SELAMAT DATANG...

Blog ini saya gunakan sebagai Media Komunikasi dan Informasi dan sekaligus menjadi wadah untuk menuangkan inspirasi-inspirasi yang ada.
Sebagai perkenalan pertama, yang perlu diketahui saya seorang Peneliti Komunikasi Politik pada

Puslitbang Penyelenggaraan Pos dan Informatika Badan Litbang SDM Kementerian Komunikasi dan Informatika R.I.
Jl. Medan Merdeka Barat No. 9 Jakarta Pusat 10110 Lt. 4 Gedung Belakang





Minggu, 22 November 2009

Seminar Antar Bangsa THE RECENT DEVELOPMENT OF THE SOUTH THAILAND : A POLITICAL COMMUNICATION PERSPECTIVE. Fikom UNPAD, Jatinangor, 18 Juni 2009.

Moderator : Dra.Siti Karlinah, M.Si ( Dosen Fikom Unpad, Bandung ).
Pembicara I : Prof. Mr. Hasanuddin Daud ( Universitas Malaysia ).

Topik : Hubungan Islam, Sejarah, Politik dan konflik di Thailand Selatan.
Latar belakang sejarah masyarakat miskin.
Kerajaan Patani dan Islam.

Pembicara II : DR. Hikmad ( UIAB=universitas Islam Antar Bangsa ).

Topik : Bahasa Patani Thailand.
Ulama >< Perjuangan Kemerdekaan di Selatan Thailand.
Memaparkan tentang sifat perjuangan kemerdekaan, sementara itu ulama tidak sependapat dengan jihad yang berlaku di Patani.

Risalah Kecil Kerajaan Thailand.

Disana tidak ada seorang pun yang berani mengungkapkan identitas, kalau A ngaku B berarti musuh resiko ditembak. Jika dicari tidak akan ketemu siapa yang menjadi pejuang kemerdekaan, gak ada yang mengaku. Tapi Ulama yang saya maksud Ulama yang baik serta saleh, yang dengan rela hati dating ke Pesantren serta dihormati orang termasuk juga kata-katanya.

Jihad adalah sebuah konsep yang luas, bukan hasil pengertian sendiri-sendiri, Sangat beda Jihad dengan Teroris.

Ada dua (2) jenis Ulama yaitu :
1.Ulama yang tidak terlibat secara langsung,
2.Ulama yang menjalin kerjasama dengan kerajaan2 Thailand.

Sedangkan ciri-ciri Ulama :
1.Berdasarkan Ajaran AL’Quran.
2.Ulama yang di Patani jadi Jihad dan dipecah jadi 3 golongan.

Pembicara III : Prof.DR. Datuk Bin Anwar ( Dosen UKM ).

Bidang : Sejarah Politik Antar Bangsa,

Judul : Pergolakan di Patani : Mungkinkah Ada Jalan penyelesaian ?

dan semua yang dibicarakan adalah merupakan Hasil Penelitian.

Pembicara IV : Lili Yuliani ( Mhs S3 universitas Malaysia ).

Topik : Islam dan hubungan Internasional.
Dampak Konflik di Thailand Selatan.
Hubungan 2 hal Indonesia-Malaysia.

Judul : “ Dampak Sosial Dari Konflik terhadap Masyarakat Muslim Di Thailand “.

Focusnya masalah social saja yaitu masalah nation state bukan masalah Jihad atau Islam.
Seperti Indonesia sudah tau tapi nggak bisa Bantu, Malaysia tau dan bantuin ( doa serta moral ), sementara Kamboja tidak tau ( hanya moral ), Brunei menyatakan tidak tau ( Nation State ). Ini semua adalah masalah Persepsi antar negara ASEAN atau “ This is Internal Problem “.

Dia sedang melakukan penelitian tentang Konflik Agama di Thailand Selatan, belum bisa ungkapkan data karena kuesioner belum masuk semua.. Termasuk kuesioner yang diedarkan di Indonesia belum kembali semuanya, yang isinya minta pendapat orang Indonesia yang mayoritas agama Islam seputar konflik yang sedang terjadi di Thailand Selatan.

Pertanyaan-Pertanyaan :

1.Antar Venus ( Fikom Unpad ) : Rekonstruksi Identitas di Thailand Selatan perlu segera, karena kalah dengan isu Gaza di Palestina. Yang diangkat pembicara soal Islam atau Melayu ?.

2.Asep ( UIN Bandung ) : Saya tidak pernah ke Thailand Selatan, hanya tau dari Media Massa. Cohesivitas Ideology harus dibangun, untuk mengatasi problem internal. Tentang Defenisi Jihad tidak akan pernah selesai apalagi lawan Kerajaan Thailand.


