SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Minggu, 30 Mei 2010

Ucapan Selamat

Syukur Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT pada hari Kamis pukul: 13.00 Wib tanggal 27 Mei 2010 di Aula Fakultas Hukum UNPAD, Bandung.

Bapak ir. Cahyana Ahmadjayadi, MH
Kepala Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I
Telah lulus ujian Sidang Tertutup program DOKTOR Pasca Sarjana UNPAD, Bandung.
Kami segenap keluarga besar BPPKI Bandung dan seluruh Keluarga Besar Badan Litbang SDM mengucapkan selamat serta turut berbahagia dan ditunggu undangan Bapak untuk Sidang Terbuka akhir Juni 2010.
SALAM PENELITI,
Kepala BPPKI Bandung, Peneliti dan semua pegawai yang ada.

Baca selengkapnya...

Rabu, 26 Mei 2010

IDENTITAS DAN KOMUNIKASI KAUM TIONGHOA: DIALEKTlKA UNTUK MENGINDONESIA1 Deddy Mulyana2

Alex Haley dalam novelnya Roots (1977) secara dramatik meiukiskan pencarian yang dilakukan seorang pria berkulit hitam Amerika yang sengaja datang ke Benua Afrika untuk mengetahui asal-usulnya tersebut. Berdasarkan sejarah keluarganya, novel ini berawal dengan penculikan Kunta Kinte di Gambia pada tahun 1767 dan diboyong ke Provinsi Maryland untuk dijual sebagai budak.Haley mengaku sebagai turunan dari generasi ke-7 dari Kunta Kinte. Karya Haley ini berdasarkan riset selama 10 tahun dan perjalanan dan penulisan antarbenua. Ia pergi ke Desa Juffure tempat Kunta Kinte tumbuh dan mendengarkan seorang sejarawan untuk mendapatkan kisah penangkapan Kunta Kinte. Haley juga melacak rekaman kapal yang membawa Kunta Kinte, The Lord Ligonier, yang menurut pengakuannya membawa leluhurnya ke Amerika.

Lebih kontemporer lagi, Antoinette Harrel-Miller, ibu rumah tangga berkulit hitam AS bahkan melakukan tes DNA untuk me\:1cak nenek moyangnya. Warga New Orleans ini menangis karena bahagia setelah ia mengetahui bahwa nenek moyangnya adalah orang-orang Tuareq Nomadik yang bermukim di Nigeria dan beberapa bagian Afrika Barat. Katanya, " ... seperti pulang lewat pintu untuk tidak kembali lagi ... Tak ada kata-kata yang melukiskan perasaan Anda. ketika Anda mengetahui diri Anda dan perasaan Anda yang hilang." Antoinette tahu keluarganya telah tinggal di bagian Selatan AS dari generasi ke generasi. Ia melacak catatan di gereja dan kerabat lebih tua untuk mengetahui nenek moyangnya. "Saya tahu sedikit. Tapi tak ada yang memandu saya ke Afrika.," ujarnya (Meadows, 2004).
Pikiran Rakyat pernah memberitakan seorang warga Perancis datang ke Jawa Barat untuk mencari ibunya yang sudah setengah abad ia dan bapaknya yang orang

(1. Makalah dipresentasikan dalam Seniinar yang diselenggarakan Yayasan Nabil Jakarta dan Fikom Unpad di Bandung, 19 Mei 2010. 2. Guru Besar dan Dekan Fikom Unpad )

