelitian kualitatif mengenai komunitas-komunitas Tionghoa, seperti di JI. ABC di Bandung, di Glodok di Jakarta, atau di Singkawang di Kalimantan Barat misalnya perlu juga dilakukan untuk memahami transformasi identitas mereka. Semua penelitian itu dapat dijadikan umpan balik bagi kita semua, khususnya pihak berwenang, untuk melakukan usaha bersama membentuk jati diri bangsa Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Alba, Richard D. 1985. Italian Americans. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Barth, Fredrik.1969. Ethnic Groups and Boundaries. London: Allen & Unwin.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality.
Englewood Cliffs, N.J. Prentice-Hall.
Calhoun, James F. dan Joan Ross Acocella. Psychology of Adjustment and Human Relationships. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill, 1990.
DeVos, George. 1975. "Ethnic Pluralism: Conflict and Accomodation." Dalam George De Vos dan Lola Romanucci-Ross, ed. Ethnic Identity: Cultural Continuities and Change, hIm. 5-41. Palo Alto, California: Mayfield.
Haley, Alex. 1977. Roots: The Saga of An American Family. Garden City, NY: Double Day.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Mathews, Gordon. 2000. Global Culture/Individual Identity: Searching fnr Home in the Cultural Supermarket. London: Routledge.
Meadows, Bob. 2004 "Roots Reavealed." People 27, hlm. 97-98.
Naisbitt, John, dan Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000. New York: William Morrow Palakshappa, Tumkur C. 1971. Group Dynamics and the Process of Assimilation: The White Russian Community of Dandenong. Tesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Monash University.

Tidak ada komentar:

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)