3.Dr.Pandji ( Fisipol UNLA ) : Sayangkan komitmen thema seminar, acara ini bagus tapi belum dikemas dengan baik.

4.Gun-Gun Hariyanto ( Mhs.S3 Kom.Unpad ) : Yang kita bicarakan ini perspektif penguasa atau siapa ? Konflik di Aceh dilakukan dengan perspektif militer, sebaiknya menggunakan komunikasi politik dengan teknik negosiasi, bagaimana dengan di Thailand Selatan ?. Seperti kita ketahui pendekatan militer tidak bisa menyelesaikan masalah.

Jawaban Narasumber :

Malaysia terdiri dari 5 negara bagian komponen Patani, yang ada sekarang Provinsi Pattani, jadi identity nya jelas.
PM Malaysia I dibesarkan di Istana Thailand., ini terjadi karena Political Interest Pemerintah.
Yang aman adalah Ambalat karena perbatasan laut.
Di Malaysia Ambalat, Manohara dan TKI nggak ribut, yang masalah malingsial atau Indosial.
Constructive Theory nya nggak ada, Satu Keluarga Dua Negara ( One Family Two Nations ).
Ideology Nasionalis---------------- isu menghilangkan Ideology Islam.
Adanya kepentingan-kepentingan politik yang sifatnya bukan horizontal tapi vertical. Nggak mungkin ada dialog jika selalu satu pihak tidak pernah mengakui pihak lain.

Yang terjadi di Thailand Selatan operation atau Assasination, mereka tahu tapi mereka tidak mau tidak tahu-menahu dibungkam soal domestic……………ada communication gap.

Thailand : Kuncinya di Raja, Negara dan Agama.
Artinya yang muncul sudah tua intinya benci saja. Personal attack, bom-bom yang sangat mudah diracik diajarkan, dengan kata lain aman-aman tidak aman juga.

Tombat Sambal : yang salah langsung minta maaf, tapi biasanya diulang lagi.

Ada perbedaan antara konflik di Aceh dengan Thailand Selatan, kalau masalah Aceh nuansa Empiric & Sosial Ekonomi yang kental, kalau di Thailand nuansa Political & Agama.

Berdasarakan falsafah masyarakat Budhis _________> langkah-langkah yang diambil Pemerintah Pusat.
Masyarakat Miskin_______> Pondok Pesantren 90 % tidak suka sama pemerintah.
Jika diklasifikasi ada 3 komponen yakni :
Hijau = Pro pemerintah.
Merah = Pro rakyat.
Kuning = 50 %-50 %.

Masyarakat Budhis di Thailand Selatan sekarang ada 70.000 orang dari 200.000 orang secara keseluruhan. Hal ini luput dari miskin lain di dunia. Hampir setiap jam terjadi pembunuhan disana, boleh dibuktikan ada di Thailand Selatan serta tidak ada istilah Otonomi.

Setiap ada persidangan tentang Islam negara yang tergabung dalam OKI, kontingen Thailand paling ramai dibicarakan, cara yang dilakukan kerajaan Thailand ialah pembendungan dari dalam sendiri. Faksi-faksi yang terlibat, kumpulan banyak tahun 70 an sangat menonjol tapi ada plus minusnya.

Generasi yang muncul tahun 2004 adalah generasi baru yang ingin merobah paradigma istilah bahasa Malaysianya ( Kebangkitan Rakyat ).

Pernah terjadi suatu peristiwa pada 60 tempat pasti ada yang mengorganisir yang effektif, apa ada hubungan-hubungan yng telah diatur dengan baik.

Baca selengkapnya...

BUDAYA “GONTA-GANTI” KARTU HANDPHONE (TELAAH KRITIS TERHADAP BUDAYA KONSUMEN)

Handphone sebagai benda Teknologi informasi saat ini bukan lagi ‘berimej’ barang mewah (lux) dalam masyarakat kita. Di counter-counter Handphone maupun dari mulut ke mulut bisa diperoleh informasi tentang adanya transaksi penjualan Handphone, sama seperti penjualan kacang goreng dulunya. Jadi, bila seseorang sudah merasa bosan dengan model Handphonenya dia bisa menjualnya langsung lewat Counter-counter yang ada  maupun melalui siaran media massa seperti radio yang menyiarkan acara bursa jual-beli Handphone.