Belanda tinggalkan. Dulu bapaknya itu kepala perkebunan sedangkan ibunya adalah bawahannya. Akhimya anak dan ibu itu bertemu. Si anak mengajak ibunya yang orang Sunda untuk hijrah ke Perancis. Tetapi ibunya tidak bersedia sehingga akhimya si pria kembali ke Eropa bersama istrinya yang datang menyertainya.
Seperti dilukiskan dalam cerita-cerita di atas, di era global ini tampaknya manusia modem tetap meraSakan kebutuhan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri berdasarkan leluhur, bahasa, agama dan adat istiadat, meskipun sebagian pengamat (misalnya Mathews, 2000) berargumen bahwa identitas manusia pada era pascamodemis ini cenderung cair dan temporer, bergantung pada penampilan fisik dan pola-pola konsumsi yang didikte pasar global (Georgio Armani, Louis Vuitton, Rolex, McDonald's, Coca Cola, Starbucks, Mercedes Benz, dsb.). Namun saya masih percaya pada teori lama bahwa inti dari identitas adalah kesadaran yang memiliki dimensi emosiorlal dan spiritual. Bagi kebanyakan orang, mencantelkan diri pada suatu kelompok etnik, budaya dan atau agama yang unik adalah niscaya. Hal itu membuat mereka tetap eksis di antara berbagai kelompok etnik, budaya dan agama lain dan tidak terasingdari lingkungan mereka yang semakin anonim. Menurut John Naisbitt dan Patricia Aburdene, ketika orang-orang diterpa perubahan, kebutuhan akan kepercayaan spiritual menguat. Ilmu dan teknologi tidak mengajarkan kepada kita apa makna hidup. Agamalah yang menjelaskan hal itu (1990:272). Apa yang Huntington (1996) katakan belasan tahun lalu masih relevan bahwa bangsa-bangsa yang terlibat dalam globalisasi tidak menganut suatu ideologi tunggal, namun berupaya mencari nilai-nilai etnik regional. Kebangkitan agama¬agama pada milenium ketiga, seperti diramalkan Naisbitt and Aburdene (1990), yang dampaknya telah tampak selama dua dekade terakhir ini, akan memperkuat perbedaan budaya yang ada. Pandangan Naisbitt dan Aburdene, juga pendangan Huntington memperteguh pendapat para ahli lainnya, seperti George De Vos (1975), Howard F. Stein dan Robert F. Hill (1977) dan Richard D. Alba ( 1985).
Etnisitas (kesukuan), di samping agama, secara tradisional merupakan aspek terpenting konsep-diri kita.Stein dan Hill (1977: 182) menyebutnya inti diri (the core of one's se(/), sedangkan De Vos (1975:17) melukiskannya dalam arti sempit sebagai "perasaan kontinuitas dengan masa lalu, perasaan yang dipupuk sebagai bagian penting definisi-diri." Begitu penting asal-usul kita itu, sehingga tanpa kepastian asal-usul itu, kita akan melakukan apa saja untuk memastikan bahwa kita memiliki dimensi terpenting identitas kita terse but. Gleh karena itu, kita bisa memahami mengapa banyak orang yang sudah lama terurbanisasikan dan menjalani hidup modern di sebuah kota besar merasa perlu untuk mengunjungi makam orangtua nun jauh di desa, misalnya pad a Hari Raya Idul Fitri atau dalam beberapa hari setelahnya, karena ziarah tersebut menegaskan jati¬diri dan asal-usul mereka.Pantaslaah jika Alba (1985:9) mengatakan bahwa jawaban paling memuaskan atas pertanyaan manusia "Siapakah aku?" menyangkut keterikatan
kepada asal-usul, suatu kebutuhan primordial yang pada dasarnya tidak luntur oleh hamparan peradaban.
Nama sebagai Identitas
Nama diri-sendiri adalah simbGI pertama dan utama bagi seseorang. Nama dapat melambangkan status, cita-rasa budaya, untuk memperoleh citra tertentu (pengelolaan kesan), sebagai nama hoki atau apapun alasannya. Nama pribadi adalah unsur penting identitas seseorang dalam masyarakat, karena interaksi dimulai dengan nama dan hanya kemudian diikuti dengan atribut-atribut lainnya (Palakshappa, 1971 :274). Nama yang kita terima sejak lahir tidak hanya mempengaruhi kehidupan kita, tetapi juga mempengaruhi orang lain untuk memperlakukan kita, dan terpenting, mempengaruhi kita dalam mempersepsi diri-sendiri.
Jika Anda sc:orang Tionghoa, nama Anda, apakah itu Tan Chee Beng, Budi Setiawan atau Muhammad Ikhwan, akan mempengaruhi orang lain bagaimana memperlakukan Anda. Bahkan sebelum itu, label yang orang lain berikan kepada Anda, apakah seorang Tionghoa, seorang China (dibaca atau diucapkan Caina) atau seorang Cina, juga akan mempengaruhi orang lain bagaimana orang lain mempersepsi dan wemperlakukan Anda. Istilah terakhir mengandung konotasi khusus, sering bermuatan stereotip yang cenderung negatif (yang tak jarang berimplikasi diskriminasi terhadap mereka), sementara dua istilah pertama lebih netral. Dalam lIpaya menyatllkan etnik yang leluhllrnya berasal dari Republik Rakyat Cina dengan warga lainnya di Indonesia, sebaiknya kita memang menggunakan label Tionghoa dalam wacana kita sehari-hari untuk merujuk kepada mereka.
Nama adalah bagian dari konsep-diri yang sangat penting. Bahkan nama juga menunjukkan kesadaran seseorang,. Perubahan nama berarti juga perubahan kesadarannya, misalnya kesadaran Nio Gwan Chung yang menjadi Muhammad Syafi'i Antonio. Perubahan kesadaran ini juga mengimplikasikan perubahan lingkungan sosialnya, dan bahkan perubahan topik-topik pembicaraannya (Berger dan Luckmann, 1966: 178-179). Maka nama jelas bersifat simbolik. Kesan-kesan tertentu dapat kita peroleh dari nama seseorang, apakah seseorang itu nasionalis, religius atau kebarat¬baratan. Shakespeare, lewat tokoh Juliet-nya, mengatakan, "What is in a name?" Apalah artinya nama, bunga fOS akan tetap harum juga meski diberi nama lain. Akan tetapi, menurut penelitian psikologi pendapatJuliet itu keliru. Bagi mereka yang berhubungan dengan Anda, nama Anda itu memberi suatu makna. Nama Anda mempengaruhi cara mereka mempersepsi Anda, pengharapan mereka akan Anda, dan cara mereka memperlakukan Anda. Suatu penelitian awal (1946) menemukan bahwa orang bernama John dipersepsikan sebagai ramah dan dapat dipercaya; Tony sebagai pandai bergaul; Agnes dan Matilda tidak menarik. Penelitian lain menemukan bahwa James dan Michael
dianggap maskulin; Wendy feminin; James, Michael, dan Wendy aktif; Alfreda, Percival, dan Isadore pasif (lihat juga Calhoun dan Acocella, 1990:239).
Di Indonesia belum pernah terdengar penelitian mengenai pengaruh nama ini, termasuk pengaruh nama yang disandang orang Tionghoa. Secara umum, nama-nama yang bagus, ngota dan sedikit kebarat-baratan sepelii Ant()n, Bram, Ivan, Ronny, dan Y ongky boleh jadi dipersepsikan lebih positif daripada nama-nama yang kurang lazim atau terkesan "kampungan," seperti Bejo, Juned, Pendul atau Samijo. Akan tetapi tentu saja ada pula kekecualiannya. Nama Samijo pun akan menjadi jauh lebih keren kalau ditulis Sammy Joe. Seseorang bernama Aldino Saklitinov akan dianggap puny a nama keren, mungkin turunan Russia, meskipun ia orang Jawa asli. Nama tadi sebenarnya merupakan akronim. Aldino berarti "Alhamdulillah dia nongol," sedangkan Saklitinov adalah hari kelahirannya, yakni "Sabtu Kliwon Tiga November."

Dna Perspektif tentang Identitas Etnik
Selama ini kita cenderung menganut pandangan objektif (struktural) mengenai identitas Tionghoa alih-alih pandangan subjektif (fenomenologis). Pandangan objektif memandang bahwa identitas etnik sebagai pasif dan statis, sebagai bawaan, nyata, dan berdasarkan kategori-kat~ori yang ditetapkan, misalnya bahasa, agama, ~tau asal-usul kebangsaan. Ciri-ciri fisik seperti warna kulit, bentuk mata, dan warna rambut, sering menjadi ukuran. Sekali seseorang itu dikategorikan Tionghoa maka sampai kapanpun ia tetap Tionghoa. Pandangan itu biased karena mengabaikan pengalaman otentik anggota etnik.
Kontras dengan perspektif objektif, perspektif subjektif memandang identitas etnik sebagai proses aktif dan dinamis yang dialami kelompok etnik bersangkutan dan diidentifikasi demikian oleh orang lain, dan karenanya menekankan kesadaran psikologis mereka. Menurut pandangan ini, justru kesadaranlah sebagai inti identitas etnik, bukan ciri-ciri fisik.Tidak salah jika seorang Tionghoa yang lahir di Indonesia, bergaul dengan orang dari beragam etnik lainnya, berbicara bahasa Indonesia dan makan makanan Indonesia, merasa lebih sebagai orang Indonesia daripada sebagai orang Tionghoa, meski nenek moyangnya lahir di Daratan Cina. Jika kita setuju bahwa kesadaran adalah esensi identitas etnik atau. kebangsaan seseorang, maka seorang Tionghoa yang membela Indonesia di kancah olahraga internasional untuk mengharumkan nama Indonesia boleh jadi lebih nasionalis daripada orang Jawa atau orang Sunda yang menjllal aset negara untuk kepentingan diri atall kelompoknya. Maka tidak adil lIntuk menyamaratakan identitas seseorang berdasarkan ciri-ciri fisiknya. Pandangan ini sering kental dengan stereotip, yakni penyamarataan yang berlebihan atas sekelompok orang dengan mengabaikan perbedaan-perbedaan individual. Stereotip sering destruktif. Kebencian terhadap seseorang dari sllatu kelompok etnik sering menjadi kebencian terhadap kelompok etnik bersangkutan secara keseluruhan. Jika terjadi konflik antaretnik, orang-
orang yang tidak bersalah pun menjadi sasaran, seperti yang terjadi dalam Tragedi Mei 1998.
Salah satu varian dari perspektif subjektif terhadap identitas etnik adalah pendekatan Fredrik Barth (1969). Bagi Barth identitas etnik itu cair, digunakan individu dalam interaksi dengan orang lain. Diasumsikan, para aktor berupaya mengeksploitasi simbol-simbol budaya dan menampilkan perilaku etnik tertentu. Seseorang dapat menjadi seorang Tionghoa, seorang Indonesia, bahkan seorang manusia antarbudaya (warga dunia) bergantung dalam situasi apa, di mana, untuk tujuan apa, dan dengan siapa ia berinteraksi. Sisi "negatif' dari pendekatan ini adalah bahwa orang-orang boleh jadi memanipulasi identitas etnik mereka untuk memperoleh keuntungan pribadi, khususnya yang bersifat ekonomi dan politik. Namun upaya terse but tidak selamanya berhasil karena kendala yang ada, misalnya karena ciri-ciri fisiknya atau bahasa (Indonesia) nya yang berlogat kesukuan atau kedaerahan, mengingatkan orang pada kelompok etnik tertentu.


Membumikan Identitas Tionghoa
Istilah prbumi dan nonpribumi sudah kadaluarsa, sebagaimana istilah Indonesia asli dan bukan asli. Kita semua, apapun etnik kita, adalah keturunan Nabi Adam yang dulu hidup di luar bumi Indonesia. Marilah kita bersatu demi memajukan Indonesia. Sejak awal masa reformasi (1998), warga Tionghoa tampaknya semakin teintegrasi dengan orang¬orang Indonesia lainnya, termasuk yang selama ini disebut rumpun Melayu. Kini kita memiliki pejabat setingkat menteri yang orang Tionghoa, Mari Elka Pangestu. Jika pad a masa lalu, orang-orang Tionghoa dominan sebagai pemain bulutangkis papan atas, kini sejumlah penyanyi, pemain sinetron, atau presenter TV pun orang Tionghoa, seperti Agnes Monica, Delon, Ferry Salim, dan Roger Danuarta. Kaum Tionghoa juga sekarang secara leluasa merayakan hari-hari raya mereka, seperti TSayangnya, buku-buku mengenai kehidupan orang Tionghoa di Indonesia masih sedikit, terutama yang bersumber dari hasil-hasil penelitian yang menggunakan perspektif fenomenologis. Maka penerbitan- buku Memoar Ang Yan Goan (2009) ini, juga pembahasannya, seperti yang kita lakukan pad a hari ini, layak kita hargai. Tampaknya orang-orang Tionghoa-Iah yang sebaiknya memperbanyak penelitian tentang kelompok mereka karena hal itu lebih mudah dilakukan. Ada baiknya orang-orang Tionghoa di
Indonesia meniru orang-orang Belanda yang meneliti kehidupan bangsa mer~ka di Indonesia pada zaman kolonial, dan menerbitkannya dalam ribuan judul buku.
Acara-acara TV kit a dewasa ini juga masih kurang mengeksplorasi kehidupan orang-orang Tionghoa. Kalaupun ada, acara-acara seperti itu bersifat musiman, seperti sekitar Tahun Baru Imlek, atau sekadar guyonan dan parodi, seperti dalam acara Ekstravaganza Trans TV. Bila televisi kadang menayangkan budaya Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Bali, dsb. budaya Tionghoa pun tak perlu dikucilkan? Suatu acara TV yang menarik, sinet!'on misalnya, dapat menayangkan konflik dan solusinya antara orang Sunda atau orang Jawa dengan orang Tionghoa, secara santun, kreatif dan jenaka, di lingkungan tetangga, sekolah ataupun pekerjaan. Seperti opera sabun Amerika yang klasik dan sukses, All in the Family, dengan tokohnya Archie Bunker yang menyebalkan dan rasis terhadap orang Amerika non-kulit putih, namun juga jenaka. Tema-tema antaretnik ini (termasuk antara orang Melayu dan orang India atau orang Arab) sebenarnya melimpah dan tidak akan pernah kering. Namun etika bersama harus kita jaga. Misalnya, acara tersebut tidak boleh melecehkan ajaran suatu agamE!. yang dianut masyarakat kita.
Selain acara TV, film layar lebar juga, dapat digunakan untuk mengeksplorasi seluk beluk budaya Tionghoa dan per-tlbahan identitas Tionghoa dari masa ke masa. Film Chau Bau Kan dan Gie, adalah dua cantoh film yang bagus mengenai hal ini. Tidak kurang pentingnya adalah pelajaran di sekolah atau mata kuliah yang menyentuh pentingnya saling pengertian antara berbagai etnik di Indonesia, seperti Antropologi Budaya, Bahasa Mandarin, Psikologi Antarbudaya, Komunikasi Antaretnik atau Komunikasi Lintasbudaya. Last but not least, pemerintah seyogianya membuka pintu lebih lebar kepada warga Tionghoa untuk menjadi PNS dan TN!. Berkat keanekaragaman etnik dan saling pengertian antaretnik inilah kita akan menjadi bangsa yang besar.

Peran Komunikasi Kaum Tionghoa dalam Pembentukal! Kesadaran Bangsa
Dengan asumsi bahwa identitas seseorang akan tercermin pada komunikasinya, baik verbal atau nonverbal, bahkan pada topik-topik pembicaraannya (yang pada gilirannya harus didukung pula oleh lingkungan sosialnya), maka dapat dikemukakan beberepa proposisi (meski cenderung objektif dan mekanistik) yang dapat dieksplorasi lewat penelitian, misalnya, ceteris paribus (faktor-faktor lain dianggap sama):
• Orang Tionghoa yang namanya lebih Indonesia, akan lebih efektif dalam komunikasi mereka dalam proses pembentukan kesadaran bangsa (Dalam konteks ini mari kita berandai-andai, apakah Rudi Hartono, Susi Susanti dan Agnes Monica, akan mendapatkan dukungan khalayak Indonesia yang luas sebagaimana yang telah mereka peroleh, jika mereka menggunakan nama berbau Tionghoa).
• Semakin tinggi pendidikan orang Tionghoa, semakin efektif komunikasi mereka dalam proses pembentukan kesadaran bangsa.
• Semakin baik bahasa Indonesia orangTionghoa, semakin besarlah perannya dalam pembentukan kesadaran berbangsa.
• Semakin banyak mitra koinunikasi orang Tionghoa dari berbagai etnik Indonesia, semakin cepat proses pembentukan kesadaran bangsa Indonesia.

Akan tetapi, seilmiah apa pun penelitian dan secanggih apa pun satistik yang digunakan untuk menguji proposisi-proposisi di atas, penelitian tersebut tetap saja hanya akan memunculkan rea\itas di permukaan. Dibutuhkan penelitian yang lebih mendalam, khususnya penelitian fenomenologis untuk mengkaji dinamika dan dialektika identitas kaum Tionghoa, komunikasi mereka den gall orang-orang di luar etnik mereka, dan kesadaran mereka serta transfoffi1asinya dalam pembentukan kesadaran bangsa Indonesia. Kajian mengenai transformasi identitas para tokoh bangsa, politisi, profesional, olahragawan dan selebritis (penyanyi, model dan bintang film/TV) keturunan Tionghoa merupakan langkah awal yang akan diapresiasi khalayak. Penelitian kualitatif mengenai komunitas-komunitas Tionghoa, seperti di JI. ABC di Bandung, di Glodok di Jakarta, atau di Singkawang di Kalimantan Barat misalnya perlu juga dilakukan untuk memahami transformasi identitas mereka. Semua penelitian itu dapat dijadikan umpan balik bagi kita semua, khususnya pihak berwenang, untuk melakukan usaha bersama membentuk jati diri bangsa Indonesia.