Dalam dunia per-handphone-nan dikenal istilah kartu nomor telephone yaitu berupa chip yang diselipkan dalam Handphone tersebut dan berfungsi sebagai nomor identitas si pemilik Handphone tersebut. Dalam hal ini, seseorang dengan Handphone yang sudah ‘bersosial’ dan dipunyai semua strata sosial dalam masyarakat maka pemunculan kartu nomor telephone pun menjadi marak. Di Indonesia sendiri ada yang namanya Simpati, Mentari, Matrix, Jempol, Kartu As (Sorry…ini bukan iklan!) yang nantinya juga mempunyai ‘keturunan’ masing-msing seperti Simpati Jitu, Simpati Hoki, Mentari Talk dan lain sebagainya yang mengindikasikan praktek Kapitalisme yang sengaja menjual ide-ide kreatifitas dalam setiap produksi untuk berpolitik menciptakan dan mempertahankan pasarnya. Dalam hal ini kita cuma jadi bertanya ‘Kapan sih mereka senang-senang dengan uangnya, sibuk mencari duiiit terus?!”, dengan ‘berseliwerannya’ tayangan iklan mengenai produk mereka baik itu di media massa maupun lewat spanduk-spanduk yang ada di jalan-jalan kota besar.
Bila diamati dalam kehidupan sehari-hari, kalangan yang mengkonsumsi produk kartu-kartu nomor telephone tersebut kebanyakan kaum perempuan berusia remaja 15-30 tahun. Sepertinya kaum perempuan tersebut lebih beradaptasi dengan pandangan bahwa ‘budaya konsumen’ yang lebih ditujukan pada kaum perempuan sehingga kaum perempuan dikondisikan untuk bersifat konsumtif karena lingkungan yang menuntutnya dan melahirkan pandangan baru lagi bahwa, ‘Kematrean kaum perempuan tersebut bersifat Latent’. Jadi, bila hari ini kartunya Mentari besok bisa jadi Simpati, besoknya lagi bisa jadi Simpati Hoki, besoknya lagi bisa juga jadi IM3 dan seterusnya. Bahkan karena terlalu banyaknya kartu, cara meletakkannya pun jadi sembarangan seperti meletakkan kartu-kartu tersebut di atas gantungan baju, di pinggir tempat tidur maupun di kamar.
Di atas dikatakan bahwa perempuan menjadi konsumtif karena lingkungan yang menuntutnya, jadi dalam hal ini dimisalkan bila seorang remaja perempuan sering ‘melotot’ di depan televisi melihat iklan-iklan kartu Handphone yang atraktif dan menarik hatinya dengan berbagai fasilitas dan kemudahan yang mengunggulkannya dari kartu yang lain, maka akan cenderung timbul keinginan untuk membeli. Hal tersebut akan menjadi kebanggaan tersendiri bila ia dibandingkan dengan yang lain karena memiliki kartu yang sedang nge-top dan mutakhir daripada teman-temannya yang lain dalam satu komunitas pergaulan sehingga walaupun pulsa sedang habis diusahakan juga untuk mencari hal-hla yang berbau sms gratis.
Hal ini bila dianalisa lebih lanjut tentu akan menambah gejala mental disoder pada kaum perempuan tersebut terutama di kota-kota besar karena tuntutan untuk mempertahankan status ‘Card’s Ladies’ nya tanpa menyadari bahwa mereka telah direkayasa oleh kaum kapitalis untuk dijadikan pasar secara sosial lewat membangunkan keinginan mereka untuk membeli dan membeli serta mengkonsumsi karena kaum Kapitalis memang membutuhkan mereka.
Budaya konsumerisme yang merupakan jantung dari kapitalisme adalah sebuah budaya yang di dalamnya terdapat berbagai bentuk halusinasi, mimpi, artifisialitas, kemasan wujud komoditi, yang kemudian dikonstruksi secara sosial melalui komunikasi ekonomi (iklan, show, media dan sebagainya) sebagai kekuatan tanda (semiotic power) kapitalisme.
Budaya konsumsen membuka peluang bagi konsumsi produktif dengan menjajikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan: menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup. Budaya konsumen, meski tidak sama dengan budaya masa kini, merupakan unsur utama dalam produksi budaya masa kini. Meskipun kelompok-kelompok yang berada di luar atau mencoba menjauhkan diri dari jangkauan pasar dan perilaku melawan arus, seperti misalnya sub-budaya remaja dan gerakan-gerakan sosial baru, dinamika proses pasar yang selalu mengejar yang ‘baru’ itu menyebabkan budaya konsumen dapat merajut dan mengolah ulang tradisi dan gaya hidup mutakhir.