DAFTAR PUSTAKA

Alba, Richard D. 1985. Italian Americans. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Barth, Fredrik.1969. Ethnic Groups and Boundaries. London: Allen & Unwin.
Berger, Peter L. dan Thomas Luckmann. 1966. The Social Construction of Reality.
Englewood Cliffs, N.J. Prentice-Hall.
Calhoun, James F. dan Joan Ross Acocella. Psychology of Adjustment and Human Relationships. Edisi ke-3. New York: McGraw-Hill, 1990.
DeVos, George. 1975. "Ethnic Pluralism: Conflict and Accomodation." Dalam George De Vos dan Lola Romanucci-Ross, ed. Ethnic Identity: Cultural Continuities and Change, hIm. 5-41. Palo Alto, California: Mayfield.
Haley, Alex. 1977. Roots: The Saga of An American Family. Garden City, NY: Double Day.
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order. New York: Simon & Schuster.
Mathews, Gordon. 2000. Global Culture/Individual Identity: Searching fnr Home in the Cultural Supermarket. London: Routledge.
Meadows, Bob. 2004 "Roots Reavealed." People 27, hlm. 97-98.
Naisbitt, John, dan Patricia Aburdene. 1990. Megatrends 2000. New York: William Morrow Palakshappa, Tumkur C. 1971. Group Dynamics and the Process of Assimilation: The White Russian Community of Dandenong. Tesis Ph.D. Tidak dipublikasikan. Monash University.

Baca selengkapnya...

Selasa, 25 Mei 2010

Kuliah Umum Sosiologi dan Politik “Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan” Bandung, 22 Mei 2010 (UNIVERSITAS WIDYATAMA)

Pembicara:
Dr. Marissa Haque, S. H., M. H.
Tetty Kadi, S. Ip

UNIVERSITAS WIDYATAMA
Bagian Perkuliahan Dasar Umum (BPDU)

Demokrasi dan kepemimpinan perempuan1
Oleh : Hj Tetty Kadi Bawono 2
Batasan Umum Tentang Demokrasi
Agar dalam membahas judul ini bisa lebih fokus, maka digunakan referensi yang bersifat umum, agar pembahasan dapat lebih menuju pada peran perempuannya.
Demokrasi adalah sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Begitulah pemahaman yang paling sederhana tentang demokrasi, yang diketahui oleh hampir semua orang. Berbicara mengenai demokrasi adalah memburaskan (memperbincangkan) tentang kekuasaan, atau lebih tepatnya pengelolaan kekuasaan secara beradab.

Ia adalah sistem manajemen kekuasaan yang dilandasi oleh nilai-nilai dan etika serta peradaban yang menghargai martabat manusia. Pelaku utama demokrasi adalah kita semua, setiap orang yang selama ini selalu diatasnamakan namun tak pemah ikut menentukan. Menjaga proses demokratisasi adalah memahami secara benar hak-hak yang kita miliki, menjaga hak-hak itu agar siapapun menghormatinya, melawan siapapun yang berusaha melanggar hak-hak itu. Demokrasi pada dasamya adalah aturan orang (people rule), dan di dalam sistem politik yang demokratis warga mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam mengatur pemerintahan di dunia publik. Dalam versi barat, demokrasi adalah keputusan berdasarkan suara terbanyak. Di Indonesia, pergerakan nasional juga mencita-citakan pembentukan negara demokrasi yang berwatak anti-feodalisme dan anti-imperialisme, dengan tujuan membentuk masyarakat sejahtera dan menggunakan basis musyawarah untuk mencapai consensus, walaupun tidak melarang penggunaan sistim pemungutan suara (voting). Disamping itu landasan tujuan praktek demokrasi adalah tegaknya keadilan, dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia ingini. Jadi masalah keadilan menjadi penting, dalam arti dia mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi harus dihormati haknya dan harus diberi peluang dan kemudahan serta pertolongan untuk mencapai itu (Wikipedia, diolah)
Karena sebagai dasar hidup bemegara, demokrasi memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat merasakan langsung manfaat demokrasi yang dilaksanakan. Rakyat berhak menikmati demokrasi sebab hanya dengan demikianlah arah kehidupan rakyat dapat diarahkan pada kehidupan yang lebih adil dalam semua aspek kehidupan. Maka dari itu, negara demokrasi adalah negara yang' berlandaskan kehendak dan kemauan rakyat, karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Ketidakadilan dalam mengujudkan fungsi hukum merupakan salah satu bentuk demokrasi tidak berjalan di tengah masyarakat. Lumpuhnya kedaulatan hukum rakyat dan mandulnya lembaga-Iembaga hukum menggambarkan keadaan tersebut.

(1. Makalah disampaikan di Universitas Widyatama, 22 Mei 2010. 2. Anggota DPR Rl2009-2014).


Kontradiksi demokrasi
Walaupun demikian pada dirinya, demokrasi selama ini yang dipercaya sebagai jalan "pencerahan" (Aujklarung), emansipasi sosial, sine qua non perkembangan manusia, yang tanpanya tak ada kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan. Demokrasi menjadi semacam "jalan Tuhan" merealisasikan utopia. Karena itu, "demokratisasi" dianggap sebuah proses positif-konstruktif absolut dalam mencapai tujuan emansipatif, seakan sejarah emansipasi manusia tak lebih dari manifestasi logis "esensi demokrasi" itu sendiri.
Namun, yang tak pemah disadari-bahkan oleh elite politik sendiri-adalah bahwa demokrasi dapat menjadi sebuah jalan "penghancuran diri sendiri" bila dipakai dengan formula tidak pas. Demokratisasi memang dapat membawa pada "kemajuan" dan "kebebasan", tetapi ia harus dibayar dengan "ongkos sosial" dengan direnggutnya segala hal berharga yang dimiliki, melalui sebuah proses penghancuran budaya sendiri (cultural self destruction) (Yasraf Amir Piliang, 2010). Dalam era eforia demokrasi, seringkali orang sulit membedakan mana liberalisasi dan mana demokrasi.
Demikian pula, dalam kehidupan demokrasi dalam arti sebenamya, terkandung di dalamnya unsur paradoks, yaitu disatu segi mensyaratkan keharusan adanya kebebasan dalam berkompetisi dan berbeda pendapat, di segi lain demokrasi mensyaratkan pula keharusan committment terhadap adanya keteraturan, atau kejelasan aturan main, kestabilan dan pada akhimya harusr.nampu menghasilkan konsensus yang harus ditaati bersama.
Unsur paradoks tersebut dapat di diserasikan paling tiJak melalui tiga hal yaitu, :
• pertama adalah tingkat kedewasaan para pelaku politiknya sendiri. Bila para pelaku politiknya dapat bersikapamanah secara hakiki, kemampuan mengendalikan ambisi atau emosi politiknya ketika bertemu dengan keadaan menang atau kalah, dalam arti bisa menerima kekalahan, atau ketika memperoleh kemenangan tidak takabur, itulah arti kedewasaan dalam berpolitik, yang tentu dengan catatan bahwa proses pelaksanaannya telah berlangsung secara bersih, etis dan transparan. Karena itu legitimasi etis dan kompetensi harus menjadi persyaratan yang pokok dalam proses penegakan nilai-nilai demokrasi.
• kedua adalah dari sistemnya, demokrasi adalah suatu proses dan bukan tujuan akhir, yang berfungsi untuk membangun mekanisme atau sistem, agar berbagai proses politik dapat diselesaikan dengan munculnya konsensus suatu yang berkualitas, yang
• ketiga adalah, kesadaran dari para konstituen, bahwa demokrasi memerlukan sikap budaya yang rasional. Tanpa rasionalitas, proses - proses demokrasi dapat menjurus kearah lahimya lembaga-Iembaga yang tidak dapat menjalankan fungsinya secara amanah dan benar.
Pada negara transisi demokrasi seperti Indonesia, pengenalan nilai-nilai demokrasi masih lebih berasal atau akibat dari terjadinya pelepasan diri dari efek ketertekanan dalam era yang disebut era non demokratis. Karena itu, arti demokrasi saat ini masih lebih dimaknai sebagai sekedar kebebasan dan partisipasi dan memang keadaan ini bisa dimengerti.
Demokrasi menjamin kebebasan warga negara berkelompok, termasuk membentuk partai baru maupun mendukung partai apapun. Tidak ada lagi keharusan mengikuti ajakan dan intimidasi dari siapapun. Tak ada lagi ketakutan untuk menyatakan afiliasinya dalam partai selain partai penguasalpemerintah. Demokrasi memberikan alternatif yang lebih banyak dan lebih sehat bagi warga negara. Itu semua karena jaminan bahwa demokrasi mendukung kebebasan berkelompok
Arti sesungguhnya kebebasan berpartisipasi merupakan gabungan dari kebebasan berpendapat dan berkelompok. Adapun jenis partisipasi yang paling elementer di dalam praktek demokrasi adalah pemberian suara dalam pemilihan umum, baik pernilihan anggota DPR maupun pernilihan presiden. Bentuk partisipasi kedua yang belurn berkernbang luas di negara dernokrasi baru adalah, apa yang disebut sebagai kontak/hubungan dengan pejabat pemerintah. Melakukan usul koreksi atau protes terhadap lernbaga rnasyarakat atau pernerintah adalah, bentuk partisipasi ketiga yang diperlukan negara dernokrasi, agar system politik bekerja lebih baik. Sementara bentuk partisipasi keernpat adalah pencalonan diri dalam pernilihan diberbagai jabatan publik rnulai dari pernilihan lurah, bupati, walikota, gubernur, anggota DPR, hingga presiden, sesuai dengan pol a atau system pernilihan yang berlaku.
Nilai-nilai kesetaraan perlu dikernbangkan dan dilembagakan dalam sernua sector pemerintahan dan rnasyarakat. Diperlukan usaha keras agar tidak terjadi diskriminasi atau kelompok etnis, bahasa, daerah, atau agama tertentu, sehingga hubungan antarkelornpok dapat berlangsung dalarn suasana egaliter. Pennolakan terhadap as as kesetaraan ini sudah tentu bertentangan dengan dernokrasi. Kesetaraan atau egalitarianism mempakan salah satu nilai fundamental yang diperlukan bagi pengernbaJ.'igan demokrasi di Indonesia. Kesetaraan di sini diartikan sebagai adanya kesempatan yang sarna bagi setiap warga negara.
Kesetaraan gender adalah sebuah keniscayaan dernokrasi, di mana kedudukan laki-Iaki dan perempuan merniliki hak yang sarna di depan hukurn, karena memiliki kodrat yang sarna sebagai makhluk social. Dalarn demokrasi, kesetaraan gender hams diwujudkan. Proses kea rah itu mernang rnemerlukan waktu panjang. Dalarn proses politik di Indonesia perkembangan kea rah kesetaraan gender dalarn politik di era pasca reformasi 1998 (awal perkernbangan menuju dernokrasi) sudah cukup progresif, terbukti dengan diakornodasikan gagasan 30% kuota perempuan bagi calon anggota legislatif. Narnun hal itu hanyalah sebagian kecil solusi dalarn persoalan kesetaraan gender. Masih ada banyak hal lagi yang perlu dilakukan dalarn mewujudkan kesetaraan gender, baik di bidang sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan lain-lain. (endangkomarasblog.blogspot.com).
Perspektif Sejarah Peran Perempuan di Indonesia
Peran strategis perempuan juga terlihat dalarn kornunitas yang terlahir pada rnasa itu. Derni rnenyokong perjuangan rekannya, rnereka mendirikan dapur urnurn untuk rnernberikan rnakan bagi pejuang di front dan pengungsi. Organisasi ini disebut PRRI (Pernuda Putri Republik Indonesia). Selain rnisi di atas, organ ini juga menghidupkan
pos-pos P3K. Tugasnya, menolong pengungsi, dan membentuk laskar-laskar putri di daerah -daerah.
Di lembaga-lembaga yang lain, kaum perempuan yang tergabung di BKR (Badan Keamanan Rakyat) atau pun di PPRI (Pemuda Prempuan Republik Indonesia) mengemban tugas untuk mengorganisir sumbangan yang dapat diambil dari rumah¬rumah penduduk, mengirim bahan makanan mentah. dan matang untuk kemudian didistibusikan ke hampir seluruh kota dan membagi makanan pemberian untuk pejuang di front.
Peran perempuan selain di dapur umum, yang sangat mencolok adalah pelayanan kesehatan baik tergabung di PMI (Palang Merah Indonesia) atau pun laskar-laskar putri lainnya. Peran perempuan di garis ini cukup membahayakan meski sepatutnya, sebagai petugas kesehatan mendapatkan perlindungan dari tembakan, tetapi justru sebaliknya. PMI (Palang Merah Indonesia! petugas kesehatan) sering mendapatkan berondongan peluru baik ketika berada dalam mobil ambulans atau pun di lapangan.
Perjuangan perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun. Kaum perempuan juga ikut berperan sebagai prajurit, hal ini bisa dibaca dari kisah perjalanan Maryati Djaffar. Pada tahun 1944 ia bertugas di Badan Pembantu Perjuangan (BPP) kemudian dipindahkan ke BPKKP (Badan Pembantu Keluarga Korban Perjuangan) dan pada 1945 menjadi anggota penerangan Batalyon Damarwulan di Blambangan. Tugas yang ia emban sangatlah berat yakni menyelamatkan dokumen penting dan stempel perjuangan dan sekian tugas lain.
Di temp at lain, tercatat, sekitar 200 putri Solo pada Oktober 1945 berikrar menjadi prajurit yang tergabung dalam Laskar Puteri Indonesia (LPI) Surakarta. LPI berada di sekian kota di Indonesia. Di organisasi ini, mereka berlatih kemiliteran sebagaimana dialami oleh Dartiyah Soeripto.
Sebagaimana LPI yang tersebar di beberapa kota, LASWI (Laskar Wanita Indonesia) juga berada di beberapa tempat. Seorang anggota LASWI memang harus tanggap dan serba bisa melakukan berbagai hal, seperti menyamar untuk mengantarkan makanan ke Gunung Slamet dan temp at lain, membimbing anak-anak, mengadakan pemeriksaan terhadap para penumpang wanita yang akan bepergian di Stasiun Kereta Api Purwokerto, membantu tugas PMI (Palang Merah Indonesia) dan sekian pekerjaan yang lainnya.
Sementara itu, Pemuda Putri Priangan (PPI Priangan) terdapat Djoeningsih Abdul Muis sebagai wakil ketua yang juga punya pengaruh besar membangkitkan kesadaran cinta tanah air. Organisasi ini bertugas di front terdepan, yaitu daerah Bandung Selatan, di Ciparay, Majalaya, dan Banjaran. Mereka bertugas sebagai PMI dan dapur umum. PPI juga menerjunkan kademya di badan-badan legislatif (DPRD Priangan, Kowani, Dewan Pimpinan Pemuda Priangan, BPKKP, dan MPPP).
Peran Pemuda Putri Indonesia juga tidak bisa dihiraukan dalam hal mengurusi kebutuhan pengungsi dan memberikan informasi selama perjalanan panjang rakyat Bandung ke arah selatan (11 Km dari pusat kota) ketika Bandung dikenang dengan Bandung Lautan Api. Pada tang gal 15 dan 16 Juni 1946, Kowani menyelenggarakan konggresnya yang ke II
dengan diikuti 14 organisasi wanita untuk melakukan konsolidasi orgamsasl guna mendukung kemerdekaan Indonesia.3.
(3. http://books.google.com-Pemuda Putri Republik Indonesia).