Budaya masyarakat konsumen sering diberi ciri materialistis dan sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari untuk mengungkapkan kemiskinan rohani dan tindakan mementingkan diri sendiri yang hedonistis dimana individu memusatkan kehidupannya pada konsumsi barang-barang. Pandangan ini sebenarnya mengatakan bahwa masyarakat telah memperlihatkan kemenangan rasionalitas ekonomi yang menyingkirkan adat istiadat tradisional serta nilai-nilai budaya leluhur dan menghasilkan budaya yang tidak menarik.
Seluruh kegiatan peragaan lay out bertujuan membuat barang tampak lebih bagus dari yang sebenarnya, dengan memanipulasi kesan di lay out itu. Logika pemajangan menghasilkan suatu situasi di mana makna dialihkan secara ‘ajaib’ ke barang melalui suatu proses elisi. Karena itu membeli barang berarti membeli kesan dan pengalaman, dan kegiatan berbelanja bukan lagi suatu transaksi ekonomi ‘sederhana’, melainkan lebih merupakan interaksi simbolis di mana individu membeli dan mengkonsumsi kesan.
Tindakan membeli itu tergeser ke belakang, karena individu didorong untuk menikmati konsumsi gaya hidup. Para individu tersebut menjadi peraga yang sadar akan penampilannya dan kesan yang diberikannya ketika menyusuri dunia barang yang dipertontonkan dalam ruang-ruang di luas kota. Pariwisata dan kebun raya (Taman Mini Indonesia Indah/TMII dan Dunia Fantasi/DUFAN, misalnya) meneruskan logika ini sampai ke titik ekstremnya. Kedua-duanya menjual pengalaman, bukan menjual barang.
Inilah yang menyebabkan Jameson (1984) menempatkan budaya sebagai pemeran utama dalam reproduksi kapitalisme masa kini. “Karena unsur pokok masyarakat konsumen itulah tidak ada masyarakat yang dibanjiri tanda dan berbagai kesan seperti masyarakat ini.” Karena itu, ciri kedua budaya konsumen yang harus ditekankan adalah bahwa budaya konsumen ialah suatu budaya tempat berbagai kesan memainkan peranana utama. Sejauh ini telah dikemukakan betapa banyaknya makna baru terkait pada komoditi “material” melalui peragaan dan pesan iklan. Tetapi perlu pula dikemukakan, produksi berbagai kesan sebagai komoditi merupakan ciri utama budaya konsumen. Dan industri gambar hidup, surat kabar murah, media massa, majalah, dan televisi mencipta dan menyebarkan berbagai kesan tanpa henti.
Kesan-kesan ini tidak dapat dikatakan membentuk ideologi pokok yang utuh karena kesan terus-menerus diproses ulang dan makna barang dan pengalaman tersebut didefiniskan kembali. Segala-galanya dapat dipertukarkan satu sama lain, dan tampaknya tidak ada batas ke mana berbagai makna yang jelas dan berdiri sendiri-sendiri dapat dipertukarkan. Seperti bintang film atau bintang pop menjadi tokoh politik (Arnold Swazneger, Gusti Randa), tokoh politik menjadi bintang film (Ruhut Sitompul, Ronald Reagen). Tradisi juga diaduk-aduk dan dikuras untuk mencari simbol ketampanan, roman, kemewahan, dan eksotika yang manjur.
Kesan budaya konsumen dan iklan pada dasarnya bersifat modernis, sepanjang mengenai ganti-mengganti tata nilai dan meruntuhkan titik acuan tradisonal dalam usahanya meramu paduan baru yang mampu membangkitkan kembali kenangan dan merangsang keinginan. Dalam arti inilah budaya konsumen itu menjadi suatu “dunia mimpi” yang mengandung suatu momen positif atau utopia dalam janjinya menciptakan barang berlimpah ruah.
Dalam budaya konsumen masa kini, gaya hidup mendapat kedudukan istimewa. Perilaku konsumsi tidak berarti menyerap komoditi produksi massa secara pasif dan mengikuti arus. Tekanan diletakan pada merancang ulang dan mengerjakan ulang komoditi (komoditi itu sendiri sudah merupakan pilihan) untuk menciptakan kesan gaya yang menyingkapkan individualitas pemiliknya.
Demistifikasi budaya intelektual umumnya akan menciptakan kekaburan baru dalam tata simbol, karena kegiatan media massa ini mengejar segala yang baru dalam tata symbol dan modern. Pertukaran ini, yaitu kepekaan kaum intelektual terhadap gaya baru dan permintaan pasar yang tak habis-habisnya akan barang dan gaya baru, menciptakan komoditi yang memungkinkan gaya berjalan lebih cepat, baik dari gaya avant garde ke gaya popular, atau dari gaya popular ke gaya avant garde, atau dari gaya popular ke gaya jet set.