Kepemimpin Perempuan

Dalam negara demokrasi seperti Indonesia, tidak ada formulasi adanya pembedaan antara perempuan dan laki-Iaki, masing-masing mempunyai kedudukan dan hak yang sarna dalam membangun bangsa sebagaimana tercantum dalam Pancasila dan UUD 1945. Untuk itu pembahasan tantang kepemimpinan perempuan lebih diberi makna sebagai kapasitas peran dan kapasitas sebagai problem solver atau dalam proses penyelesaian suatu persoalan. Dalam hal ini kepemimpinan tidak sekedar diartikan sebagai kepala atau pimpinan, tetapi lebih pada kapasitas yang menjadikan seseorang perempuan telah mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang untuk itu berakibat layak menjadi seorang pemimpin.
Karena itu disamping peluang yang sudah ada bagi peran perempuan, maka pro gram¬program pemberdayaan dan pendidikan dalam dimensi apa pun bagi perempuan adalah suatu kewajaran saja, dalam arti basis keputusannya adalah pengembangan kualitas SDM, tidak ada pembedaan laki-perempuan. Termasuk dalam soal partisipasi baik di ruang publik maupunruang privat. Seharusnya tidak ada hambatan yang dapat ditafsirkan atau dikhawatirkan dapat meminimalisasikan peran dan kiprah perempuan untuk mengaktualisasikan dirinya.
Dalam realita ideologi, psikologi, dan minimnya sumberdaya manusia dari perempuan kerap dijadikan senjata untuk menyerang eksistensi perempuan di ranah publik. Padahal, dari sisi ideologis, misalnya, tidak ada satu pun dalil yang bisa 1l1enjadi landasan kuat melarang soaial-politik perempuan. Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY I) ada keberanian dalam mendudukkan beberapa perempuan pada pos penting di dalam kabinet. Munculnya nama-nama seperti, ibu Marie E Pangestu sebagai Menteri Perdagangan, ibu Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, ibu Siti Fadhilah sebagai Menteri Kesehatan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan ibu Meuthia Hatta, merupakan bukti kepercayaan pemerintah terhadap kemampuan perempuan di Indonesia.
Sementara itu, kepemimpinan perempuan di parpol pun bertambah. Selain ibu Megawati Soekamoputri (PDI Perjuangan), ada ibu Meuthia Hatta yang merupakan salah satu pimpinan di partai PKPI, dan ibu Amelia Yani memimpin partai PPRN, menunjukkan bahwa kememimpin politik para perempuan telah menemukan momentumnya kembali (dalam arti bukan yang pertama kali).
Di beberapa daerah, kepala pemerintahan juga sudah dijabat oleh perempuan, antara lain Gubemur Banten yang dijabat oleh ibu Ratu Atut yang juga salah satu pimpinan Partai Golkar saat ini. Di provinsi Jawa Tengah kemenangan Bibit Waluyo (Gubemur) juga dinilai disebabkan faktor Rustriningsih (Wagub), yang sebelumnya dinilai berhasil pada saat memimpin Kabupaten Kebumen sebagai Bupati.
Terlepas dari soal kalah menang, bila menggunakan referensi Jawa Timur, maka dalam Pilgub Jawa Timur muculnya ibu Khofifah Indar Parawansa sebagai salah satu kandidat perempuan, mengindikasikan tiadanya resistensi di kepemimpinan birokratis maupun politik. Peran politik perempuan akan semakin menarik untuk dicermati, tatkala misalnya, ada parpol yang berani memunculkan nama calon presiden atau wapres perempuan untuk pilpres 2009. Mengapa hal ini menarik ? Karena di AS sebagai negara yang dianggap kampiun dalam berdemokrasi, belum peruah mempunyai presiden ataupun wapres perempuan. Pencalonan ibu Hillary Clinton di 2008 itupun baru yang pertama kali dalam sejarah pilpres AS ada calon perempuan.
Sesungguhnya masih ada peluang untuk melakukan sosialisasi pencalonan seseorang. Berbagai bentuk komunikasi politik dan publik bisa dilakukan untuk mengangkat citra seorang tokoh perempuan agar bisa lebih dikenal publik pemilih. Oleh karena itu pertanyaan pentingnya adalah, peran kepemimpinan apa yang dapat diaktualisasikan kaum perempuan di masa mendatang Indonesia?
Dapat diamati, bahwa bangsa Indonesia saat ini sedang dalam perioda yang cukup kritis dalam melaksanakan eksperimennya yang berupa upaya penegakan nilai - nilai demokrasi, melalui pemilu 2009, yang ini terjadi, yang upaya tersebut dilaksanakan pada era justru pada saat Indonesia sedang dalam keadaan menghadapi krisis global, padahal krisis sebelumnya juga belum sepenuhnya dapat terselesaikan.
Harapan yang terkandung dalam upaya penegakan nilai - nilai demokrasi ini pada akhimya akan terlihat dari apakah para calon yang telah terpilih misalnya, termasuk pada lembaga seperti Mahkamah Konstitusi (MK) perioda ini dan nantinya pada lembaga -lembaga yang secara substantif ataupun simbolik merupakan lembaga penegak nilai . - nilai demokrasi yaitu : eksekutif, judikatif, legeslatif dan pers, dan akhir - akhir ini ditambah dengan lembaga pembentuk opini - opini semacam lembaga survey/polling dapat memungsikannya secara maksimum dan terutama pada kemampuannya memberikan bobot legitimasi etis ? Dalam berbagai kontestasi politik, jarang sekali terjadi silang sengkarut tentang soal keterpilihan pada kandidat perempuan. Keadaan ini dapat disimpulkan bahwa keterpilihan perempuan seringkali lebih bersifat genuin, karena itu pada perempuan ada potensi, selain mendapat legitimasi kuantitatif, dalam arti jumlah suara, terikut juga sekaligus legitimasi etisnya.
Sebuah rumus umum yang berlaku adalah : Apakah mungkin hal yang sarna dikerjakan dengan cara yang sarna lalu akan mengharapkan hasill yang berbeda ? Dalam kondisi kompleksitas kehidupan ekonomi karena dampak terpaan krisis global, maka sesungguhnya kunci sukses demokrasi saat ini adalah, diperlukannya perubahan pada perilaku para pemilih. Kata kunci adalah pendidikan demokrasi, minimal adalah pada perlunya penjelasan tentang perbedaan demokrasi dan liberalisasi, pada butir yang kritis ini,peran perempuan sangat diperlukan. Dari rumah, pendidikan tentang kehidupan politik demokratis dapat dirancang, dalam pengenalan sistim nilai-nya. Misalnya dari hal yang sederhana, saat seorang anak harus memilih, dimana pilihan adalah harus dijatuhkan pada apa yang dianggap terbaik. Saat anak menjadi dewasa, maka memilih yang terbaik sudah menjadi bagian dari budaya atau perilaku yang terbiasa, sehingga dalam kehidupan cara menentukan pilihan, sudah berdasarkan pilihan yang berbasis pada adanya kompetensi dan
integritas calon, yang merupakan harapan dari berhasilnya praktek demokrasi itu sendiri dan bukan hanya sekedar secara absolut pilihan yang mendasarkan pada kemampuan finansial seorang calon.
Harapan normatif selanjutnya adalah, agar dapat berfungsinya lembaga -lembaga penegak nilai- nilai demokrasi, antara lain yang pokok adalah : secara sinergi berkemampuan untuk membangun suatu sistim yang dapat mengkonversi berbagai jenis konflik menjadi konsensus; memberikan iklim yang kondusif bagi naiknya tingkat partisipasi masyarakat sesuai dengan kemampuan dan kompetensinya untuk turut serta dalam upaya memecahkan masalah - masalah yang dihadapi bangsa Indonesia kini dan esok. Pada konteks ini, maka peran mediasi merupakan faktor kunci dan disini peran perempuan dalam proses-proses mediasi terutama dalam mengatasi konflik kepentingan dapat dilakukan (bukan konfli fisik), misalnya dalam menentukan prioritas-prioritas di bidang proses legeslasi. Badan legeslatif DPR yang saat ini salah satu pimpinannya wanita menunjukkan indikasi tersebut.
Karena itu, penegakan nilai - nilai demokrasi secara sengaja atau tidak harns dihindarkan, dari sekedar adanya perubahan mekanisme atau prosedur pemilihan saja, yaitu dari pemilihan tidak langsung / sistim perwakilan menjadi pemilihan langsung atau voting masal kemudian ditambah dengan perubahan teknis tentang syarat-syarat bagi terpilihnya seorang calon.
Ketiga hal tersebut dapat dianggap tercapai, apabila keseluruhan nilai - nilai normatif yang dikandung dalam ideologi demokrasi, secara jemih dapat disaksikan perwujudannya pada praktek demokrasi itu sendiri, dimana nilai - nilai normatif dalam demokrasi tersebut dapat mewujud dalam situasi yang bersih dan terbuka
Bersamaan dengan perubahan sistim pemilihan Presiden, tertiadakan pula format GBHN, yang dahulunya merupakan dokumen politik formal yang merupakan dokumen yang mengakomodasikan berbagai kehendak rakyat. Dalam ketiadaan GBHN ini, perlu ada wahana atau format lain yang berfungsi untuk menyampaikan dan mengakomodasikan berbagai aspirasi atau kehendak berbagai komponen masyarakat. Adanya GBHN akan lebih memudahkan untuk mengukur tingkat keberhasilan dari para pemegang amanah, baik di legeslatif maupun di eksekutif.
Apakah perioda reses dari anggota legeslatif yang digunakan untuk kunjungan ke daerah telah dapat mencukupi untuk membaca kehendak rakyat ? Demikian pula apakah cukup janji - janji kampanye pada saat pilkada, pilpres, pillegeslatif, sebagai forum komunikasi politik dalam mekanisme yang berlaku saat ini. Bila ini belum mencukupi, lalu adakah forum lain yang dapat berfungsi sebagai wahana untuk membaca kehendak dan pertanyaan rakyat ? J elas diperlukan adanya forum reguler yang berkemampuan untuk memberi masukan kepada para personil dari lembaga - lembaga penegak demokrasi, baik secara formal ataupun informal, agar sistim kehidupan demokrasi ini dapat berfungsi secara maksimal, sehingga kesan hanya showcase democracy dapat dihindarkan.
Pendulum demokratisasi Indonesia yang cenderung bergerak ke arah perayaan kebebasan individu cenderung menumbuhkan watak "individualisme": egoisme, selfishness,
narsisisme, dan hedonisme. Elite-elite politik cenderung mengembangkan "etika individualis", di mana pandangan individu jadi ukuran segala kebenaran, kebaikan, dan keutamaan (virtue). Akibatnya, ukuran nilai, kebenaran, moral, dan keutamaan kolektif yang berasal dari adat, mitos, tradisi bahkan agama terpinggirkan.
Demikian pula pendulum demokrasi juga bergerak ke arah "penampilan luar" saja (surface), dalam arti demikian ada pemilihan langsung dianggap urusan demokrasi sudah selesai, substansi demokrasi atau esensi terabaikan, sehingga spirit demokrasi lebih diperlihatkan menj adi "pertunjukan demokrasi" (democratic performance) melalui aneka event. Karena sifat "performativitas" inilah, demokrasi perlu aneka panggung pertunjukan (ruang sidang, media massa, adanya kebebasan orasi dll), yang di dalamnya "citra demokrasi" ditampilkan. Namun, terobsesi oleh citra, "refleksi politik" tak lagi punya tempat. Momen "kebenaran" telah digantikan "mom en citra/image".
Penutup
Dalam perspektif social budaya, di dalam lintasan sejarah bangsa Indonesia, tergambar bahwa kepemimpinan perempuan bukan sesuatu yang harus dikontroversialkan, apa lagi dalam era demokrasi. Oleh karena itu tantangan bagi kaum perempuan sendiri saat ini adalah meningkatkan kualitas genuine kepemimpinannya. Sensitivitas rasa yang dimiliki perempuan dapat secara positif digunakan sebagai factor instrumental penting untuk dapat membaca aspirasi yang berkembang atau yang sedang berubah dengan lebih tepat. Harapannya tentu, bagaimana melalui partisipasi politiknya yang dapat melahirkan kepemimpinan perempuan dalam demokrasi, juga dapat meningkatkan kinerja berbagai lembaga perwakilan rakyat, terutama dalam proses pengambilan keputusannya. Dengan demikian, dalam proses-proses selanjutnya akan terlahir dari para perempuan, politisi bersih yang menghidupkan kesadaran, tanggung jawab dan rasa memiliki cita-cita besar bersama pada diri sendiri dan konstituen mereka yang pada gilirannya melahirkan cita-cita kedaulatan sebagaimana di-cita-citakan founding parent.4. kita.
(4. Biasanya digunakan istilahfoundingfather, tetapi melihat realitas sejarah bangs a Indonesia, bahwa para perempuan ikut berjuang dalam memperoleh kemerdekaan Indonesia, maka diusulkan agar istilah founding father bukan diganti tapi dilengkapi menjadi founding parents).