Pemikiran Eiger (2003) mengenai kematian kehidupan sosial dan kemenangan budaya, mengandung pengertian bahwa budaya dan lingkup simbolis tidak dapat diringkas menjadi sebuah alam struktur sosial yang terpisah (kelas). Budaya tinggi dan seni “serius” di sini juga telah kehilangan transendensinya dan wewenang simbolisnya. Meski rumusan-rumusan ini jelas membayangkan runtuhnya pandangan Bourdieu mengenai kekuatan simbolis dan modal budaya dalam suatu kenyataan palsu, yang menyingkirkan satu perangkat perbedaan untuk menggantinya dengan perangkat baru yang menjamur tiada henti, lebih baik jika pada tahap ini rumusan Bourdie dilihat sebagai kecenderungan yang mengancam akan menggoyahkan perbedaan yang timbul dalam kaitan dengan permainan kalah-menang sosial. Walaupun kekuasaan Amerika Serikat ini jelas sekali terlihat di negara-negara pusat di barat, hal ini lebih menonjol di negara-negara pinggiran di Dunia Ketiga.
Kalau kita berbicara tentang pengaruh global dan dampak budaya konsumen atas negara-negara pinggiran, tekanan harus diletakan pada media masa, dengan anggapan bahwa di negara-negara di luar negara pusat konsumsi sebagian besar rakyat jelata terbatas pada konsumsi kesan dalam media, sementara masyarakat tidak mampu mengembangkan prasarana produktif untuk memperluas konsumsi barang sehingga dapat mengembangkan seperangkat gaya hidup dan perilaku yang berorientasi di sekitar konsumsi. Ini tidak berarti bahwa banjir kesan yang dibawa media yang berpusat di barat itu tidak berpengaruh terhadap perilaku di Negara-negara dunia ketiga. Dengan meningkatnya dominasi ekonomi Amerika dalam hal produksi serta distribusi budaya melalui media, sering ditunjukkan bahwa negara-negara Dunia Ketiga menghadapi kesulitan berat dalam usaha mencoba menciptakan proteksionisme budaya untuk memelihara budaya-budaya asli. Negara-negara ini tidak hanya terbuka untuk membanjirnya film-film televisi Amerika, komedi bersambung dan sebagainya dengan sedikit biaya bagi produksi berbagai acara siaran lokal dan kegiatan-kegiatan “jalan belakang” perusahaan multinasional amerika serikat dalam pembelian agen-agen periklanan serta media nasional. Sebaiknya juga memperlihatkan bahwa kaum borjuis baru mereka sering bertindak sebagai perantara bagi budaya Amerika dalam memanfaatkan keangotaannya yang elite, yang mobile, dan kosmopolitan untuk menyebarluaskan barang-barang dan nilai-nilai budaya konsumen yang diambil dari pusat. Dominasi budaya yang progresif ini, yang sering diarahkan ke imperialisme budaya atau imperialisme media, telah dianggap sebagai ciri Amerikanisasi.
Amerikanisasi digunakan untuk menunjukan cara bagaimana film-film, televisi, dan produk-produk media lainnya umumnya dikemas dengan paket-paket orang Amerika atau gaya orang Amerika sebagai bagian dari suatu internasiolisasi konsumsi, pola-pola pemanfaatan waktu luang, pendidikan budaya remaja, bahasa dan mode kesadaran yang progresif.

Karena itu salah membaca arti pesan yang asli tampaknya sudah menjadi bagian dari penerimaan program dan benda budaya konsumen di negara-negara dunia ketiga. Ruang gerak untuk kesalahpahaman ini menjadi masalah bila budaya konsumen dianggap sebagai suatu ideologi yang mencakup seperangkat keyakinan. Selain itu, pengaruh besar budaya konsumen ialah menggoyahkan makna tanpa menggantinya dengan makna baru dengan batas-batas khusus pula. Jadi, salah satu cara yang memungkinkan produk-produk hasil budaya konsumen tidak membentuk masyarakat menjadi media kapitalis, yaitu dengan mendorong berkembangnya peranan pemberi tanda dan teks yang tertulis untuk menghilangkan kekaburan makna.

Baca selengkapnya...

Bagaimana penilaian Anda terhadap tulisan-tulisan saya ini ?

Terjemahkan tulisan ini dalam Bahasa Inggris (In English)