Baca selengkapnya...

Minggu, 23 Mei 2010

Kuliah Umum Sosiologi dan Politik “Demokrasi dan Kepemimpinan Perempuan“ Pembicara : Dr. Marissa Haque, S.H., M.H. dan Tetty Kadi, S.Ip.

Universitas Widyatama Bandung,
Bagian Perkuliahan Dasar Umum (BPDU),
22 mei 2010

Hasil dari rangkuman tersebut diatas sama sekali berdasarkan catatan peneliti semata-mata, yang tidak dituangkan atau tidak terdapat dalam makalah bu Tetty serta bu Marissa. Audience adalah mahasiswa fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi, Universitas Widyatama, Bandung lebih kurang yang hadir 600 orang.

Dari kedua narasumber dapat dipetik beberapa resume atau intisari bu Tetty matang serta dewasa dengan pengalaman politiknya yang sudah lama baik di lembaga legislatif Jawa Barat selama 12 tahun mau pun di organisasi kemasyarakatan lainnya. Sekarang dipercaya menjadi anggota DPR RI periode 2009-2014 di Komisi VIII.

Sedangkan bu Marissa wanita kelahiran 1962 yang blesteran ini bersuamikan Ikang Fawzi seorang artis juga memperoleh jenjang pendidikan formal hingga strata 3, memperoleh S2 sampai tiga kali mulai dari S2 Linguistic, S2 Ekonomi, S2 Hukum dan S1 juga basic Hukum. Dia banyak menceritakan tentang sepak terjangnya di dunia politik, bapaknya orang Golkar, mertuanya intel di Deplu orang tuanya keturunan Belanda. Pernah juga sebagai anggota DPR RI tahun 1994 dari PDIP kemudian hijrah ke PPP.

Selanjutnya ikuti Pilkada Banten tetapi kalah. Banyak juga bercerita tentang kekalahannya lalu katanya Gubernur yang sekarang berijazah palsu, pernah juga menyeret seorang Menteri ke penjara karena menilep uang haji dan sebagainya.

Bu Marissa tidak mau dijadikan key informan dengan segala cara ia mengatakan setelah selesai kuliah umum, dihadapan bu Tetty juga beliau mengatakan apa buku metodologi anda? Kalau saya pakarnya studi kualitatif karangan Robert ....... ada hak bahasa Indonesianya. Tapi peneliti pikir y bu Marissa mana mungkin dia dijadikan key informan orang beliau bukan politisi artis yang ada di DPR RI periode 2009-2014.




POINTERS ATAU STATEMENT BELIAU BERDUA DALAM KULIAH UMUM:

- Tetty Kadi minta bio data lengkap kirim via email saja sama mas Kanishka (asisten pribadi merangkap anak nomor 4).
- Baca buku Gabriel Almond tentang politik.
- Polibriti atau politisi selebriti istilah Marissa Haque.
- Lagu bu Tetty tahun 60 an yang terkenal dulu antara lain adalah Sepanjang Jalan Kenangan, katanya lagi makanya saya kuliah S1 di Unjani Bandung karena saran temannya di parpol Golkar kalau mau jadi anggota DPR RI salah satu syaratnya mesti pendidikan formal SI.
- Adek-adek mahasiswa dan mahasiswi kenal tidak dgn group band Numata itu adalah anak saya, saya mau ajak kesini tapi kebetulan ada show di Makassar, Kata bi Tetty.
- Ada Kaukus Artis di DPR RI khususnya Komisi X jumlahnya 18 orang, cantik-cantik & smart, jadi kalau ada acara orang sibuk minta foto bareng (Bu tetty).
- Kepemimpinan perempuan tidak harus dikontroversialkan.
- Kata Marissa tidak selamanya fb harus itu dihujat, sebagai contoh saya bisa berdiri disini karena kenal dengan isteri moderator pak Ade sesama facebookers.
- Lanjutnya kenalkan kalian dengan Trio Libels, yg salah satunya Edwin Manangsang walau penyanyi tetapi jagoan akuntasi juga lho.
- Artis : input______>proses________>output. Kaitannya dengan politisi.
- Saya pengajar anak tunarungu berbahasa Inggeris.
- ROY – EVA = ISTILAH AKUNTANSI.
- ROY MARTEN – EVA ARNAZ = ISTILAH ARTIS.
- Demokrasi di Indonesia adalah cangkokan.
- Islami adalah egaliter & fraternite sementara kapitalis tambah satu lagi yaitu liberte.
- Homo Economicus dan Homo Homoni Lupus.
- Borjuis---------kelas orang kaya.
- Komunis----------sama rata, sama rasa.
- Proletar--------kelas orang miskin.
- Bedakan antara demokrasi Pancasila dengan Pancasila yang demokratis.
- Lihat faham Nichollo Machiavelli tentang E Prinsipe akan selalu terjadi pengulangan sejarah seperti yang terjadi di Iran.
- S3 itu adalah semacam kontemplasi artinya mencari kebeningan hukum Tuhan, artinya kumahak engke bukan engke kumahak.
- Politik = ilmu kemungkinan, Hukum = ilmu aturan, Ekonomi = ilmu hitungan dan seterusnya.
- Dari sejak zaman Soekarno hingga sekarang yg paling ditakuti dalam bidang ekonomi cuma tiga institusi dunia : WTO, IMF, World Bank.
- Pertanyaan buat bu Tetty apa yang mendorong ibu terjun ke dunia politik?. Yang pertama harus ada keinginan saya sejak tahun 65 an sdh jadi artis, kemudian mau bagaimana tau situasi daerah karena didorong oleh keluarga pertama sekali masuk kelompok seni budaya. Popularitas serta kemampuan harus sejalan.
- Saran kepada calon-calon selebriti baru, yang penting aku tampil atau benar-benar berkualitas.
- Marissa mengatakan sok tahu hitam putihnya, Dewan Kehormatan = macan ompong, dalam berpolitik apa pun boleh.
- Lihat aja Roy Suryo anggota DPR RI dari Demokrat sewaktu sidang paripurna berteriak uh...uh....uh..... berkali-kali memalukan padahal kandidat doktor dari UGM.
- Karena saya S2 linguistic setiap kata mempunyai makna.
- Apa kata Lord Acton : Power attendt to corrupct maksudnya adalah regulasi dipegang, operator juga dipegang oleh institusi yang sama, jadi terjadi diskresi = Tuhan-Tuhan yang kecil.
- Public Figure yang terjun ke politik ingin menggunakan popularitasnya, saya ini bintang film juga.
- Politisi bukan artis membeli dengan uangnya, artis yang jadi poltisi tidak akan korupsi.
- Kalau sudah masuk DPR nggak usah lagi rekaman atau jadi presenter, karena artis sudah mempunyai modal kapital.
- Ditambahkan oleh Tetty Kadi artis sudah punya modal popularitas, tetapi tidak cukup mesti memperjuangkan aspirasi rakyat dengan belajar. Oleh sebab itu sebelum rapat bahan-bahan sudah dipersiapkan terlebih dahulu.
- Sementara politisi yang bukan artis masih sibuk dengan kampanye melalui media cetak atau media elektronik untuk pencitraan dirinya serta untuk meraih popularitas.

Baca selengkapnya...

Minggu, 09 Mei 2010

NARASUMBER TALKSHOW BKKBN

Dalam rangka menyongsong Harkitnas 20 mei 2010, BKKBN (Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional) menyelenggarakan Talkshow dengan thema: “TEKNOLOGI VS PORNOGRAFI” di Bandung TV, hari Senin, 3 Mei 2010, Pukul: 13.45-14.45 WIB.
Program Talkshow BKKBN tersebut dilakukan sebanyak 20 X (20 episode), sampai berita ini di buat sedang berlangsung episode selanjutnya dengan narasumber yang profesional sesuai kompetensinya masing-masing.

Kebetulan pada dialog tanggal 3 Mei 2010 minggu yang lalu ada 3 narasumber yaitu:

1.Bapak H. US TIARSA,
(Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Barat).
2.Teh Rosa,
(Penyanyi Pop Sunda).
3.Ramon Kaban,
(Peneliti Komunikasi Politik BPPKI Bandung, Badan Litbang SDM Kemkominfo).

Audience yang hadir para pelajar SMAN 23 Bandung serta ada group musik yang mengiringi yaitu: Talenta Band. Juga ada tanya jawab antara narasumber dengan pelajar, sudah barang tentu dengan presenter handal Sdr. INDRA serta ada juga PUBER istilah kerennya, yang juga masuk kategori ABG diminta pendapatnya tentang aktivitas remaja. Pokoknya seru deh...!!!

Baca selengkapnya...

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)